Main Pelintir dan Bohong

Oleh Djoko Susilo, Dubes RI di Swiss

Jumat, 11 Maret 2011 – 07:07 WIB

KETIKA saya masih menjadi reporter Jawa Pos, sekitar 25 tahun lalu, ada satu kata yang atas perintah Bos Dahlan Iskan harus dihilangkan dari perbendaharaan kami, yaitu "tidak bisa"Saya ingat, waktu itu fasilitas di Jawa Pos masih sangat minim

BACA JUGA: Bongkar Sayap, Layani El Loco

Pun, di Surabaya saja, pamor Jawa Pos masih kalah oleh kompetitor, apalagi di luar Jatim


Kalau saya kembali ke kampus UGM, masih banyak yang terheran-heran karena saya bekerja di koran yang bernama Jawa Pos

BACA JUGA: Maung Bawa 18 Pemain

Sering ada pertanyaan yang menjengkelkan
Misalnya, koran tempatmu bekerja itu berbahasa Jawa tah? Kalau ada pertanyaan itu, saya jawab sekenanya: Jawa Pos itu berbahasa Inggris, kok

BACA JUGA: Waspadai Nurdin Cs Sebelum Kongres

Jelas mereka tidak akan percaya.

Sebagai wartawan generasi awal, saya beruntung karena masih dididik dan diawasi langsung oleh Big Boss Dahlan IskanSetiap sekian pekan, kami diajak berdiskusi dalam forum yang disebut BengkelForum itu sebenarnya digunakan untuk transfer teknik reporting dari bos sendiri

Saya tidak tahu, apakah kegiatan seperti itu masih dilaksanakan untuk reporter generasi sekarangSebab, sejak masuk DPR dan sekarang menjadi duta besar (Dubes), saya belum pernah mendapatkan undangan untuk sharing dengan junior sayaTetapi, apa pun proses yang kami ikuti saat itu, kata "tidak bisa" atas tugas yang sesulit apa pun tidak boleh hilang dari ingatan kami.

Kata itu pula yang menghantui saya ketika mendapatkan tugas yang berurusan dengan FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional)Terus terang, meski saya bertahun-tahun ditugaskan di luar negeri dan lama menjadi reporter, penugasan saya sebagai wartawan Jawa Pos hampir tidak pernah berurusan dengan olahraga, apalagi FIFA

Karena itu, ketika sahabat saya, Dr Andi Mallarangeng yang sekarang menjadi Menpora, menelepon saya dengan misi agar saya mengklarifikasi ke FIFA mengenai kisruh PSSI, saya sempat tercenung: Apa bisa?

Untung, sikap bawah sadar saya yang mendarah daging sejak menjadi reporter Jawa Pos segera menggerakkan hati saya: Tidak ada kata "tidak bisa" bagi wartawan Jawa Pos dan itu juga berlaku bagi duta besar yang mengawali karirnya sebagai wartawan di koran ini.

Terus terang, sebelumnya saya buta soal PSSI dan FIFANamun, akhirnya saya harus mengerti dan memahaminya dengan baikMakin saya bongkar-bongkar, masalahnya makin menantangJuga menjawab sebagian pertanyaan dalam hati saya selama ini: Kenapa pengurus PSSI jika wira-wiri ke Zurich (kantor pusat FIFA) tidak sekali pun mengontak KBRI?

Mungkin mereka akan berurusan dengan KBRI kalau kehilangan paspor sajaPadahal, personel cabang olahraga lain, entah Percasi, PBSI, dan lain-lain, bila punya kegiatan di mana pun di wilayah Swiss akan memberi tahu KBRI.

Saya makin tertantang untuk menguak misteri PSSI dan FIFA ituApalagi setelah cek dan ricek terhadap sejumlah teman di media menyatakan bahwa ada pejabat PSSI yang sering bohong belakaMaka, saya bertekad melaksanakan misi dengan baik dan profesionalApalagi, dari e-mail, pesan Facebook, ataupun SMS yang saya terima dari teman-teman di Surabaya, banyak yang memberikan dukungan

Saya yakin, pasti ada manfaat bagi masyarakat jika persekongkolan yang mengakibatkan prestasi sepak bola Indonesia terjerembap dan makin terpuruk ke posisi yang menyedihkan dibongkar.

Sebagai Dubes, saya tidak mengalami kesulitan untuk minta waktu berkunjung ke FIFAApalagi, sesungguhnya gelar tersebut secara resmi sangat hebat: Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik IndonesiaArtinya, saya membawa kuasa penuh atas nama pemerintah dan bangsa Indonesia

Jelas pihak FIFA pun mengetahui hal ituMereka juga tahu tentang tata krama diplomatikKalau mengirim surat pun, mereka tidak akan lupa menambahkan singkatan gelar HE atau his excellency (yang mulia)Saya sebenarnya risi disebut dengan gelar his excellencyTapi, ya mau bagaimana lagi, masalah itu sudah baku dalam tata pergaulan diplomatik.

Yang pertama saya lakukan setelah mendapatkan kontak dengan FIFA ialah memetakan masalahSetelah saya urai benang kusut yang ada, ternyata memang yang menjadi masalah adalah statuta PSSIOrang di PSSI ngotot bahwa sudah tidak ada masalah pada statuta tersebut karena sudah disahkan oleh FIFA

Namun, pihak penentang menganggap pengesahan itu penuh rekayasaSetelah saya mempelajari secara saksama, ada kecenderungan pengurus PSSI berlindung ke FIFA jika menguntungkannya dan mengabaikan FIFA bila tidak sesuai dengan maunya.

Pangkal kisruh pertama memang pasal 35 ayat 4 yang dalam bahasa Inggris berbunyi, "The members of the executive committees must not found guilty of criminal offence"." Terjemahan wajarnya, "Anggota komite eksekutif tidak pernah terbukti melakukan tindak pidana."

Tetapi, ayat yang mudah dimengerti itu dipelintir dengan adanya tambahan "tidak sedang ditemukan melakukan kejahatan ketika kongres."

Ya tentu saja jauh panggang dari apiJadi, menurut statuta PSSI, asal selama kongres "yang normalnya berjalan tiga hari" seorang calon tidak sedang diperiksa polisi atau jaksa karena suatu kejahatan, dia bisa menjadi calon sekalipun pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan.

Ketika menemui para petinggi FIFA, saya agak jengkelSebab, mereka sejak 2007 membiarkan terjemahan yang ngawur itu"You don't understand Indonesian languageWhy do you in FIFA accept the wrong translation like that?" protes saya kepada seorang pejabat FIFA

Dengan enteng dia menjawab, "Sorry, Indonesian language is not the official language here." Belakangan, yang saya tahu, direktur FIFA itu sudah digarap oleh orang-orang PSSI

Hal tersebut membuat saya makin sebalSebab, jutaan orang Indonesia yang memahami bahasa Inggris dengan baik menjadi tampak bodoh saat membaca terjemahan statuta FIFA versi PSSI ituSaya sempat meminta semua staf diplomat saya, yang umumnya memiliki nilai TOEFL di atas 600, untuk menerjemahkan statuta FIFAHasilnya sama dengan saya dan menyalahkan versi PSSI

Tetapi, memang orang PSSI bisa berjaya dengan pelintiran tersebut selama empat tahun karena ada orang-orang FIFA yang bisa digarapAtas semua manipulasi tu, tekad saya untuk mengungkap borok-borok yang selama ini ada di PSSI semakin kuat

Keyakinan saya terbukti juga ketika FIFA menggelar konferensi pers mengenai berbagai masalah, termasuk PSSI, 3 Maret laluSaya sengaja mengirim dua warga saya untuk melihat langsung dan memonitor apa yang terjadi di FIFA

Masalahnya, menurut laporan teman-teman wartawan, PSSI mengirim pengurusnyaBahkan, pengurus tersebut kepada seorang wartawan mengaku duduk persis di depan Presiden FIFA Sepp BlatterSegera saya kontak dua warga saya tersebut untuk memastikan kebenaran itu

Salah seorang warga saya langsung melapor, "Di ruang ini, orang Asia hanya tigaSelain kami berdua, ada satu orang Jepang." Dia pun memotret suasana konferensi pers dan memastikan tidak ada wajah Indonesia, selain keduanya.

Besoknya, Jumat siang, masuk laporan kepada saya dari kawan wartawan di Jakarta bahwa pengurus yang mengaku Kamis sore duduk di depan Sepp Blatter itu sudah berada di sekitar SenayanItu jelas tidak masuk akalSebab, pesawat yang terbang malam dari Zurich adalah Emirates

Pun, pesawat tersebut tiba di Jakarta pukul enam soreBagaimana mungkin pengurus PSSI yang sering diwawancarai wartawan itu Jumat siang sudah ada di Jakarta? Apa dia punya ilmu ngrogoh sukmo sehingga bisa berada di banyak tempat dalam waktu yang sama? Kebohongan itu makin lengkap ketika Minggu, saat ditelepon teman wartawan lain, dia mengaku sedang berada di Milan dan siap pergi ke Zurich lagi untuk mewakili PSSI.

Saya tidak habis heran, bagaimana seorang pengurus teras organisasi olahraga besar bisa berbohong secara kontinyuSayang, selama ini banyak di antara kita yang tidak sadar dengan kebohongannya(bersambung)

Djoko Susilo bisa dihubungi di thedjokosusilo@gmail.com

BACA ARTIKEL LAINNYA... Award Bagi Irfan Bachdim


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler