Mari Bersama Perangi Hoaks Seputar Vaksin Covid-19

Jumat, 18 Desember 2020 – 04:40 WIB
Ilustrasi vaksinasi COVID-19. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Persebaran hoaks mengenai vaksin dan Covid-19 bisa menghambat proses vaksinasi. Di Indonesia, gerakan antivaksin menguat berdasarkan aliran kepercayaan.

Penolakan terhadap vaksin di Indonesia bahkan pernah dipublikasikan dalam jurnal bergengsi The Lancet dan Elsevier.

BACA JUGA: Lihat nih Penampilan Baru Mas Adam Suseno, Tanpa Kumis

Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk memerangi hoaks agar Indonesia segera keluar dari pandemi.

“Bagi masyarakat menengah ke bawah mudah mempercayai [hoaks] apalagi kalau berita disampaikan oleh tokoh pemuka,” kata Sekretaris Eksekutif Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), dr. Julitasari Sundoro, dalam talkshow bertajuk 'Tolak dan Tangkal Hoax' yang digelar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN), Senin (7/12).

BACA JUGA: Penuhi Kebutuhan Perlindungan Kesehatan, BCA dan AIA Bersinergi Hadirkan Maxi Protection Plus

Sejumlah mitos bertebaran misalnya vaksin berbahaya. Ada juga klaim dokter ahli gizi menyatakan jika kuman disuntikkan kepada anak dengan daya tahan tubuh menurun, maka kuman akan menjadi aktif bahkan menginfeksi tubuh resipien.

“Ini adalah hal-hal yang keliru, misleading. Sebenarnya, vaksin yang akan kita pakai itu sudah inactive,” kata dia.

BACA JUGA: 2 Konten Kreator ini Sudah Rasakan Kecanggihan Sharp Aquos Zero 2 dan Sharp Aquos R3

Klaim lain juga menyebutkan menangani Covid-19 tidak perlu vaksin lantaran hanya menghambur-hamburkan anggaran.

Uang lebih baik dipakai untuk pengadaan tes PCR. Faktanya, PCR dibutuhkan untuk skrining penemuan kasus baru. Sedangkan, vaksin dipakai untuk pencegahan.

Hoaks lain seputar vaksin Covid-19 yakni tudingan bahwa uji klinis yang digelar di Bandung bersifat ecek-ecek lantaran jumlahnya terlalu sedikit hanya 1.620 orang.

Faktanya, uji klinis vaksin dilakukan secara multisenter di beberapa negara lain dengan jumlah total 30.490 orang.

Julitasari mengatakan ada pula argumen yang dituduhkan gerakan antivaksin terbukti palsu. Misalnya soal tudingan vaksin MMR menyebabkan autisme.

Faktanya, data yang dipublikasikan di majalah Lancet tidak benar. Majalah itu lantas menarik artikelnya pada 6 Februari 2010. Selain itu banyak riset membuktikan tuduhan vaksin MMR menyebabkan autisme tidak terbukti.

Mitos lain seputar vaksin Covid-19 misalnya sistem imun bayi tidak bisa mengatasi berbagai vaksin. Faktanya, justru makin kecil anak makin baik diberikan imunisasi. Vaksin hepatitis B misalnya diberikan saat masih bayi. Begitu pula vaksin Polio diberikan saat bayi masih di rumah sakit. Vaksin akan memberikan respons imun terhadap antigen yang masuk.

Dia meminta masyarakat tidak mudah terpancing isu hoaks seputar vaksin. Julitasari mengajar masyarakat mendapatkan informasi yang tepat melalui sumber terpercaya dan kredibel.

“Kami khawatir kelompok ini yang besar. Dan kelompok ini yang perlu kita perjuangkan bisa kita yakinkan bahwa isu-isu itu adalah hoaks dan percayalah pada pendapat pakar yang kemudian diadopsi pemerintah,” kata Septiaji.

Sementara, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho, mengatakan selama pandemi pihaknya mencatat jumlah hoaks Covid-19 sangat masif.

Data Mafindo menunjukkan pada 2018, ditemukan 997 hoaks. Jumlah ini meningkat pada 2019 menjadi 1.221 hoaks seiring digelarnya Pemilu.

Namun, pada 2020, hingga 16 November, Mafindo mencatat ada 2.024 hoaks beredar di masyarakat.

Bahkan, pada Januari-November ditemukan ada 712 hoaks seputar Covid-19. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai ranking kelima dunia persebaran rumor, stigma, dan teori konspirasi seputar Covid-19.

“Ini berdampak serius pada terjadinya konflik sosial di masyarakat, ketidakpercayaan, dan intimidasi terhadap rumah sakit dan tenaga kesehatan, abai protokol kesehatan, dan lainnya. Ancaman hoaks Covid-19 karena ini suatu hal lebih spesifik lagi. Kita menduga tingkat penerimaan hoaks vaksin akan dipengaruhi bagaimana mereka menerima hoaks tentang Covid-19,” kata Septiaji.

Rumor ini disebarkan oleh orang-orang yang kadang berprofesi sebagai dokter atau menjabat sebagai profesor.

Kondisi ini terlihat di media sosial yang melahirkan kelompok-kelompok baru yang gemar menyebarkan hoaks Covid-19.

“Mereka yang sudah percaya hoaks Covid-19 sangat mungkin percaya hoaks vaksin Covid-19. Risikonya adalah mereka yang termakan hoaks vaksin Covid-19 bisa jadi enggan atau menolak program vaksinasi,” tutur dia.

Hoaks perihal vaksin Covid-19 itu misalnya hoaks adanya warga Korea Selatan yang meninggal dunia seusai vaksinasi atau vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan.

Ada juga tudingan menyebutkan MUI melarang penggunaan vaksin yang didatangkan dari Tiongkok. Padahal, MUI tidak pernah menyampaikan pernyataan itu.

"Dalam setiap narasi hoaks, ada beberapa trigger words yang kerap disampaikan yakni tidak halal, berbahaya bagi kesehatan, rekayasa elite global, settingan tiongkok dan narasi politis. Poin-poin ini perlu disikapi secara serius oleh pemerintah. Jadi masyarakat lebih percaya hoaks ketimbang klarifikasi yang diedarkan (pemerintah-red),” serunya.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler