Dengan peningkatan jumlah kasus COVID-19 yang dilaporkan di Indonesia, berbagai upaya masih bisa dilakukan untuk menghindari diri dari virus corona.

Beberapa pakar psikologi di Indonesia yang dihubungi ABC News telah memberikan saran, seperti menghentikan kebiasaan merokok, yang bisa membuat resiko terhadap kesehatan meningkat.

BACA JUGA: Undang Semua Tokoh Agama, Ganjar: Mengurangi Potensi Salah Persepsi

Menghentikan kebiasaan merokok juga dapat menghemat uang yang kemudian bisa dipakai untuk membeli bahan kebutuhan pokok lain.

Belum ada data resmi mengenai sebab kematian korban virus corona di Indonesia, namun dari data yang sudah tersedia dari China, rata-rata mereka yang meninggal karena corona adalah pria berusia 56 tahun dan merokok.

BACA JUGA: Politikus Senayan Ini Nilai Anggota DPRD Blora Tidak Tahu Terima Kasih

Professor Yayi Suryo Prabandari dari Fakultas Kedokteran di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mendukung saran agar warga Indonesia yang merokok untuk menghentikan kebiasaan tersebut.

"Yang pertama yang bisa dilakukan adalah berhenti merokok," ujar Professor Yayi dalam perbincangan dengan wartawan ABC Indonesia, Sastra Wijaya, hari Jumat (20/03).

BACA JUGA: Apa Solusi Defisit Iuran BPJS Kesehatan di Tengah Isu Corona?

"Kalau belum bisa, usahakan merokok di tempat yang disediakan dan bukan dalam rumah, di dalam gedung," tambahnya. Photo: Prof Yayi Suryo Prabandari dari UGM Yogyakarta. (Foto: Koleksi pribadi)

 

Prof Yayi mengatakan usaha menurunkan tingkat merokok di Indonesia memang tidak gampang dilakukan.

Tetapi merokok membuat tubuh lebih rentan terserang virus corona.

"Berhenti merokok itu perlu niat dan saat ini situasi yang tepat. Membeli rokok pun juga perlu keluar rumah, sementara dihimbau untuk tetap di runah sekarang ini," tambahnya.

Saat ini virus corona mulai menunjukkan dampaknya terhadap perekonomian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sehingga warga harus lebih berhemat dalam pengeluaran.

Di Indonesia data menunjukkan pengeluaran pembelian rokok adalah pengeluaran kedua terbesar, setelah pembelian beras.

Penelitian Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta menunjukkan jumlah perokok di Indonesia ada 66,9 juta orang yang menghabiskan 12.3 batang rokok perhari.

Jika dihitung dari jumlah total secara nasional, biaya yang dihabiskan untuk membeli rokok adalah Rp 0.8 triliun.

"Bila jumlah uang ini dibelikan makanan maka kebutuhan 2.210 kalori setiap hari bagi warga Indonesia akan tercukupi," tulis laporan tersebut. Menjadi Duta 'Social Distancing' Photo: Himbauan dari Himpunan Psikologi Indonesia agar warga Indonesia menjadi duta social distancing untuk memerangi virus corona. (Foto: Facebook)

 

Professor Yusti Probowati dari Fakultas Psikologi Universitas Surabaya di Jawa Timur sudah menyebarkan ide yang digalang oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) agar setiap warga Indonesia menjadi duta 'social distancing'.

'Social distancing' adalah menjaga jarak antar individu atau menghindari kerumunan dengan tujuan mengurangi penyebaran virus corona.

"Setiap dari kita bisa menjadi duta social distancing. Tugasnya mengedukasi satu orang lain untuk tinggal di rumah selama 14 hari."

"Jika setiap orang menjadi duta social distancing, maka tidak ada lagi orang yang keluar rumah untuk hal yang sebenarnya bisa ditunda atau hal yang tidak penting seperti ke mall atau ke cafe."

"Social distancing bisa membantu Indonesia memutus mata rantai COVID-19," demikian pesan HIMPSI yang sudah disebarkan mulai hari Jumat (20/3/2020).

Menurut Professor Yusti, karena berbagai faktor, sebagian masyarakat di Indonesia belum merasakan adanya kekhawatiran saat menghadapi virus corona. Photo: Prof Yusti Probowati dari Universitas Surabaya. (Foto: Supplied)

 

"Banyak masyarakat Indonesia berada di level menengah ke bawah yang harus bekerja untuk hidup sehari-hari," kata Professor Yusti.

Selain kampanye di media sosial, ia juga mengajak warga untuk melihat apa yang pernah dilakukan oleh Walikota Surabaya, Risma Tri Harini dalam menyampaikan informasi.

"Strateginya harus seperti Bu Risma yang teriak-teriak menggunakan loudspeaker keliling kota pake mobil, kayak promosi bioskop jaman dulu," kata Professor Yusti.

Menurutnya strategi penyampaian informasi dengan cara tradisional seperti kampanye menggunakan mobil keliling kota perlu dilakukan.

"Strategi ini bisa dilakukan karena banyak masyarakat kita yang pendidikannya masih rendah. Mereka masih tidak paham bahayanya secara menyeluruh."

"Virus ini jika penderitanya banyak maka rumah sakit akan lumpuh, seperti yang terjadi di Italia," tambahnya. Melibatkan tokoh masyarakat dan agama

Bila HIMPSI sudah mulai berkampanye di media sosial, Dr Avin Fadilla Helmi dari Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta mengatakan kampanye 'social distancing' harus juga bisa melibatkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat.

Tujuannya adalah tak lain agar lebih banyak warga yang mau menuruti himbauan tersebut. Photo: Dr Avin Fadilla Helmi dari Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta. (Foto: Koleksi pribadi)

 

Dr Avin mengatakan informasi soal 'social distancing' dan bagaimana melakukannya masih belum sepenuhnya dimengerti.

Ia mengaku pernah mencoba bertanya di WhatsApp grup sebuah kelompok PKK tingkat RT soal apa yang sudah ibu-ibu pahami dari pesan yang dikirim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) soal 'social distancing'.

Avin mendapatkan bahwa pada umumunya anjuran untuk tidak keluar rumah sudah dimengerti dan bila keluar rumah harus menggunakan masker.

"Namun salah satu ibu mengatakan bahwa menjaga jarak itu bersifat fleksibel," jelas Dr Avin.

"Artinya, jika olah raga memang bisa diatur jaraknya 1 meter tetapi jika dalam pengajian, masa duduknya 1 meter-an, mestinya duduk berdekatan tetapi tidak perlu bercakap-cakap," demikian jawaban seorang ibu, seperti dituturkan Avin.

Menurutnya, kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan di masyarakat sudah mengakar dan bahkan jadi identitas masyarakat.

Karenanya bisa menjadi hambatan dalam pelaksanaan 'social distancing'.

"Sebagai contoh, betapa mudahnya mereka terlibat dalam berbagai lomba atas nama PKK atau atas nama kelompok warga tertentu," jelasnya.

"Ketidakhadiran mereka dalam aktivitas sosial dan keagamaan sering membuat mereka tidak nyaman dan yang ekstrem sampai merasa tidak bersalah," tambah Dr Alvin.

"Ada perasaan keterikatan yang kuat dengan komunitas," tambahnya lagi.

Tetap digelarnya pentahbisan Uskup Katolik Ruteng di Nusa Tenggara Timur dan pembatalan Tabligh Akbar di Gowa Sulawesi Selatan menjadi contoh hambatan dalam menerapkan 'social distancing' di Indonesia. Photo: Misa penahbisan Mgr Siprianus Hormat sebagai Uskup Ruteng digelar di Gereja Katedral Ruteng, Manggarai, NTT, Kamis (19/3/2020).
(Foto: Kompas/Markus Makur)

 

Tapi Dr Avin masih menaruh harapan jika usaha menggalakkan anjuran 'social distancing' akan berhasil, jika melibatkan tokoh masyarakat.

"Masyakat Indonesia pada umumnya power distancenya tinggi, sebenarnya mudah diajak oleh pemimpin. "

"Asal pemimpin berbagai level ngajaknya secara kesungguhan," katanya.

Menurut Dr Avin, di tengah kemajuan teknologi saat ini, agar 'social distacing' bisa lebih diterapkan secara ketat maka dapat meminta Perguruan Tinggi, asosiasi profesi, tokoh keagaamaan dan sosial untuk menjadi nara sumber.

"Jika dulu bentuknya penyuluhan, datang dari satu RT ke RT yang lain, sekarang dapat memanfaatkan group-group di media sosial," ujarnya.

"Mereka ini harus berkoordinasi dengan pihak pemerintah daerah dengan instansi yang ditunjuk," demikian menurut Dr Avin Fadillah Helmi, dosen Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Persita Tangerang Perpanjang Masa Libur, Ini Penyebabnya

Berita Terkait