Manusia Kerdil

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 02 April 2022 – 20:46 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Dikotomi kampret dan cebong atau kaceb, masih tetap hidup di tengah masyarakat, memisah opini masyarakat menjadi dua dan menjadikan bangsa ini ‘’a divided nation’’, bangsa yang terbelah.

Isu apa pun yang muncul hampir selalu membelah opini bangsa ini menjadi dua kubu yang berhadap-hadapan secara detrimental.

BACA JUGA: Prabowo & Sandi Jadi Pembantu Jokowi, Kenapa Harus Ada Cebong Vs Kampret?

Urusan penentuan awal Ramadan, memecah publik menjadi dua, dan memisahkan dua kubu menjadi kampret dan cebong.

Ketika Dokter Terawan dipecat oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) isu yang muncul adalah isu kaceb.

BACA JUGA: Sikap Muhadjir Effendy soal Kasus Dokter Terawan Sangat Berbeda

Ketika Mendikbud Nadiem Makarim menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan nasional, isu yang muncul adalah isu kaceb.

Jenderal Andika Perkasa membolehkan keturunan PKI mendaftar menjadi tentara, isu yang muncul adalah isu kaceb.

BACA JUGA: Jelang Ramadan, Pasar Tanah Abang Hingga Mal Dipadati Pengunjung

Penulis Amerika, Ben Saphiro dalam ‘’The Right Side of History’’ (2020) memberikan gambaran mengenai bangsa yang terbelah, satu berada pada sisi yang salah, satunya berada pada sisi yang benar. Dua kekuatan itu akan senantiasa terlibat dalam pertempuran memperebutkan pengaruh.

Sisi kanan adalah sisi konservatif yang diasosiasikan dengan kelompok politik yang bersemangatkan keagamaan dan kolektivitas. Sisi kiri mewakili kalangan liberal yang lebih dekat dengan individualisme dan sekularisme.

Saphiro, seorang Yahudi ortodoks melihat kelompok kanan berada pada sisi yang benar dalam sejarah, karena kelompok kanan memadukan akal (ilmu pengetahuan) dengan iman yang akan menghasilkan keseimbangan.

Kelompok kiri yang liberal, oleh Saphiro dianggap kehilangan keseimbangan karena terlalu menekankan pada kebebasan individual dan sekularisme sehingga mengabaikan peran agama.

Manusia akan sempurna jika bisa memadukan kekuatan akal dan iman menjadi satu. Sebaliknya akan menjadi timpang dan tidak sempurna jika hanya mengedepankan akal saja tanpa iman, atau iman saja tanpa akal.

Saphiro yang merujuk pada tradisi Judeo-Kristiani berpendapat bahwa sebuah bangsa berada pada sisi yang benar jika bisa memadukan “kekuatan Athena” dengan kekuatan “Jerusalem”.

Kekuatan Athena (Yunani) adalah kekuatan akal dan ilmu pengetahuan, sedangkan kekuatan Jerusalem adalah kekuatan iman.

Jauh sebelum muncul gagasan Saphiro, almarhum B.J Habibie pernah mengajukan konsep yang sama dengan menyebut ungkapan “Otak Jerman Hati Mekah”. Perpaduan antara ilmu pengetahuan, teknologi iman, dan takwa. Imtek dan imtak.

Pendidikan Indonesia harus membentuk manusia yang seimbang dalam imtek dan imtak. Manusia yang mempunyai otak ilmu pengetahuan sekelas “otak Jerman” Habibie, tetapi tetap dibarengi hati penuh takwa yang selalu bertaut ke Mekah sebagai kiblat iman.

Ancaman terhadap konsep imtek dan imtak muncul dari pendidikan liberal yang diperkenalkan Nadiem Makarim yang mengagungkan individualisme dan sekularisme.

Pendidikan liberal menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan tanpa harus dibarengi dengan agama.

Kemajuan ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi iman akan menjadikan manusia memainkan peran Tuhan (playing god).

Kemajuan ilmu pengetahuan bisa memperpanjang umur manusia. Kemajuan ilmu genetika bisa menciptakan manusia yang lebih cerdas dan terhindar dari penyakit. Kemajuan ilmu pengetahuan bisa menciptakan manusia super ala Superman.

Ilmu pengetahuan sudah bisa menciptakan kloning domba yang bisa berkembang menjadi cloning manusia.

Selama beberapa tahun terakhir isu-isu besar yang muncul selalu memecah masyarakat menjadi dua kelompok yang seolah-olah berhadapan diametral. Rekonsiliasi politik setelah Pilpres 2019 ternyata hanya rekonsiliasi semu.

Bangsa Indonesia sudah mempunyai “common denomination” pijakan yang sama untuk melangkah bersama. Pijakan bersama itu adalah Pancasila yang sudah menjadi konsensus bersama para founding parents, pendiri bangsa.

Namun, alih-alih menjadikan Pancasila sebagai “common denomination”, rezim sekarang ingin memonopoli tafsir dan interpretasi terhadap Pancasila dengan mendaku sebagai yang paling Pancasila, seolah-olah Pancasila barang warisan yang bisa dikantongi sendiri.

Rezim ini mengidap “historical myopia”, rabun sejarah, tak punya pandangan jauh ke depan dan tidak punya kaca spion untuk menoleh ke belakang.

Upaya memperpanjang masa jabatan kepresidenan menjadi tiga periode adalah contoh rabun sejarah yang nyata. Godaan memperpanjang kekuasaan dengan memperkosa konstitusi adalah kesalahan sejarah yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang berakibat sama-sama fatal.

Sejarah membuktikan bahwa ternyata bukan hanya keledai yang terperosok lubang yang sama berkali-kali.

Indonesia beruntung mendapat berkah Pancasila yang dirumuskan para pendiri bangsa. Pancasila akan menempatkan bangsa Indonesia pada sisi yang benar dalam sejarah. Pancasila menjadi pemandu bagi ‘’moral purpose’’ tujuan moral pembangunan bangsa yang didasari nilai-nilai agama.

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi ruh utama arah perjalanan bangsa, dan menjadi payung bagi empat sila lainnya. Biarkan Pancasila utuh dalam kesatuan tidak perlu diperas jadi Trisila apalagi Ekasila dengan mengaburkan peran Ketuhanan Yang Maha Esa.

Indonesia sedang menghadapi perubahan besar karena perubahan konstelasi dunia setelah Covid-19 dan ancaman perang Rusia-Ukraina yang belum ketahuan akan berakhir seperti apa.

Jeffrey D. Sachs menyebutkan tiga modal utama yang bisa menjadi senjata bangsa-bangsa untuk bisa “survive and strive”, bertahan dan berkembang, yaitu modal geografi, modal teknologi, dan modal institusi.

Ketiga modal itu akan menjadi mesin kemajuan di tangan pemimpin yang visioner dan punya wawasan. Sebaliknya, modal besar itu akan menjadi bencana di tangan pemimpin yang picik dan kerdil.

Letak geografis sebuah negara adalah berkah dari Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Negara-negara yang beriklim sedang (temperate) yang menyebar di sekujur Garis Khattul Istiwa’ (Katulistiwa) punya potensi untuk lebih makmur dibanding negara-negara yang jauh di atas garis yang membuatnya gersang dan di bawah garis yang membuatnya beku.

Indonesia mendapatkan berkah modal yang sangat berharga. Jamrud Katulistiwa, jaminan kemakmuran. Tongkat dan batu jadi tanaman di Nusantara, kata Koes Plus. Namun, di negeri Indonesia tongkat dipakai menggebuk buruh dan batu untuk melempari polisi.

Modal teknologi adalah sebuah niscaya. Di dunia global penguasaan teknologi akan menjadi faktor pembeda. Akses terhadap teknologi terbuka bagi bangsa mana saja selama strategi pendidikannya bisa menjawab tantangan globalisasi, dan bisa menempatkan diri pada sisi sejarah yang benar.

Teknologi adalah ciptaan manusia yang bisa diakses manusia mana saja yang mumpuni.

Faktor ketiga adalah institusi, dalam hal ini adalah pemerintahan. Lokasi geografis adalah anugerah dari Tuhan, sedangkan teknologi dan institusi adalah buatan manusia.

Banyak negara-negara kaya sumber daya alam terkena kutukan “resource curse”, alih-alih makmur malah menjadi gembel karena gagal mengelola kekayaan alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan.

Bangsa Indonesia dikaruniai kelapa sawit yang berlimpah, minyak yang limpah ruah, dan batu bara yang murah. Namun, semuanya tidak menjadi berkah, tetapi malah menjadi kutukan. Minyak goreng langka, harga bahan bakar minyak naik, harga-harga lainnya melonjak.

Institusi pemerintahan yang tidak kompeten, dan hanya sibuk memikirkan perpanjang kekuasaan, akan membuat sebuah bangsa yang secara geografis potensial makmur menjadi terpuruk.

Bangsa ini hidup sebagai kuli di tengah bangsa-bangsa, dan menjadi bangsa yang dipenuhi para kuli. “Coolies among nations, nation among coolies,” kata Bung Karno.

Bangsa Eropa dan Amerika yang berada pada negara empat musim ditakdirkan menjadi bangsa yang kaya dan maju. Itu bukan takdir, tetapi ikhtiar.

Indonesia pun bisa maju karena ikhtiar sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh bangsa-bangsa yang maju.

Anderson dan Acemoglu menguliknya dalam “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty”.

Dia membuktikan bahwa negara menjadi maju karena institusi pemerintahannya ‘inclusive” melibatkan rakyat dalam berbagai keputusan strategis. Sebaliknya, institusi negara yang “extractive”, meninggalkan dan mengakali rakyat, akan menjadi negara miskin dan terbelakang.

Kebijakan extractive adalah kebijakan yang mengabaikan rakyat dengan memanipulasi suara rakyat dengan berbagai cara. Diciptakan big data yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Tujuannya adalah mengarang dukungan rakyat ‘’manufacturing consent’’ untuk memperpanjang kekuasaan secara tidak sah.

Indonesia sedang berada pada zaman persimpangan yang sangat krusial. Indonesia punya potensi besar untuk menjadi bangsa besar di tengah tantangan global yang besar.

Namun, seperti kata Bung Hatta yang mengutip Schiller, ‘’Sebuah epos besar dilahirkan abad ini, tetapi momen besar itu menemui manusia kerdil’’. (*)


Redaktur : Mufthia Ridwan
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler