KAIRO - Konflik politik Mesir sepertinya kian runyam dan meruncing. Pasalnya, keputusan Presiden Muhammad Mursi mengaktifkan kembali parlemen melalui dekrit justru mendapat perlawanan dari Mahkamah Agung (MA) Mesir. Lembaga yudikatif itu pula yang membubarkan parlemen pada pertengahan Juni lalu.
Selasa sore lalu (10/7) atau kemarin WIB (11/7), MA mencabut dan membatalkan dekrit presiden yang menjadi landasan sidang perdana parlemen Mesir beberapa jam sebelumnya. Itu merupakan langkah hukum terbaru dari MA Mesir setelah Mursi mengabaikan putusan mereka.
Padahal, MA bersikukuh bahwa putusan soal pembubaran parlemen bersifat final dan mengikat. "Saat ini drama perebutan kekuasaan berpusat pada lembaga peradilan," tulis koran independen Al-Watan pada berita di halaman depan (headline) kemarin.
Kini, legalitas parlemen yang sebagian besar anggotanya adalah politisi dari Ikhwanul Muslimin tersebut menjadi tidak jelas. Pada 15 Juni lalu, MA membubarkan parlemen. Tetapi, lewat dekrit presiden 8 Juli lalu, parlemen kembali aktif meski hanya bersidang selama lima menit.
Dalam putusan resminya, MA Mesir menegaskan bahwa sidang perdana parlemen tidak sah. "Lembaga peradilan (MA) menganulir dekrit presiden dan memberlakukan lagi putusan yang ditetapkan sebelumnya," kata sumber di MA Mesir. Itu berarti Mesir tetap tidak memiliki parlemen dan segala hak legislatif berada di tangan Dewan Tinggi Militer atau Supreme Council of the Armed Forces (SCAF) di bawah pimpinan Jenderal Hussein Tantawi.
Sebenarnya, konflik itu bermula dari deklarasi SCAF menjelang serah terima kekuasaan ke tangan pemerintahan sipil akhir bulan lalu. SCAF mendeklarasikan konstitusi yang berlaku sebagai konstitusi hingga pemerintahan baru berhasil menyusun undang-undang dasar. Berdasar pada deklarasi itu, SCAF memegang hak legislasi di Mesir.
Selain mendapatkan hak legislasi karena tidak adanya parlemen, SCAF memegang kekuasaan lain yang setara dengan presiden. Jadi, Mursi yang terpilih lewat pemilihan presiden (pilpres) dua putaran tak mendapatkan hak secara utuh. Pemimpin 60 tahun itu harus berbagi dengan para jenderal dalam mengendalikan pemerintahan.
"Dewan konstitusi yang berisikan orang-orang (mantan Presiden Hosni) Mubarak telah mencabut dekrit presiden dan memberlakukan dekrit sang jenderal," kritik Alaa al-Aswany, pengamat politik dan penulis kondang Mesir. Dia menyebut keputusan politis itu bukti bahwa SCAF enggan meninggalkan kekuasaan. Serah terima kekuasaan terhadap pemerintahan sipil pun, kata dia, hanya formalitas.
Gamal Eid, pengacara HAM Mesir, menyayangkan perebutan kekuasaan yang berpotensi membawa negeri itu ke dalam konflik yang lebih serius. "Yang satu lahir karena pilihan masyarakat lewat kertas suara, sedangkan yang satu lagi berusaha keras memonopoli kekuasaan," ungkapnya. Pada akhirnya, lanjut dia, masyarakat Mesir akan kembali menjadi korban. (AP/AFP/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Banjir Bandang, Rusia Berkabung Nasional
Redaktur : Tim Redaksi