Mari Belajar Melindungi Konservasi Alam Lewat 13 Kisah

Rabu, 29 Agustus 2018 – 22:55 WIB
Rangkaian kegiatan Hari Konservasi Alam Nasional. Foto: Humas KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Direktorat Kawasan Konservasi, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan buku bunga rampai kisah sukses pemulihan ekosistem di kawasan konservasi.

Peluncuran buku ini bertepatan dengan kegiatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2018 di Taman Wisata Alam Batu Putih Tangkoko, Provinsi Sulawesi Utara.

BACA JUGA: Pejuang Konservasi Berbagi Cerita di TWA Batu Putih

"Buku tersebut hadir untuk memperkaya pengetahuan dalam pengembangan inovasi pemulihan ekosistem serta mengidentifikasi berbagai faktor kunci yang bisa mempercepat pemulihan ekosistem di kawasan konservasi," Dirjen KSDAE KLHK Wiratno.

Dalam penyusunan buku tersebut, Direktorat Kawasan Konservasi KSDAE bekerja sama dengan World Resources Institute (WRI) Indonesia, sebuah lembaga penelitian independen bidang lingkungan hidup. 

BACA JUGA: Antisipasi Karhutla, Kalteng Perpanjang Status Siaga Darurat

Kawasan konservasi Indonesia seluas 27,2 juta ha menyimpan sumber daya alam yang melimpah, seperti air dan keanekaragaman hayati, sehingga perlu untuk dilestarikan.

Sayangnya, tekanan kerusakan terhadap kawasan konservasi di Indonesia masih tinggi, disebabkan faktor alam dan aktivitas manusia, seperti kebarakan hutan, pembalakan dan perburuan liar serta serangan hama dan penyakit.

BACA JUGA: Selamatkan Alam Konservasi Indonesia Lewat Peringatan HKAN

Menurut Suyatno Sukandar, Direktur Kawasan Konservasi, Direktorat Kawasan Konservasi dan Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam memperkirakan kerusakan di dalam kawasan konservasi yang didasarkan pada perhitungan open area seluas 2.011.000 ha atau 7,4% dari total luas kawasan.

Luasnya indikasi kawasan terdegradasi ini bisa berdampak pada terganggunya fungsi ekosistem kawasan konservasi.

Selain mengganggu keanekaragaman hayati yang hidup di dalam kawasan, dampak negatif degradasi juga akan dirasakan oleh masyarakat, seperti peningkatan risiko bencana alam dan penurunan kualitas lingkungan.

Untuk itu, pemerintah melalui Direktorat Kawasan Konservasi tengah mengupayakan pemulihan ekosistem di kawasan konservasi.

“Saat ini, Direktorat Jenderal KSDAE menargetkan pemulihan ekosistem di kawasan konservasi seluas 100.000 ha hingga 2019 dan 25% atau 24.758 ha di antaranya sudah terpulihkan. Salah satu kendalanya adalah akses pendanaan yang terbatas sehingga kolaborasi dengan mitra konservasi dan masyarakat memiliki peran penting. Sejauh ini, penerapan pola partisipatif dan prinsip kerja kolektif-kolegial dinilai telah terbukti mampu mendorong pencapaian pemulihan ekosistem sehingga diharapkan pola dan prinsip tersebut dapat terus didorong guna mencapai target,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama Indra Exploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayat mengatakan salah satu ancaman terbesar dari penurunan populasi satwa yang dilindungi adalah karena rusaknya dan berkurangnya luas ekosistem yang menjadi habitat mereka.

"Sebagai contoh, kera hitam sulawesi (Macaca nigra) atau sering disebut ‘yaki’ yang bisa ditemukan di Tangkoko, lokasi peringatan HKAN 2018, telah mengalami penurunan populasi secara drastis. Spesies ini telah dimasukkan ke dalam kategori kritis oleh IUCN," kata Indra.

Oleh karena itu, pemulihan ekosistem memiliki peran penting dalam memperbaiki habitat berbagai satwa dan tanaman liar yang terancam keberlangsungannya.

Untuk mengembalikan fungsi kawasan konservasi yang telah terdegradasi, dibutuhkan upaya pemulihan ekosistem melalui berbagai strategi dan aktivitas.

Dalam hal ini, kolaborasi seluruh pihak, perencanaan yang konsisten dan peran Unit Pelaksana Teknis (UPT) menjadi beberapa aspek kunci.

Selain itu, paradigma pemulihan ekosistem harus menempatkan masyarakat sebagai subyek yang melakukan pemulihan dan perlindungan kawasan, serta memperhatikan aspek kesejahteraan mereka.

Misalnya, pemulihan ekosistem di Suaka Margasatwa Paliyan di Yogyakarta masih memperbolehkan masyarakat untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dari dalam kawasan atau rehabilitasi Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat yang menggabungkan pemenuhan akses kesehatan murah kepada masyarakat sebagai bentuk insentif dalam kegiatan pemulihan ekosistem.

Oleh karena itu, pemulihan ekosistem seyogyanya memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat selain aspek lingkungan.

Tiga belas kisah sukses pemulihan ekosistem yang terangkum dalam buku ini menunjukkan bahwa partisipasi seluruh pihak, termasuk masyarakat, merupakan cara baru dalam pemulihan ekosistem yang lebih berkelanjutan.

Dengan diluncurkannya buku ini, diharapkan pihak pengelola kawasan konservasi, mitra konservasi, dan masyarakat umum bisa belajar dari pengalaman pemulihan ekosistem di berbagai lokasi di Indonesia.

Ke depan, pemulihan ekosistem di kawasan konservasi terdegradasi lainnya dapat menerapkan hasil pembelajaran yang tercakup dalam buku ini, guna mengakselerasi pencapaian target mulia pemulihan ekosistem di kawasan konservasi. (flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KLHK Galakkan Kampanye Pencegahan Karhutla


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler