Mahasiswa Konglomerat Lebih Tertarik jadi Pebisnis Sosial

Jumat, 07 Desember 2018 – 07:03 WIB
Maria R Nindita Radyati dari CECT Usakti memaparkan CECT Sustainability Awards 2018. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Di era digitalisasi, ada pergeseran minat mahasiswa yang berasal dari keluarga konglomerat. Mereka lebih memilih menjadi pebisnis sosial ketimbang melanjutkan usaha orangtuanya.

Tak hanya mahasiswa, LSM (lembaga swadaya masyarakat) juga dalam 10 tahun terakhir mulai tertarik menjalankan bisnis sosial. Ini lantaran mereka kesulitan mendapatkan donatur. Biasanya LSM bisa dengan mudah mendapatkan dana miliaran rupiah dari donatur asing untuk membiayai aksi sosialnya.

BACA JUGA: AirAsia Jalin Kerja Sama dengan Mitra Lokal Vietnam

Sosiopreneur atau bisnis sosial adalah sebuah usaha yang menggabungkan misi kewirausahaan dengan sosial. Bisnis sosial biasanya lebih mengutamakan kepentingan sosial dibandingkan mencari keuntungan. Jadi keuntungan yang didapat biasanya untuk kegiatan sosial atau orang-orang yang di bawah garis kemiskinan.

"Beberapa tahun belakangan ini bisnis sosial sedang tren di Indonesia. Biasanya mereka terbentuk karena sebuah persoalan yang lingkungan mereka alami bahkan mereka sendiri yang mengalaminya," kata Maria R Nindita Radyati dari CECT (Center for Entrepreneurship, Change and Third Sector) Universitas Trisakti (Usakti) di Jakarta, Kamis (6/12).

BACA JUGA: Informa Kejar Kenaikan Penjualan Hingga 20 Persen

Mereka mengajak orang-orang yang senasib dengannya untuk berbisnis bersama. Bisnis sosial berbeda dengan kegiatan sosial yang biasanya mengumpulkan dana untuk dibagikan ke dalam kegiatan sosial tapi mereka lebih berusaha membuat suatu produk yang kemudian di pasarkan yang akhirnya keuntungannya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan sosial.

"Kelemahannya, kelompok pebisnis sosial ini kurang memiliki pengetahuan tentang business plan. Di sini tanggung jawab akademisi yang memiliki segudang pengetahuan dan riset. Melihat ini kami tertarik menjembatani antara masyarakat pelaku bisnis sosial dengan akademisi," tuturnya.

BACA JUGA: Investasi Reksa Dana Cocok bagi Generasi Milenial

Yang menggembirakan, lanjut Nindita, kolaborasi antara akademisi dan kelompok usaha masyarakat menghasilkan wira usaha sosial berkelanjutan. Akademisi menyusun strategi bisnisnya. Sedangkan kelompok masyarakat menjadi pelaksananya.

Hal inilah yang mendasari CET Usakti menambahkan nominasi wira usaha sosial pada penghargaan CECT Sustainability Awards 2018.

Selain wira usaha sosial, ada dua nominasi baru lainnya yang ikut dilombakan. Yaitu penghargaan kepada fakultas-fakultas di Usakti yang menjalankan praktik sustainable campus. Juga penghargaan bagi mahasiswa yang memberikan ide-ide inovatif untuk mewujudkan sustainable campus.

CECT Sustainability Awards sudah berjalan empat tahun sejak 2015. Award ini berdasarkan riset murni dan tidak berbayar. (esy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus Pelindo II Tidak Produktif Bagi Iklim Investasi


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler