JAKARTA - Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), Hotasi DP Nababan, didakwa telah melakukan korupsi dalam proyek penyewaan dua pesawat Boeing pada 2006. Hotasi didakwa bersama-sama dengan mantan anak buahnya, Tony Sudjiarto melakukan korupsi hingga negara dirugikan USD 1 juta.
Pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (5/7), Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung, Heru Widarmoko membeberkan, pada tahun 2006 PT MNA yang dililit persoalan keuangan membuat rencana pengadaan dua unit pesawat dengan sistem leasing (sewa). Rencana itu ditindak lanjuti oleh Tony Sudjiarto selaku General Manager Pengadaan Pesawat MNA.
Dalam rangka pengadaan itu, MNA mengajukan sejumlah persyaratan tentang pesawat yang akan disewa. Antara lain pesawat buatan 1990-1995, dengan delapan kursi bisnis dan 132 kursi kelas ekonomi.
Akhirnya dipilihlah jenis Boeing 737-400 dan Boeing 737-500. Hanya saja, Hotasi tidak memberitahukan rencana pengadaan dua unit pesawat itu ke Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini Kementrian BUMN. "Bahwa terdakwa Hotasi selaku Dirut wajib menyampaikan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada RUPS untuk memperoleh pengesahan," ucap JPU Heru.
Namun demikian proses pengadaan terus dilakukan. PT MNA pun menerima proposal dari Thirdtone Aircraft Leasing Group (TALG) Washington DC yang menawarkan dua unit Boeing, yakni jenis 737-400 dan 737-500. MNA melalu agennya di Amerika, Naveed Sheed mendapat informasi bahwa harga Boeing 737-500 buatan tahun 1991 adalah USD 10,75 juta. Sementara harga Boeing 737-400 buatan tahun 1991 adalah USD 11,5 juta. "Sedangkan harga sewanya hanya USD 150 ribu per pesawat," sebut Heru.
Selanjutnya Tony dengan surat kuasa dari Hotasi, pada 18 Desember 2006 di Jakarta, menandatangani kesepakatan tentang syarat-syarat penyewaan dua unit Boeing masing-masing 737-400 dan 737-500 dengan Jon Cooper selaku perwakilan TALG. Dari kesepakatan itu, PT MNA diharuskan menyetor dana USD 1 juta untuk dua unit pesawat. Selanjutnya dana USD 1 juta tersebut harus langsung disetor sebagai security deposite tanpa ke rekening kantor pengacara Hume Associates.
Namun ternyata pesawat Boeing 737-500 yang akan disewa MNA itu masih dimiliki dan dikuasai oleh pihak lain yaitu East Dover Ltd. "Karena ternyata belum ada purchase agreement antara TALG dengan East Dover," imbuh JPU.
Namun pada 20 Desember 2006, Hotasi tetap melakukan penandatanganan kontrak sewa dengan TALG. Keesokan harinya, Hotasi memerintahkan transfer uang USD 1 juta melalui Bank Mandiri ke rekening pengacara Hume Associates. Padahal Hotasi sudah mengetahui ternyata yang dibayarkan ke Hume Associates itu akan digunakan TALG sebagai uang muka pembelian pesawat 737-500 ke East Dover.
"Bahwa akibat perbuatan terdakwa Hotasi selaku Dirut MNA membayarkan security deposite secara cash USD 1 juta ke Hume Associates, telah memperkaya pihak lain dalam hal ini TALG dan mengakibatkan kerugian negara USD 1 juta," sebut JPU di hadapan majelis yang diketuai Pangeran Napitupulu.
Akibat perbuaan tersebut, Hotasi dalam dakwaan primair dijerat dengan pasal 2 ayat (1) juncto pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman penjara maksimal 20 tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya Rp 20 miliar.
Atas dakwaan tersebut, Hotasi dan tim penasihat hukumnya akan mengajukan eksepsi pada persidangan pada Kamis (12/7) pekan depan.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Kembali Panggil Agung Laksono
Redaktur : Tim Redaksi