jpnn.com - TANGSEL - Majelis Masyayikh menggelar uji publik atas Dokumen Standar Mutu Pendidikan Nonformal Pesantren, di Tangerang Selatan, 20-23 Agustus.
Uji publik melibatkan berbagai pemangku kepentingan meliputi organisasi masyarakat seperti RMI PBNU, LP2M PP Muhammadiyah, pengasuh pondok pesantren, akademisi pesantren, perwakilan asosiasi pendidikan pesantren, BAN PDM, perwakilan satuan pendidikan dan dari unsur pemerintah, yakni Kemenag RI dan Kemendikbudristek RI.
BACA JUGA: Le Minerale Salurkan Hewan Kurban ke Pesantren di Jakarta Timur
Ketua Majelis Masyayikh KH. Abdul Ghaffar Rozin, yang akrab disapa Gus Rozin, menegaskan pentingnya dokumen ini sebagai landasan bagi pendidikan nonformal di pesantren. Ia menyebut bahwa proses penyusunan dokumen standar mutu pendidikan nonformal Pesantren ini telah dilakukan kunjungan ke berbagai pesantren untuk mempelajari praktik-praktik terbaik yang ada.
"Para penulis dan para reviewer sudah sedemikian berikhtiar sampai berkunjung ke berbagai pesantren untuk melihat best practices yang ada di Pesantren tersebut dan bagaimana dirumuskan secara baik. Dokumen yang ada di tangan para penanggap merupakan ikhtiar maksimal dari seluruh tim yang terlibat dalam penyusunan," ujar Gus Rozin.
BACA JUGA: HUT ke-79 RI, Behaestex Bagi-Bagi Ribuan Sarung Merah Putih ke Ratusan Pesantren
Dokumen standar mutu pendidikan nonformal Pesantren ini tidak hanya sekadar standar administratif, tetapi juga merupakan upaya untuk memberikan rasa keadilan dan kesamaan hak kepada para santri.
Menurut Gus Rozin, amanat Undang-Undang Pesantren sangat jelas dalam mengharuskan pendidikan nonformal Pesantren, seperti pondok salaf, untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan setara dengan pendidikan formal.
BACA JUGA: Kiai Maman: Eco Pesantren Cara Efektif Mencegah Bencana Iklim
"UU Pesantren ini memberikan amanat bahwa pendidikan nonformal Pesantren seperti pondok salaf itu berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan setara dengan pendidikan formal. Artinya, meskipun santri kita hanya ngaji saja di pondok selama bertahun-tahun, negara mempunyai kewajiban untuk mengakui mereka. Sehingga santri entah butuh atau tidak, hak-hak sipilnya tetap terpenuhi," ujarnya.
Gus Rozin menekankan bahwa aturan yang dirumuskan dalam dokumen standar mutu pendidikan nonformal pesantren ini harus bersifat memberdayakan, bukan membebani pesantren.
"Jangan sampai para santri salaf yang terus menerus mengabdikan umurnya untuk mengaji ini kemudian menjadi masyarakat kelas dua yang bahkan untuk melamar menjadi mudin (Kaur Kesra) pun tidak diterima karena tidak mendapat hak-hak sipilnya. Aturan maupun regulasi yang dibentuk bersifat memberdayakan, tidak memaksa tetapi memberdayakan setiap unit Pesantren. Setiap pesantren adalah entitas yang unik dan karena itu perlu diberlakukan secara berbeda sesuai dengan kebutuhannya sendiri-sendiri," tuturnya.
KH. Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) selaku Anggota Majelis Masyayikh sekaligus divisi kurikulum dan pembelajaran yang membidangi penyusunan dokumen ini dalam arahannya menegaskan pentingnya uji publik karena merupakan satu-satunya rancangan rekognisi pendidikan nonformal.
“Uji Publik ini merupakan agenda yang sangat penting karena dokumen ini adalah yang pertama dan yang dimiliki satu-satunya. Kalau negara mengesahkan dokumen ini, maka dokumen ini merupakan satu-satunya regulasi tentang pendidikan nonformal," katanya.
Dokumen ini akan menjadi catatan sejarah penting bagi pesantren dan bentuk kehadiran negara atas dedikasi pesantren selama ini. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan