jpnn.com - JAKARTA – Kekosongan kursi wakil gubernur Sumut berpotensi berlangsung hingga berbulan-bulan. Indikasinya, koalisi partai yang berhak menyodorkan nama calon wagub tidak kompak.
Terlebih lagi, aturan mengenai tenggat waktu pemilihan wagub oleh DPRD ini tidak jelas. Aturan batasan waktu ini adanya di aturan yang sudah jadul yakni UU Nomor 12 Tahun 2008.
BACA JUGA: Wihhh, Ratusan Kader Calonkan Diri Demi Posisi Ketua DPD PAN
Di pasal 108 ayat (6) diatur bahwa pemilihan wakil kepala daerah dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari. Tentunya, 60 hari sejak kursi wakil kepala daerah kosong.
Sementara, di UU pilkada yang baru, tidak ada ketentuan sampai kapan kursi wagub boleh dibiarkan kosong.
BACA JUGA: Empat Kapal Filipina Masuk Morotai, TNI AL Bertindak
Untuk kursi wagub Sumut, kosong terhitung sejak 25 Mei 2016, ketika Plt Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi resmi dilantik menjadi gubernur definitif.
Para politisi PKS dan Partai Hanura di tingkat DPP sendiri tampaknya masih santai, tidak sepanas suhu politik di Sumut.
BACA JUGA: Empat Kapal Filipina Masuk Morotai, TNI AL Bertindak
Wakil Ketua Umum DPP Hanura Nurdin Tampublon, memastikan DPP belum pernah membahas nama calon wagub Sumut.
Saat kemarin JPNN ini menghubungi Nurdin lewat ponselnya, dia mengatakan sedang berada di luar negeri. Dia minta agar wawancara sepulang dari luar negeri.
“Ini saya lagi di luar negeri. Ntar aja kalau sudah pulang ya, ini makan pulsanya banyak,” ujar Nurdin.
Sebelum dia menutup ponsel, JPNN minta penegasan soal nama cawagub Sumut, apakah sudah dibahas di DPP Hanura. “Belum, belum, belum ada,” ucapnya dengan nada enteng.
Di DPP PKS tampaknya tidak jauh berbeda. Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan DPP PKS, Almuzzammil Yusuf bahkan mengaku tidak tahu menahu mengenai perkembangan dinamika politik di seputar pengisian kursi wagub Sumut.
“Saya tidak tahu. Coba hubungi yang lain, bisa Pak Chairul Anwar (pengurus DPP PKS, red),” ujar Almuzzammil kepada JPNN kemarin.
Dari pernyataan dia, bisa dipastikan belum ada keputusan apa pun di PKS terkait calon wagub Sumut. Jika sudah ada, pastilah pentolan DPP PKS seperti Almuzzammil mengetahuinya.
Kembali ke soal mekanisme pemilihan dan batas waktunya. Ketidakjelasan aturan, dalam kasus pemilihan wakil walikota Palembang, menyebabkan proses pemilihan molor. Jauh melampaui batas waktu aturan jadul, yang menyebut 60 hari.
Diketahui, Plt Wako Palembang Harnojoyo dilantik menjadi Wako defenitif menggantikan Romi Herton pada 10 September 2015. Sejak hari itu, kursi wakil wako Palembang kosong.
Para angora DPRD lantas sibuk mencari aturan hukum yang mengatur pemilihan. Termasuk konsultasi ke kemendagri.
Akhirnya, ada “petunjuk” dari Kemendagri, lewat surat tertanggal 9 November 2015 dengan nomor 132.16/5692/OTDA perihal penjelasan mekanisme pencalonan wakil walikota Palembang.
Pada poin ke 3 dalam surat tersebut jelas disebutkan jika mekanisme pengangkatan dan pengusulan calon wakil gubernur, calon wakil bupati dan calon wakil walikota dapat berpedoman pada ketentuan pasal 131 Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 tentang perubahan ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sementara, pada pasal 131 ayat (2) PP 49 Tahun 2008 disebutkan, apabila terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan, kepala daerah mengusulkan 2 orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan.
Setelah melewati proses politik yang cukup alot, akhirnya pemilihan pemilihan Wakil Wako Palembang bisa digelar 3 Juni 2016. Jadi, 9 bulan setelah kursi wakil wako kosong.
Contoh lain di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Kekosongan kursi wakil bupati terjadi selama 268 hari alias 9 bulan juga. Yakni baru dilantik wabup Bonbol pada 3 Februari 2014.
Penelusuran JPNN, lamanya proses pemilihan wakil kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD di Palembang dan Bonbol, disebabkan tiga hal. Pertama, alotnya penetapan nama calon oleh koalisi partai pengusung.
Kedua, ketidakjelasan aturan pemilihan terutama soal batas waktu pemilihan. Ketiga, kepala daerah yang menjabat perlu waktu untuk mengusulkan dua nama calon yang akan dipilih DPRD. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Alhamdulillah...Bu Saeni Akhirnya Terima Donasi Rp 172 Juta
Redaktur : Tim Redaksi