Mari, Meneruskan dan Mengoreksi Sukarno

Hasan Aspahani

Senin, 26 Januari 2015 – 13:54 WIB

IBU Megawati yang saya hormati dan kagumi, saya menghormati dan mengagumi Anda sebagaimana saya mengagumi Bung Karno, ayah biologis dan ideologis Anda. 

Saya selalu membayangkan saat-saat Anda mendampingi Bung Karno menyusun pidato, mengambilkan buku-buku referensi yang diperlukan oleh beliau, mengambilkan buku lain, lalu mengembalikannya lagi.  

Saya selalu mencoba merasakan betapa beratnya tugas Anda ketika harus selalu tersenyum ketika menari di depan tamu-tamu resmi negara, sementara Ibu Fatmawati memutuskan untuk meninggalkan Istana.

Sekali waktu saya berada di rumah Anda, di Kebagusan. Rumah yang luas dengan pot-pot gantung tanaman pakis, taman yang asri, dan sebuah lukisan sangat besar di teras itu. Lukisan halaman Istana Bogor, dengan ratusan rusa berkeliaran bebas. Mungkin di hadapan lukisan itu Anda bisa melepaskan kangen pada momen-momen melepaskan rindu kepada Bung Karno, saat Anda bersama beliau di Istana Bogor.

Itu adalah hari pemilihan umum. Bersama banyak jurnalis lain, saya mengikuti detik per detik perhitungan hasil perolehan suara yang disorotkan ke layar dari perangkat presentasi. Itu juga hari yang berat. Ketika hasil hitung cepat ditutup malam itu, PDI Perjuangan keluar sebagai pemenang, tetapi angka yang tercapai tak sebesar yang  diramalkan. 

Saat jumpa pers, malam itu, di teras rumah Anda itu saya lihat Anda memeluk Puan Maharani - yang berlinang air mata - , dan Anda menepuk-nepuk pundaknya. Saya tak tahu apa yang Anda bisikkan pada putri Anda dan Ketua Tim Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan.  

Sekali lagi, partai yang Anda pimpin memenangkan hati rakyat. Lalu lewat pemilihan yang keras kompetisinya,  "petugas partai" yang Anda utus memenangkan pemilihan Presiden.

Saya ingin melihat kemenangan ini sebagai kesempatan untuk meneruskan cita-cita Bung Karno yang tak sempat ia capai, tapi juga untuk mengoreksi kesalahan-kesalahannya. 

Bung Karno dengan romantis merumuskan ideologinya lewat sosok petani kecil di pinggiran Bandung. Petani dengan rumah sendiri, sebidang tanah sendiri, alat kerja sendiri, sepeda, dan hasil panen yang ia gunakan sendiri untuk dirinya dan keluarganya. Marhaen nama petani itu lalu diikonkan oleh Bung Karno untuk menamai rumusan ideologinya: Marhaenisme.

Wong Cilik yang kini menjadi barisan penyokong fanatik PDI Perjuangan adalah Marhaen-Marhaen yang akan terus tumbuh dan ada, terus menjadi alasan bahwa di negeri ini apa yang dirumuskan oleh Bung Karno di dalam penjara Banceuy tak pernah kehilangan relevansinya.

“Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan saya meninggalkan penjara dengan pikiran yang sama,” ujar Bung Karno. Ini kutipan yang saya sukai dari bukunya "Bung Karno, Sang Penyambung Lidah Rakyat". 

Penjara bagi kaum Marhaen sekarang adalah keterbatasan. Kemerdekaan bagi mereka adalah terbebas dari kemiskinan. Anda, partai Anda PDI Perjuangan, petugas partai Anda Presiden Joko Widodo, saat ini punya kesempatan sangat besar untuk membebaskan mereka dari penjara dan mewujudkan kemerdekaan kaum Marhaen. 

Dan karena itu, Bu Mega, kisruh yang bermula dari sosok Budi Gunawan, dia yang telah berjasa menjadi ajudan setia Anda, rasanya adalah soal dan kepentingan yang terlalu kecil jika dibandingkan kerja besar untuk kaum Marhaen itu.

Saya mengagumi Bung Karno, seperti saya mengagumi Anda, anak biologis dan ideologis beliau. Jika surat ini dibaca sebagai sebuah pengingat, maka saya mengingatkan atas dasar kekaguman itu. 

Salam. 

Jakarta, 26 Januari 2015

BACA JUGA: Semua yang Melemahkanmu, Akan Menguatkanmu

BACA ARTIKEL LAINNYA... Yang Terlupa dalam Kebisingan Ini


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler