jpnn.com - Seorang gadis muda bernama Malala Yousafzai menentang Taliban di Pakistan dan menuntut agar para wanita diizinkan untuk menerima pendidikan.
Pada 2012, seorang pria bersenjata menembak kepala Malala.
BACA JUGA: Taliban Makin Dekat, Presiden Afghanistan Sebut Pasukannya Membanggakan
Malala sekarang tinggal di Birmingham, Inggris dan diterima kuliah di jurusan sejarah, filsafat, dan politik Universitas Oxford.
Ini adalah jurusan bergengsi di universitas tertua dunia itu. Di fakultas itu pula almarhumah Benazir Bhuto berkuliah sebelum kemudian menjadi pemimpin Pakistan.
BACA JUGA: Takut Taliban, Negara-Negara Barat Evakuasi Diplomatnya di Afghanistan
Malala Yousafzai adalah seorang aktivis pendidikan berasal dari Pakistan. Dia menjadi orang termuda yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian saat usianya baru mencapai 17 tahun.
Ia tidak takut dalam menyuarakan pendidikan untuk anak perempuan, meskipun ancaman serta percobaan pembunuhan silih berganti menghampirinya.
BACA JUGA: Taliban Sudah Mengepung Kabul, di Mana Presiden Ghani?
Pada 9 Oktober 2012, seorang pria bersenjata menembak Malala ketika dia dalam perjalanan pulang dari sekolah.
Dia selamat dan terus berbicara tentang pentingnya pendidikan.
Pada 2013, gadis muda itu mendapatkan kesempatan untuk berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memukau para pemimpin dunia.
Malala lalu menerbitkan kisahnya dalam buku pertamanya berjudul I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban (2013).
Buku itu menjadi best seller dunia, diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk Indonesia oleh penerbit Mizan.
Dalam buku itu Malala mengatakan dia lebih suka dikenang sebagai seorang anak perempuan yang memperjuangkan kesamaan hak pendidikan terhadap anak perempuan di seluruh dunia, daripada dikenang sebagai seorang anak perempuan yang pernah ditembak Taliban.
Malala lahir pada tanggal 12 Juli 1997, di Mingora, Pakistan, yang terletak di sebuah lembah bernama Lembah Swat.
Selama beberapa tahun pertama hidup Malala, kampung halaman keluarga Yousafzai menjadi tempat wisata populer yang terkenal dengan festival musim panasnya. Daerah itu mulai berubah ketika Taliban masuk.
Malala bersekolah di sekolah yang didirikan ayahnya, Ziauddin Yousafzai. Setelah Taliban mulai menyerang sekolah perempuan di kampung halamannya, Malala berpidato di Peshawar, Pakistan, pada September 2008.
Judul pidato yang disampaikan adalah “Berani-beraninya Taliban mengambil hak dasar saya untuk menerima pendidikan."
Pada awal 2009, dalam usia sebelas tahun, Malala mulai menulis blog di BBC tentang hidup di bawah Taliban yang membatasi haknya untuk memperoleh pendidikan. Dia menggunakan nama samaran Gul Makai. Namun, identitas asli Malala akhirnya ketahuan tahun itu juga.
Malala terus berbicara tentang haknya, dan hak semua wanita, atas pendidikan. Kegigihannya menghasilkan nominasi untuk Penghargaan Perdamaian Anak Internasional 2011. Pada tahun yang sama, dia dianugerahi Penghargaan Perdamaian Pemuda Nasional Pakistan.
Malala dan keluarganya mengetahui bahwa Taliban telah mengeluarkan ancaman kematian terhadapnya. Kendati demikian, Malala lebih takut akan keselamatan ayahnya, yang merupakan aktivis anti-Taliban.
Pada awalnya, dia tidak benar-benar memikirkan bahwa Taliban akan membahayakan seorang anak. Namun, terbukti Malala tetap mendapatkan ancaman dan percobaan pembunuhan.
Pada Oktober 2012, ketika Malala yang berusia 15 tahun dalam perjalanan pulang sekolah di bus, seorang pria bersenjata bertopeng naik ke dalam bus dan bertanya yang mana Malala Yousafzai. Pria misterius itu menembak ke sisi kiri kepala Malala, kemudian peluru meluncur ke lehernya. Dua gadis lainnya juga ikut terluka dalam serangan itu.
Malala dalam kondisi kritis. Dia diterbangkan ke rumah sakit militer di Peshawar. Sebagian tengkoraknya diangkat untuk mengobati otaknya yang bengkak.
Untuk menerima perawatan lebih lanjut, dia dipindahkan ke Birmingham, Inggris. Meskipun Malala membutuhkan beberapa operasi pada saraf wajah, dia tidak mengalami kerusakan otak yang parah. Pada Maret 2013, Malala mulai bersekolah di Birmingham.
Sembilan bulan setelah ditembak oleh Taliban, Malala memberikan pidato di PBB. Dia menyoroti pentingnya pendidikan dan hak-hak perempuan serta mendesak para pemimpin dunia untuk mengubah kebijakan mereka.
Pada Oktober 2013, Parlemen Eropa menganugerahi Malala penghargaan "Sakharov untuk Kebebasan Berpikir" sebagai pengakuan atas karya dan keberaniannya. Pada Oktober 2014, Malala menjadi orang termuda yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada usia 17.
Pada April 2017, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menunjuk Malala sebagai Utusan Perdamaian PBB untuk mempromosikan pendidikan anak perempuan.
Dia juga diberi kewarganegaraan kehormatan Kanada pada April 2017. Dia adalah orang keenam dan termuda dalam sejarah yang menerima kehormatan tersebut.
Publikasi pers Barat mengenai tragedi Malala mulai bermunculan lagi setelah pasukan Taliban menguasai Afghanistan dan sekarang sudah memasuki ibu kota Kabul yang sudah ditinggalkan pasukan Amerika Serikat, NATO, dan Australia.
Taliban kembali berkuasa di Afghanistan sebagaimana pada 1996 sampai 2001, ketika pasukan Mullah Umar menguasai Afghanistan usai jatuhnya rezim komunis di bawah Mohammad Najibullah yang didukung Uni Soviet.
Pasukan Amerika kemudian menyerbu Afghanistan pada 2001 dan menjatuhkan pemerintahan Taliban. Pemerintahan baru didirikan dan dijaga oleh pasukan Amerika, NATO, dan Australia.
Selama 20 tahun menjadi pasukan pendudukan di Afghanistan membuat Amerika kelelahan juga.
Setelah Joe Biden menjadi presiden pada 2020, diputuskan untuk menarik kekuatan militer dari Afghanistan. Hal ini membuat pemerintahan Kabul goyah dan pasukan Taliban berhasil merebut daerah-darah kunci.
Kembalinya rezim Taliban langsung dikaitkan dengan fundamentalisme Islam, terutama dikaitkan dengan pemberangusan peran wanita, sebagaimana yang dialami Malala.
Media Barat sudah memublikasikan wawancara dengan wanita-wanita di Kabul dan beberapa kota yang sudah dikuasai Taliban. Mereka rata-rata khawatir kebebasan mereka untuk keluar rumah, bekerja, atau bersekolah, akan hilang begitu Taliban berkuasa.
Berita di media Barat menyebutkan bahwa PPKM ala Taliban sudah diberlakukan terhadap wanita di beberapa kota yang sekarang sudah dikuasai milisi Taliban. Kewajiban memakai burka dan larangan perempuan keluar rumah tanpa muhrim dilaporkan sudah diterapkan di wilayah kekuasaan Taliban.
Taliban sudah membantah hal ini, dan menganggapnya sebagai black campaign dan propaganda Barat yang mendiskreditkan Taliban.
Juru bicara Taliban Suhail Shaheen menyebut pemberitaan itu palsu dan hoaks tanpa dasar dan fakta.
Shaheen mengatakan bahwa Taliban akan tetap menghormati hak-hak perempuan untuk bekerja dan belajar di sekolah maupun universitas, sesuai dengan tradisi dan hukum Islam.
Selama sebulan terakhir, Taliban sudah menguasai 193 distrik di Afghanistan, dan tidak ada penutupan terhadap sekolah atau PPKM terhadap perempuan.
Amerika dan Barat sudah kalah dan "tinggal glanggang colong playu".
Medan Afghanistan yang berat memang sangat sulit ditundukkan. Sekarang yang bisa mereka lakukan hanyalah perang propaganda untuk mendiskreditkan rezim Taliban. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi