jpnn.com, JAKARTA - Pemberitaan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Ny. Valencya, seorang Ibu Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Karawang, menjadi viral.
Pasalnya, terdakwa Ny. Valencya melalui medsos memviralkan perlakuan tidak adil oleh JPU yang mengajukan tuntutan pidana penjara satu tahun karena dirinya memarahi Chan Yu Ching (suami) yang suka mabuk dan judi.
BACA JUGA: Korban KDRT Akan Mendapat Pembayaran dari Pemerintah Australia Hingga 5.000 Dolar
“Ratapan Ny. Valencya melalui Medsos soal perlakuan tidak adil yang dialami selama penyidikan, penuntutan dan sidang di Pengadilan Negeri Karawang, membuka tabir bahwa Penyidik dan Jaksa diduga bekerja di bawah kendali Pengadu Chan Yu Ching, mantan suami Ny. Valencya dengan mengubah posisi Ny. Valencya yang merupakan korban KDRT menjadi pelaku KDRT secara psikis,” ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus dalam siaran pers pada Kamis (18/11).
Menurut Petrus, lolosnya kasus KDRT Ny. Valencya hingga masuk persidangan, memperlihatkan betapa Penyidik dan Organ Wasidik dan JPU beserta Organ Pra-Penuntutan di Kejaksaan tidak berjalan sesuai fungsinya.
BACA JUGA: Sebelas Perwira Tinggi TNI AL Naik Pangkat, Nih Daftar Namanya
Advokat Peradi ini menilai organ kejaksaan hanya percaya BAP abal-abal sebagai dasar menyusun Surat Dakwaan, untuk mengecoh hakim dan publik seakan-akan sebuah peristiwa pidana KDRT benar-benar telah terjadi dan Ny. Valencya sebagai pelakunya.
Pengaduan Palsu Chan Yu Ching
BACA JUGA: Ahmad Ali, Cahaya Gerakan Restorasi Indonesai Timur
Petrus mengatakan Chan Yu Ching sebenarnya melakukan pelanggaran HAM. Kasus KDRT didakwakan penyidik dan JPU kepada Ny. Valencya, berawal dari sebuah cerita fiksi, bualan Chan Yu Ching.
“Kemudian oleh Penyidik dikonstruksikan sebagai KDRT dan dikemas oleh JPU dalam Surat Dakwaan, seolah-olah sebuah peristiwa pidana KDRT benar-benar terjadi,” ujar Petrus.
Oleh karena itu, sangat tepat penilaian Pimpinan Kejaksaan Agung bahwa dalam kasus KDRT ini, anak buahnya tidak memiliki "sence of crisis" dan dinonaktifkan serta instrumen/organ Prapenuntutan tidak berfungsi hingga perkara KDRT yang abal-abal ini lolos ke persidangan, menjadi viral dan mencoreng wajah hukum kita.
Petrus mengatakan publik dan Ny. Valencya berharap Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kerawang membuat terang semua hal yang terjadi di lorong-lorong gelap sejak Penyidikan hingga Penuntutan Kejaksaan.
“Juga melalui Medsos dan sikap arif Majelis Hakim diharapkan dapat membongkar tipu muslihat JPU dalam mengonstruksi Dakwaan dan Tuntutan yang bersumber dari BAP abal-abal dan direkayasa,” kata Petrus.
Medsos Jalan Menuju Keadilan
Petrus mengatakan melalui dukungan publik dan Media Sosial (Medsos) serta kearifan Majelis Hakim, Ny. Valencya berharap segera memperoleh keadilan melalui putusan bebas murni dari Majelis Hakim.
“Kasus ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua elemen yang diberi tanggung jawab memberi perlindungan bagi korban KDRT untuk menegakan harkat dab martabat kemanusiaan dan HAM,” kata Petrus.
Menurut Petrus, kasus Ny. Valencya bisa menjadi bukti bahwa kita semua lalai, keluarga lalai, masyarakat lalai, polisi lalai, jaksa lalai.
“Majelis hakim kita lihat dulu apa putusannya nanti sebelum memberi penilaian terkait tangung jawab hakim dalam perlindungan bagi korban KDRT,” ujar Petrus.
Sebagai konsekuensinya, kata Petrus, adalah kita semua harus ikut bertangung jawab membebaskan Ny. Valencya dari jeratan ketidakadilan ini.
Petrus mengajak untuk mengapresiasi reaksi cepat dan responsif dari Pimpinan Kejaksaan Agung dan Polri (Kapolda Jabar), karena telah melakukan pemeriksaan terhadap semua yang terlibat (Penyidik dan JPU) dengan menonaktifkan mereka dari jabatannya masing-masing.
“Namun demikian, penonaktifan saja tidak cukup karena itu terhadap mereka harus dimintai pertanggungjawaban pidana karena menggunakan informasi palsu untuk menghukum Ny. Valencya,” ujar Petrus.(fri/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Friederich