Mardani PKS Ungkap Bahaya Omnibus Law, Otonomi Digunting dan Pejabat Daerah Bisa Tak Digaji

Rabu, 24 Juni 2020 – 19:35 WIB
Seorang buruh membawa poster penolakan terhadap Omnibus Law. Foto: M Fathra/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera membeberkan bahaya omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) bagi keberlangsungan otonomi daerah.

Pandangan ini disampaikan Mardani melalui kultwit di akunnya di Twitter pada Rabu (24/6).

BACA JUGA: DPD RI Lanjutkan Pembahasan DIM RUU Omnibus Law Cipta Kerja

"Bismillah, berbagai polemik muncul terkait RUU Omnibus Law. Salah satunya potensi hilangnya otonomi/kewenangan daerah yang membayangi negeri kita ke depan. Banyak kewenangan pemda yang ditarik oleh pemerintah pusat, bahaya jika semua kewenangan tersentral seperti itu. #BahayaOmnibusLaw," cuit @MardaniAliSera.

Dalam pandangannya, kekuasaan yang sentralistik dalam konteks berdemokrasi amat bertentangan dengan semangat reformasi.

BACA JUGA: Tidak ada yang Salah dari Omnibus Law

Negara sebesar Indonesia butuh peran daerah melalui pendekatan sentralisasi yang menghendaki kebijakan bottom-up, bukan sebaliknya seperti yang ada dalam RUU Omnibus Law.

"Potensi hilangnya otonomi daerah dapat dilihat dalma Pasal 162,163,164, dan 166 RUU Omnibus Law yang menempatkan seluruh kepala daerah di bawah komando pemerintah pusat. #BahayaOmnibusLaw," tulis Mardani.

BACA JUGA: Pemerintah Diminta Fokus Mengurusi Nasib Buruh Ketimbang Omnibus Law Ciptaker

Imbasnya, lanjut legislator berdarah Betawi ini, pemerintah pusat berwenang menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mencabut atau membatalkan Perda yang dibuat Pemda.

Tidak hanya menggunting kewenangan daerah, para pejabatnya pun bisa tidak digaji.

"Jika pemda tetap menjalankan perda yang telah dibatalkan pemerintah pusat, kepala daerah dan anggota DPRD daerah yang bersangkutan bisa tidak mendapatkan gaji maupun tunjangan selama 3 bulan. #BahayaOmnibusLaw," sambung Mardani.

Tidak cukup di situ, menurutnya, daerah tersebut juga dikenakan potongan atau penundaan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat.

Belum lagi wacana penyelarasan pajak antara pemerintah pusat dan daerah yang justru bisa mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

"Pemerintah perlu ingat bahwa selama ini PAD kita masih di bawah 10%. Justru pemerintah pusat perlu menghadirkan kebijakan untuk memperkuat hal tersebut. #BahayaOmnibusLaw," ucap Mardani.

Penguatan bisa dilakukan dengan menggali potensi pajak, memacu inovasi daerah agar PAD meningkat sampai mewujudkan kemandirian eknonomi daerah. Bukan malah memangkasnya.

Mardani menyebutkan, dalam menerapkan demokrasi di negeri sebesar Indonesia, keseimbangan hubungan pusat-daerah harus dijaga karena itu sangat strategis.

"Melihat berbagai poin kontroversial di atas, hilangnya otonomi daerah dan mengarah kepada sistem sentralisasi terbuka lebar. #BahayaOmnibusLaw," tegasnya.

Selain itu, ada peluang melanggar pasal 18 ayat 2 dan 5 UUD 1945 yang menitikberatkan penyelenggaraan otonomi daerah seluas-luasnya kecuali urusan Pemerintah Pusat yang bersifat absolut yang diatur oleh UU.

Ketua DPP PKS itu berpendapat bahwa sentralisasi dalam investasi tidak selamanya baik. Mestinya pemda diberikan regulasi agar daerah dapat berinovasi dalam menarik investasi.

Belum lagi masih banyak masalah fundamental yang harus diselesaikan terlebih dahulu, seperti penegakan hukum yang tidak konsisten, pungli, serta budaya kerja yang tidak efisien di birokrasi.

Mardani menambahkan, dalam merumuskan suatu peraturan pemerintah perlu berfikir jauh ke depan. Bukan tidak mungkin jika beleid ini diberlakukan justru menimbulkan masalah baru diberbagai daerah.

"Seperti tersendatnya berbagai proses karena pemda merasa tidak bertanggung jawab. Masyarakat lagi yang terkena imbasnya," tandasnya.(fat/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler