Mandela .

Sabtu, 29 Juni 2013 – 12:58 WIB
SALAH satu tokoh perdamaian tersohor zaman modern sedang meredup. Nelson Mandela, “BapakBangsa” Afrika Selatan dan simbol rekonsiliasi serta harapan sedang dirawat di rumah sakit. Sumber resmi pemerintah menyebutkan kekurangyakinan mereka atas kesembuhannya.

Kembali ke pertengahan tahun 90-an, saya cukup beruntung menghabiskan bertahun-tahun perjalanan antara Asia Tenggara dan Afrika Selatan untuk urusan klien di Johannesburg dan Cape Town.

Merupakan periode yang menggembirakan dalam catatan sejarah sebuah bangsa, selama 46 tahun dalam kekangan Apartheid lalu terbebaskan dalam pelukan multiras demokrasi di bawah upaya seorang pemberani “Madiba”.

Sejak saat itu kemudian dan dengan kesedihan mendalam yang dirasakan semua orang, janji dari era post-Apartheid telah redup.

Mayoritas masyarakat kulit hitam Afrika muncul dalam keadaan terjebak masa lalu – banyak orang tertahan di “tanah air” yang memiliki sumber daya terbatas dan peluang yang sedikit, mereka tersingkirkan dari kekayaan pertanian dan mineral negara.

Dengan lonjakan index Gini (ukuran ketidakadilan sosial) yang mencapai 0.7 dan kemiskinan yang parah, sangat sulit untuk melihat Afrika yang menjadi anggota BRICS ini dapat bergerak maju.

Selain itu, kebijakan diskriminasi positif yang diadopsi oleh African National Congress (ANC) pemerintah telah memperlihatkan sebuah perpindahan kekayaan kepada kaum elit kulit hitam Afrika seperti Cyril Ramaphosa dan Tokyo Sexwale. Mereka mendapat manfaat kebijakan paling mencolok.

Setelah menjadi kapitalis di negaranya sendiri, kaum elit kulit hitam lambat laun berubah menjadi bos yang tak bisa dihentikan dan sangat tangguh – buktinya adalah kejadian berunsur Apartheid yang mengejutkan tahun lalu yaitu penembakan akibat sengketa di tambang Marikana.

Meskipun demikian, dua puluh tahun lalu kebijakan dan nilai kemanusiaan yang dicetuskan Mandela adalah untuk memberi dampak luar biasa pada bangsanya yang terpecah belah.

Setelah mengalami 27 tahun dalam penjara, ia muncul sebagai titan – sosok otoritas moral – yang memaafkan orang-orang yang memenjarakannya maupun memperlakukan rakyatnya dengan tidak semestinya, meskipun tidak akan pernah lupa kejahatan yang pernah mereka buat.

Namun, keputusannya membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) adalah pengingat yang kuat bagi rakyat Afrika akan pentingnya penutupan tambang dan di saat yang sama kecaman moral dijatuhkan meskipun tidak setara dengan hukuman sebenarnya.

Meski dikritik tidak efektif, TRC merupakan langkah revolusioner yang melantangkan suara korban serta terungkapnya pelaku Apartheid. Tidak ada yang terlupakan atau disembunyikan diam-diam.

Pada saat yang sama, ia memahami pentingnya sebuah gestur –yang menjembatani hal-hal yang tak terjembatani- contohnya ia mendukung tim rugby Afrika Selatan atau dikenal dengan Springbok (yang saat itu) didominasi orang kulit putih di World Cup 1995. Peristiwa ini diabadikan dalam film tahun 2009 berjudul Invictus.

Dengan melakukan terobosan tersebut, Mandela dikenal sebagai sosok yang pemberani, pemersatu yang menunjukkan pada dunia dan khususnya seluruh rakyat Afrika Selatan bahwa mereka bisa menjadi “satu”.

Meski langkahnya terbilang kontroversial – ia menerima perlawanan dari masyarakat kulit hitamnya sendiri, namun Mandela paham bahwa tugas sebagai negarawan selalu membutuhkan pandering/kaki tangan untuk masuk ke markasnya sendiri.

Pada kenyataannya, sejak saat itu pemerintahan Afrika Selatan jauh lebih kompleks dan sulit untuk dijalankan.

Memperbaiki keluhan yang lama dipendam sungguh mustahil selama reformasi wilayah belum diambil.  Di setiap bagian “Rainbow Nation” (istilah untuk menggambarkan kondisi post-Apartheid), tertanam bahwa kekayaan selalu berpusat di tangan minoritas kulit putih dan khususnya wakil rakyat ANC.

Meski demikian, harus dikatakan bahwa kemarahan atas tindakan korupsi dan inkompetensi ANC (yang tak bisa dihindari menjadi partai penguasa), sekarang telah memangkas etnis yang berkelompok-kelompok.

Tidak jelas berapa lama ANC bisa terus berkuasa di belakang warisan kekuatan Madiba ketika ia nanti tak berumur panjang, kecuali jika ANC benar-benar mengubah dirinya seperti dalam slogan kampanye “kehidupan yang lebih baik untuk semua”.

Meskipun demikian, sosok Mandela yang menjadi inspirasi terhadap banyak orang – diantaranya aktivis pro demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi, terlebih kepada siapa saja yang menghabiskan waktu di balik dinding penjara dan pengasingan sebelum muncul kembali dan berupaya menyatukan orang-orang mereka.

Sebagai ikon, orang-orang seperti mereka tak terbantahkan, namun kita lupa mereka juga manusia biasa seperti kita yang tak bisa terhindar dari kesalahan. Sejarah akan selalu menghormati Mandela, namun Afrika Selatan masih mempunyai perjalanan yang jauh lagi sebelum ia akhirnya menjadi sebuah negeri yang pernah Mandela bayangkan sebelumnya.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Solo: Sebuah Barometer

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler