Marsinah, pejuang buruh dari Sidoarjo, memang sudah lama tiada. Namun, api perjuangannya hingga kini terus menyala. Salah satunya diwujudkan lewat siaran radio yang mengabadikan namanya untuk menyuarakan hak-hak para pekerja pabrik itu.
THOMAS KUKUH, Jakarta
RUANG berukuran 3 meter x 4 meter itu begitu sejuk. Bukan hanya AC yang membuatnya adem. Wallpaper bergambar pemandangan bawah laut yang didominasi warna biru juga membuat suasana ruang itu semakin nyaman. Itulah studio Marsinah FM, radio komunitas kaum buruh perempuan di kawasan Cakung, Jakarta Utara.
"Kami memang ingin mengudara dari dalam laut," seloroh Oliv, salah seorang penyiar Marsinah FM saat ditemui Jawa Pos Jumat (10/8) lalu.
Dia mengaku tidak begitu tahu alasan hiasan dinding studionya bergambar alam bawah laut. Tapi, dia sangat menyukai tampilan tempat kerjanya tersebut. Meski mungil, studio itu sudah dilengkapi dengan peralatan radio yang memadai. Yakni, komputer, internet, mixer, dua buah mik, dan perlengkapan lain. Sementara itu, di luar, pemancar yang cukup tinggi siap mengudarakan suara para penyiar radio tersebut ke wilayah jangkauannya.
Oliv sebenarnya bukan nama asli. Itu nama "udara". Nama aslinya Atly Serita. Dia mantan buruh pabrik di sekitar Cakung.
Menurut Oliv, hampir semua penyiar Marsinah FM memiliki nama udara agar lebih mudah diingat para pendengar. Meski tak punya pengalaman dan tak pernah mendapat pelatihan khusus menjadi penyiar, Oliv dengan luwes menyapa dan menghibur pendengar setianya.
"Assalamualaikum pendengar, jumpa lagi di Marsinah FM bersama saya, Oliv, yang akan menemani Anda sampai pukul 18.30. Silakan yang pengin request dan kirim-kirim salam, saya tunggu," sapa Oliv kepada pendengar.
Saat bibirnya asyik menyapa pendengar di depan mik, tangan Oliv sibuk memencet kibor komputer dan menaikturunkan tombol mixer untuk memutar sebuah lagu lawas milik Broery Marantika.
Gaya Oliv mengudara memang tampak profesional dengan gaya bahasa yang santun dan tertata. Dia bukan tipe penyiar "gaul" yang cenderung ceplas-ceplos di depan mik. "Lha wong tugas saya membawakan acara tembang kenangan kok, masak gayanya ceplas-ceplos," ujarnya, lantas tersenyum.
Oliv mengakui bahwa dirinya masih harus belajar dan memperbanyak jam mengudara. Dia baru tiga bulan ini menjadi penyiar di radio komunitas para buruh itu. Meski begitu, dari hari ke hari dia merasakan perkembangan yang pesat saat berada di depan mik.
"Dulu, awalnya, sering grogi sehingga kata-kata yang keluar dari mulut jadi tidak keruan. Sekarang alhamdulillah, sudah lumayan lancar. Ya kalau sekali-kali keseleo lidah mungkin biasa," paparnya.
"Sekarang cari lagu, mutar lagu, buka YouTube sudah biasa," katanya, lalu ngakak lagi.
Lain lagi dengan Dona. Penyiar bernama asli Thien Kusna itu memiliki suara yang lebih tegas. Perempuan dari Kuningan, Jabar, yang kini masih bekerja di salah satu pabrik garmen di Cakung tersebut dipercaya untuk mengasuh rubrik hak dan hukum. "Mungkin karena suara saya menggelegar, saya dinilai cocok membawakan acara berat itu," ujar dia.
Dona mengaku tidak pernah mengira bakal menjadi penyiar radio, apalagi membawakan program acara yang tidak ringan. Perempuan kelahiran 30 April 1973 itu sebenarnya tidak punya waktu lagi.
Pekerjaannya sebagai penjahit di pabrik cukup menyita waktu. Namun, entah kenapa, sekitar Januari lalu dia tertarik dengan rencana Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) mendirikan radio komunitas untuk buruh. Begitu lowongan penyiar dibuka, Dona mendaftarkan diri. Dia beralasan ingin mencari pengalaman, mengekspresikan diri, dan menambah wawasan.
"Meski tak dibayar, tidak masalah. Yang penting, saya bisa terlibat di radio itu," tuturnya dengan bangga.
Karena suaranya yang khas dan kemauan belajarnya yang tinggi, Dona akhirnya lolos seleksi. Dia langsung dipercaya untuk membawakan rubrik hak dan hukum. "Saya sempat ragu karena sama sekali tidak punya (dasar) pendidikan hukum. Tapi, teman-teman selalu mendukung," imbuhnya.
Tak dikira, rubrik hak dan hukum memberikan banyak manfaat bagi Dona maupun para buruh yang menjadi pendengar setianya. Dona menjadi lebih tahu dan paham tentang berbagai permasalahan yang dihadapi kawan-kawannya.
"Di acara saya itu teman-teman buruh biasa curhat tentang kasus-kasus yang dihadapi di pabrik. Kemudian, ditanggapi narasumber yang memang ahli di bidang hukum dan perburuhan," jelas Dona.
Studio Marsinah FM terletak di sebuah rumah kontrakan di Jalan Tipar Selatan XII, Semper Barat, Jakarta Utara. Rumah dua lantai tersebut sebenarnya Kantor FBLP. Radio itu memang dimaksudkan sebagai salah satu media FBLP untuk menyuarakan dan memberikan wawasan kepada pendengarnya tentang hak-hak buruh. Khususnya buruh perempuan.
Penanggung Jawab Radio Marsinah FM Dian Septi Trisnanti mengatakan, sesuai dengan misi perjuangan Marsinah yang memperjuangkan hak-hak buruh, radio itu juga ingin menyebarkan wawasan perburuhan kepada para buruh perempuan di Kawasan Berikat Nusantara (BKN), Cakung.
Di BKN terdapat ratusan pabrik garmen yang kebanyakan pekerjanya perempuan. "Jumlah buruh di kawasan ini sekitar 80 ribu, sebagian besar perempuan," kata Dian.
Jadi, papar dia, sasaran radio itu adalah para buruh perempuan yang tinggal di rumah-rumah kos dan kontrakan sekitar pabrik. Selain soal perburuhan, Marsinah FM juga membahas isu-isu perempuan pada umumnya.
"Misalnya pengetahuan soal KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), pelecehan seksual oleh majikan dan teman kerja, hak-hak perempuan di pabrik, kesetaraan gender, dan bagaimana mengatasi masalah-masalah tersebut. Itu yang kami suarakan lewat radio ini," terang Dian.
Dengan kata lain, sebenarnya pendekatan yang dilakukan Marsinah FM tidak melulu tentang masalah perburuhan yang berkutat pada upah dan lainnya. Melainkan, Marsinah FM lebih banyak membahas perempuan.
"Masalah dalam rumah tangga juga banyak dibahas di sini. Sebab, banyak perempuan yang latar belakang pendidikannya tidak terlalu tinggi kurang paham soal hak-haknya dan tidak sadar jika sebenarnya mengalami penindasan. Baik di tempat kerja maupun di rumah," jelas dia.
Alumnus Universitas Sanata Dharma Jogjakarta itu menerangkan, Marsinah FM mulai siaran akhir Februari silam. Radio yang bisa ditemui pada gelombang 106 FM itu kini memiliki 15 penyiar (semua perempuan), kebanyakan buruh. Radio itu didirikan setelah FBLP ditetapkan sebagai pemenang salah satu lomba antarkomunitas.
Biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan dan membeli peralatan siaran mencapai sekitar Rp 20 juta. "Untuk operasional bulanan, kami menghabiskan dana sekitar Rp 800 ribu untuk listrik, internet dan sebagainya," kata dia. "Penyiarnya tidak ada yang dibayar. Semua pengabdian," tambahnya.
Karena Marsinah FM merupakan radio komunitas, mereka tidak boleh mencari sponsor atau iklan. Mereka hanya mengandalkan iuran anggota FBLP yang berjumlah sekitar 20 ribu orang. Besar iuran itu Rp 5 ribu per orang per bulan. Selain itu, dana mereka peroleh dari berjualan kerajinan tas, kaus, dan lainnya.
Jam siaran Marsinah FM juga masih terbatas. Mereka hanya mengudara pada pukul 06.00-08.00 dan 16.00-23.00. "Siang penyiarnya harus bekerja. Jadi, tidak ada yang siaran. Maka, kami memilih pagi banget dan sore hingga malam," tandas mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu. (*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi Perkampungan Muslim Indonesia di Ho Chi Minh City
Redaktur : Tim Redaksi