jpnn.com - SEJUMLAH makam tua yang ada di Kota Ternate dikeramatkan oleh warga setempat. Oleh warga lokal, makam-makam ini disebut jere. Jere Kulaba adalah salah satu dari sekian makam tua yang masih tersisa.
Ika Fuji Rahayu, Ternate
BACA JUGA: Nasib Miris Pedagang Batik di Kota Batik
Jere berarti kuburan atau makam. Kata ini berasal dari bahasa daerah Ternate. Namun bagi masyarakat Ternate, tak semua makam dapat dikategorikan sebagai jere. Hanya makam-makam tua dan diyakini milik orang berpengaruh yang dapat disebut jere.
“Jere merupakan warisan mazhab Syiah. Mereka adalah orang-orang yang pertama kali menyebarkan Islam di Maluku Utara, yang diyakini berasal dari Irak,” tutur Imam Besar Kesultanan Ternate, KH Ridwan Dero, kepada Malut Post (Jawa Pos Group).
BACA JUGA: LGBT Makin Terbuka, Begini Cara Mereka Kenalan dan Pacaran
Jere di Kota Ternate dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yakni jere yang masih tampak secara fisik dan jere hilang atau yang hanya diketahui berdasarkan cerita warga lokal. Jere hilang contohnya adalah tiga buah jere yang terletak di Kelurahan Rua, Kecamatan Pulau Ternate.
“Di Rua ada tiga buah jere, yakni di Rua atas (bagian selatan kelurahan, red), tengah, dan bawah (bagian utara kelurahan, red). Namun secara fisik jere-jere ini tidak bisa disaksikan sebab keberadaannya ada di kedalaman laut. Hanya kepercayaan masyarakat setempat yang menegaskan keberadaan jere tersebut,” papar Risno Wahid, penulis artikel Sejarah Jere Kulaba yang diterbitkan Kora-Kora, majalah resmi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).
BACA JUGA: Hati Pedih...Tunggu Belasan Tahun, Nongol Malah Ditimpuki
Tak ditemukan keterangan pasti sejak kapan jere Kulaba ada. Untuk mencapai jere ini, peziarah harus menempuh perjalanan sekitar 10 kilometer dari pusat kota menuju Kelurahan Kulaba yang merupakan pintu masuk ke Kecamatan Pulau Ternate.
Dari jalan raya kelurahan, perjalanan dilanjutkan ke arah lereng Gunung Gamalama sejauh 400 meter dari pemukiman penduduk. Sebelum memasuki areal jere, peziarah terlebih dahulu harus siloloa (meminta izin, red) pada petugas syara’ yang terdiri atas khatib dan muadzin yang menjaga makam.
Kompleks jere Kulaba memiliki luas sekitar 6x6 meter. Areal kompleks dikelilingi tembok setinggi 2 meter lebih. Terdapat sebuah pintu gerbang yang harus dilewati peziarah untuk masuk ke dalam areal makam. Begitu tiba di gerbang, peziarah wajib melepaskan alas kaki dan mengucapkan salam sebelum melangkahkan kaki masuk.
Selanjutnya, ritual ziarah seperti menaburkan daun pandan dan berdoa dapat dilakukan. Jika berziarah dengan tujuan hajat tertentu, maka harus didampingi petugas syara’ yang memimpin pembacaan doa.
Kondisi jere Kulaba sendiri boleh dibilang masih sangat baik. Jere itu masih tampak terawat jika dibandingkan dengan kondisi jere-jere lain di Kota Ternate. Fasilitas berupa bangunan untuk tempat petugas syara’ menunggu pun bisa dibilang baik. Ada pula ruang khusus yang digunakan untuk beribadah. Bangunan yang terletak persis di depan kompleks jere itu dibangun oleh salah seorang peziarah keturunan Tionghoa.
Pada bangunan tersebut juga diletakkan sebuah kotak amal. Meski begitu, peziarah tak diwajibkan membayar sepeser pun ketika menziarahi jere Kulaba. Kotak amal diperuntukkan bagi mereka yang bersedia menyumbang saja.
“Kotak amal itu baru dibuka setahun sekali. Tiap kali dibuka, jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah. Paling rendah Rp 15 jutaan. Uang itu digunakan untuk membangun masjid dan kegiatan sosial lain,” tutur Imam Kulaba, Hi. Abdulrahman Ali, kepada Malut Post belum lama ini.
Di dalam kompleks makam terdapat empat buah makam ukuran orang dewasa. Semua makam tersebut berbentuk sederhana, hanya berupa gundukan tanah yang dikelilingi batu dan dipenuhi irisan daun pandan. Nisan-nisannya berupa potongan batu hitam. Menariknya, salah satu makam memiliki nisan dengan tinggi mencapai 170 sentimeter.
Konon, makam tersebut merupakan makam utama di areal jere Kulaba, sementara tiga lainnya adalah makam pendamping. “Untuk mengetahui apakah sebuah makam itu adalah jere atau bukan, kita ambil sebotol air laut lalu diinapkan semalam di samping makam. Tentu ada orang yang menjaganya agar air itu tidak ditukar. Keesokan harinya, apabila air laut tersebut rasanya tawar, maka artinya nisan itu karamat (keramat, red),” ungkap Abdulrahman.
Oleh warga, tingginya batu nisan makam utama dipercaya lantaran sifatnya yang ‘bertumbuh sendiri’ atau selalu bertambah tinggi dengan sendirinya. Sekitar 20 tahun silam, nisan tersebut tertembak pemburu dan patah. Sejak saat itu, batu nisan tersebut tak lagi ‘tumbuh’. Ketika patah, warga setempat berupaya menyambung nisan keramat itu.
Namun puluhan warga secara bersamaan tak mampu mengangkat patahan nisan yang berukuran tak seberapa itu. Salah seorang tokoh agama Kulaba kemudian berhasil mengangkatnya. Oleh warga, nisan yang patah itu kemudian disambung menggunakan campuran semen. Bekas patahannya masih nampak hingga saat ini. “Pemburu yang tak sengaja menembaki nisan itu meninggal dunia pada hari itu juga,” tutur Abdulrahman.
Ada pula kepercayaan lain yang diyakini masyarakat setempat, yakni pintu gerbang jere harus dibuka 1x24 jam pada hari Senin, Kamis, Jumat, dan pada malam Lailatul Qadar. Kepercayaan ini telah menjadi tradisi yang disakralkan bagi warga lokal. Jika hal tersebut dilanggar, maka kelurahan akan mendapat musibah. “Pada hari-hari tersebut, dipercayai mereka (sang empunya makam, red) akan keluar. Jadi pintunya harus selalu dibuka,” kata Abdulrahman.
Sudah menjadi hal lazim di Kota Ternate, bahwa identitas orang yang dikuburkan di sebuah jere sama misteriusnya dengan keberadaan jere itu sendiri. Tak jarang, untuk mengetahui siapa sang empunya jere, kerap digunakan cara-cara mistis yang sulit diterima akal sehat untuk mencari tahu. Begitu pula yang dialami jere Kulaba.
Selain tak diketahui secara pasti awal mula keberadaannya, identitas pemilik makam pun enggan disebutkan oleh para penduduk. Alasannya, nama pemilik jere mengandung nilai yang sakral dan keramat sehingga penyebutan secara sembarangan akan berakibat tulah.
Namun Abdulrahman menuturkan kisah yang diceritakan turun temurun oleh para tetua di kampung tersebut yang menyatakan bahwa pemilik makam adalah seseorang berilmu agama tinggi yang berasal dari Tanah Arab. Konon, pada zaman dahulu, seorang pria lokal yang tengah mengambil garam di laut melihat sebuah kapal berukuran raksasa tengah berlayar menuju Pantai Kulaba.
Ketakutan, pria tersebut bersembunyi dan mengintip. Semakin mendekati pantai, ukuran kapal berubah menjadi semakin mengecil hingga akhirnya hanya berupa sebuah perahu. Pria itu lantas mendekati perahu yang kemudian berubah menjadi seorang lelaki yang tengah menaiki selembar sajadah.
“Orang itu kemudian ditanyai dari mana asalnya, ia menyebutnya dari tanah suci. Pria yang mengambil garam ini lalu bertanya bagaimana caranya agar ia juga memiliki ilmu agama yang tinggi, sementara dirinya tak pernah mengenyam pendidikan apapun. Oleh orang suci itu, si pria lokal kemudian diludahi mulutnya. Seketika, pria lokal ini pun menguasai ilmu agama yang tinggi pula,” kisahnya.
Lantaran ketokohannya, makam pria lokal yang kemudian diketahui bernama Fakirudin itu juga disakralkan oleh penduduk setempat. Makam tersebut terletak lebih dekat ke jalan raya kelurahan, sehingga rata-rata peziarah biasanya mampir ke makam tersebut sebelum mengunjungi jere Kulaba.
“Makamnya biasa kami sebut kubu Siko. Beliau seperti ‘ajudannya’ jere Kulaba sehingga orang biasanya ke makam tersebut sebelum ke jere,” jabar Abdulrahman.
Uniknya, tak jauh dari keempat makam di jere Kulaba, terdapat sebuah makam berbentuk lingkaran besar dengan diameter mencapai 1 meter. Makam tersebut hanya berupa sebuah batu berukuran besar yang dipenuhi irisan pandan. Makam unik itu merupakan milik tokoh agama Kulaba yang telah lama bermukim di Loloda, Halmahera Barat.
Batu yang kini menjadi makamnya merupakan tempat sang tokoh berdiri ketika mencuci kakinya atau berwudhu semasa hidupnya. Abdulrahman menuturkan bahwa batu tersebut awalnya hanya berukuran kecil. Entah mengapa, kini ukurannya menjadi sebesar itu. “Ketika saya kecil dulu, ukurannya hanya seperti dua kepalan tangan. Saya juga kaget kenapa sekarang sudah sebesar itu,” ujarnya.
Sama seperti makam lainnya, makam lingkaran ini pun diyakini muncul sendiri di areal makam. Pasalnya, sang tokoh sendiri dimakamkan di Loloda. Pada hari ketika batu tersebut muncul di areal jere Kulaba, batu tempat berdiri milik tokoh yang enggan disebutkan namanya oleh Abdulrahman itu juga dikabarkan menghilang dari rumahnya di Loloda.
“Kami juga awalnya tidak tahu batu apa itu. Tapi ketika keluarga beliau (tokoh agama, red) berkunjung ke Kulaba dan melihat batu itu, mereka mengatakan bahwa itu batu yang biasanya digunakan beliau untuk mencuci kaki dan wudhu,” papar Abdulrahman.
Jere Kulaba kerap dikunjungi banyak warga dari luar kelurahan untuk berziarah. Alasan peziarah datang ke sana bermacam-macam. Ada yang meminta keselamatan, kesembuhan dari penyakit, diberikan keturunan, hingga kenaikan pangkat. Tiap menjelang Pilkada, makam ini selalu dipenuhi orang-orang yang mencalonkan diri dalam Pemilu.
Saking padatnya, kegiatan ziarah bahkan dilakukan hingga tengah malam. Warga percaya, dengan berdoa di jere tersebut, keinginan dan harapan mereka lebih mudah terkabul. Meski banyak yang mengklaim telah membuktikan kebenaran kepercayaan tersebut, Abdulrahman menegaskan bahwa Tuhan lah yang mengabulkan permohonan peziarah, bukan sang empunya makam.
“Kalau menjelang Pemilu, banyak sekali orang yang datang untuk ziarah, terutama mereka yang mencalonkan diri menjadi pejabat. Tapi jere ini hanya merupakan perantara. Yang mengabulkan doa dan hajatan peziarah tetap Allah SWT,” tandasnya.(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Si Cantik, Satu-satunya Komandan Perempuan Tanker Pertamina
Redaktur : Tim Redaksi