Malapraktik, RS Pondok Indah Didenda Rp 2 Miliar

Sabtu, 22 Juni 2013 – 00:59 WIB
JAKARTA - Gara-gara kesalahan menangani pasien (malapraktik), manajemen PT Binara Guna Mediktama yang mengelola Rumah Sakit (RS) Pondok Indah Jakarta harus membayar denda Rp 2 miliar. Nominal itu sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan dari anak Sita Dewati Darmoko (almarhumah).
     
Hal itu merupakan putusan atas permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari anak Sita, yakni Pitra Azmirla dan Damitra Almira. Majelis hakim menyatakan mengabulkan gugatan penggugat sebagian. "Menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi materil dan immaterial kepada para penggugat sebesar Rp 2 miliar," ungkap majelis dalam putusan yang dipublikasikan lewat situs MA kemarin.
     
Majelis hakim terdiri atas Atja Sondjaja (ketua), Valierine J.L Kriekhoff, dan I Made Tara. Putusan dengan nomor 515 PK/Pdt/2011 yang sudah terjadi sejak 2 Februari 2012 itu membatalkan putusan Kasasi no.1563 K/Pdt/2009 tanggal 29 Desember 2009. Dalam putusan kasasi majelis hakim hanya memvonis denda Rp 200 juta. Padahal, di pengadilan sebelumnya, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, menjatuhkan denda Rp 2 miliar untuk para tergugat.
     
Tergugat terdiri atas PT Binara Guna Mediktama (RSPI) dan para dokternya; Hermansur Kartowisastro, I Made Nazar, Emil Taufik, Mirza Zoebir, Bing Widjaja, dan turut termohon: Komite Medik RSPI dan dokter Ichramsjah A. Rachman. "Penurunan jumlah ganti rugi oleh judex juris (kasasi, Red) merupakan kekhilafan hakim," ujar majelis PK.
     
Kasus ini bermula pada 12 Februari 2005 ketika Sita menjalani operasi pengangkatan tumor ovarium. Tim dokter dipimpin Ichramsjah dengan anggota Hermansyur dan Made Nazar. Hasil operasi  diserahkan kepada Made Nazar untuk dicek di laboratorium Pathologi untuk diketahui ganas atau tidaknya.
     
Hasilnya diserahkan kembali ke Ichramsjah dan dinyatakan tumor tidak ganas. Hasil Patologi Anatomi (PA) terakhir pada 16 Februari 2005 mengindikasikan tumor ganas. Namun, hasil tersebut tidak disampaikan kepada pasien atau keluarganya.
   
November 2005 Sita dibawa kembali ke RS Pondok Indah karena kondisi semakin kritis. Suhu tubuhnya tinggi. Dia diperiksa dokter Mirza dengan hasil yang tidak jelas. Melihat medical record Sita yang baru dioperasi tumor tanpa memerhatikan hasil PA, Mirza memberi saran dan tindakan-tindakan antara lain pemeriksaan USG Abdomen dan  CT Scan Abdomen (minas hepar).
   
Pasien menemui kembali dokter Ichramsjah karena semakin banyak keluhan. Salah satunya benjolan di kiri perut. Karena termasuk area dokter lain, direkomendasikan ke dokter Hermansyur dan disarankan CT Scan. Disimpulkan pasien mengalami kanker liver stadium 4 dan dilemparkan kembali penanganannya ke dokter Ichramsjah.
     
Pasien pindah ke RS lain dan oleh dokter baru diminta CT Scan lagi. Sample jaringan tumor hasil pemeriksaan di RS Pondok Indah diminta untuk diteliti di Singapura. Hasilnya ternyata tumor ganas. Akhirnya pasien harus menjalani kemoterapi.
     
Pihak RS Pondok Indah berjanji memberi kompensasi Rp 400 juta dan selanjutnya meningkat menjadi Rp 1 miliar. Namun, janji itu tidak dipenuhi. Selama dirawat di RS pasien keluar dana Rp 172,7 juta. Keluarga pasien menuntut ganti rugi Rp 20 miliar dengan menggugat ke PN Jaksel.
     
Atas kekhilafan para hakim di tingkat kasasi, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Asep Rahmat Fajar mengatakan, salah satu syarat PK adalah adanya kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum. "Undang-undang menyediakan ruang perbaikan dengan memberi kesempatan pihak yang dirugikan," ujarnya. (gen/ca)
     

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemprov DKI Usulkan Penambahan Dana Hibah

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler