Mantan Wagub DKI Anggap Ahok Gali Kuburan Sendiri

Selasa, 03 Maret 2015 – 06:35 WIB
Mantan Wakil Gubernur DKI, Prijanto. Foto: Dokumen JPNN.com

jpnn.com - PERSETERUAN antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan DPRD DKI Jakarta terkait masalah APBD DKI 2015 menuai sorotan dari mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto. Menurut dia, kisruh anggaran terjadi sebagai akibat belum ada kesepahaman dalam penggunaan sistem e-budgeting.

Prijanto menegaskan, e-Budgeting merupakan pilihan sistem untuk memformat anggaran atau keuangan daerah. Yakni memiliki tujuan keamanan, mempercepat akses, mudah diakses dan dibaca oleh siapa saja. Bahkan tak bisa dikutak-kutik oleh sembarang orang lantaran terkunci. Hanya petugas yang mengetahui kunci saja yang bisa membuka dan mengubah isi Rancangan APBD.

BACA JUGA: Tantang Balik Dewan, Ahok: Kalau Sogok Pakai Lambhorgini Dong

Perubahan RAPBD hasil pembahasan bersama, memiliki konsekwensi bagi gubernur untuk mengubah RAPBD yang diajukan.

"Artinya, ketika memilih e-Budgeting, tidak berarti RAPBD awal tidak bisa diubah bak kitab suci," ujar Prijanto, kemarin (2/3).

BACA JUGA: Pemprov DKI Siap Perbaiki Wihara Dharma Bakti

Terkait dengan persoalan dana siluman yang belakangan ini digaungkan oleh gubernur sebagai senjata untuk melawan DPRD DKI Jakarta, Prijanto cenderung menggunakan istilah ’program siluman’. Eksekutif menyebut ’siluman’ karena kemunculannya di luar RAPBD.

Namun dari sisi anggota dewan, alokasi itu disebut pokok-pokok pikiran (pokir). Program yang muncul bisa sesuai kebutuhan masyarakat atau sebaliknya. Pada September 2009, Prijanto pernah mengritisi perilaku dewan melalui buku berjudul ’Mengintip APBD & Pembangunan Jakarta’.

BACA JUGA: Abdee Slank Juluki Ahok Pejuang Antikorupsi

”Walaupun saya kesal terhadap perilaku oknum dewan, saya berpendapat boleh dan penting anggota DPRD bisa membahas sampai satuan tiga namun dengan catatan,” tandas Prijanto.

Alasan diperbolehkannya dewan untuk membahas hingga satuan tiga (penyusunan anggaran), kata Prijanto, sebab kedudukan DPRD yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Alasan lainnya yakni, anggota dewan juga mengetahui kebutuhan rakyat dan  wilayahnya. Termasuk untuk melengkapi bila ada yang terlewatkan dalam konsep RAPBD.

Tindakan dewan, kata Prijanto, sangat dibutuhkan lantaran konsep dari eksekutif belum tentu benar. Selain itu juga dewan berfungsi membantu eksekutif agar tidak melakukan kesalahan.

”Apa yang dilakukan DPRD juga sebagai bentuk implementasi fungsi pengawasan. Hanya saja, pokir dewan harus sesuai dengan kebutuhan rakyat,” tandas dia.

Sedangkan langkah Ahok ke KPK tidak ada korelasi dengan ’pelanggaran aturan’ yang dilakukan Ahok dalam proses penyusunan APBD 2015. Langkah Ahok ke KPK patut diapresiasi. Namun bukan menjadi pembenaran atas pelanggaran pengiriman RAPBD 2015 ke Kemendagri yang bukan hasil Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta.

”Jika Ahok ada etika dan komunikasi politik yang baik, setelah gubernur menerima laporan hasil pembahasan oleh sekda (Tim Anggaran Pemerintah Daerah), jika ada yang dirasa mengganjal, gubernur masih punya waktu, bisa dan harus melakukan komunikasi dengan DPRD sebelum Rapat Paripurna. Inilah yang disebut dengan komunikasi politik,” tutur Prijanto.

Prijanto mengatakan, kini dewan pada posisi pasif. Sebab pembahasan anggaran sudah selesai.

”DPRD menganggap perubahan sudah dimasukkan dalam sistem e-budgeting. Ternyata tidak. Keanehan justru terjadi, yang dikirim ke Kemendagri draft awal RAPBD. Eksekutif beralasan, ini e-budgeting yang tidak bisa diubah, dan gubernur tidak ingin ada anggaran siluman,” keluh dia.

Apabila anggaran telah melalui pembahasan bersama, sambung Prijanto, maka tidak bisa disebut anggaran siluman. Justru semestinya dilaksanakan pembahasan, komunikasi dan koreksi sebelum diparipurnakan.

”Jurus Ahok menyikapi hak angket dewan dengan melaporkan APBD 2014, bisa disebut menggali kubur untuk dirinya dan yang  terkait,” tandas dia.

Sebab berdasarkan UU No 32/2004 pasal 27, gubernur dan wakil gubernur memiliki kewajiban yang sama dalam melaksanakan dan mempertanggunjawabkan pengelolaan keuangan daerah. Perda APBD 2014 adalah perintah Gubernur Jokowi kepada satuan bawahannya, untuk melaksanakan program pembangunan di Jakarta.

Apabila sejak awal diketahui ada program yang mencurigakan, tentunya gubernur tidak boleh tanda tangan. Sebab dengan tanda tangan berarti menyetujui. Jika dalam APBD 2014 diketemukan ada kerugian negara pada pos-pos tertentu, maka yang harus bertanggung jawab adalah gubernur dan wakil gubernur pada waktu itu.

Unsur pelaksana dan pembantu  yang terseret antara lain, kepala SKPD atau pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, panitia lelang, kepala Bappeda, kepala BPKD, Inspektorat dan karo Hukum.

“Tidak menutup kemungkinan oknum DPRD dan pemprov yang mendorong munculnya program tersebut serta kecipratan duit, juga harus bertanggung jawab,” kata Prijanto.

Laporan Ahok ke KPK, imbuh Prijanto, juga diibaratkan tsunami bersih-bersih dari koruptor, termasuk kuburan bagi dirinya. KPK hendaknya tidak pilih kasih dalam menegakkan hukum dan keadilan.

“Bisakah kasus APBD 2014 di DKI diselesaikan KPK sebagaimana penyelesaian kasus Hambalang yang menyeret Menpora, Andi Malarangeng? Mari kita tunggu,” pungkas dia.(wok/indopos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... ‎Ahok Klaim Warga Jakarta Dukung Perubahan Sistem APBD


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler