Di salah satu sudut kota Ho Chi Minh terdapat perkampungan yang 95 persen penduduknya berasal dari Pulau Bawean, Jatim. Sudah lebih dari 125 tahun mereka menetap di sana dan masih berusaha mempertahankan budaya Indonesia. Berikut laporan wartawan JAWA POS Narendra Prasetya yang baru saja pulang dari sana.
= = = = =
TIDAK mudah menemukan komunitas keturunan Indonesia di Vietnam. Terutama di kota Ho Chi Minh. Maklum, di kota terbesar kedua di Vietnam itu hampir seluruh penduduknya merupakan masyarakat asli dari etnis Vietnam. Kira-kira 90 persen. Sisanya adalah komunitas Tionghoa dan etnis minoritas yang lain.
Namun, pencarian itu seakan menemui titik terang jika sudah sampai di salah satu masjid yang berada di dekat pusat kota Ho Chi Minh City. Masjid tersebut bernama Masjidil Rahim, atau banyak orang di Ho Chi Minh menyebut Masjid Malaysia-Indonesia.
Sebab, dalam sejarahnya, masjid tersebut dahulu dibangun oleh komunitas pendatang dari Malaka (Malaysia) dan Indonesia. Masjid tersebut berada di District 1, tepatnya di 45 Nam Ky Khoi Nghia. Letaknya cukup dekat dengan pusat keramaian. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 menit dari Ben Thanh Market yang merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Ho Chi Minh City. Dari terminal bus kota Ben Thanh juga bisa naik bus atau transportasi umum yang lain.
Meski disebut Masjid Malaysia-Indonesia, sekilas tidak tampak nuansa Malaysia maupun Indonesia di kawasan tersebut. Malah kawasan itu tidak ada yang berbeda dengan blok permukiman penduduk asli. "Hampir seluruh warga yang bermukim di sini merupakan keturunan Indonesia, dari Pulau Bawean," ujar Imam Masjidil Rahim Haji Ali bin Ahmad.
Walaupun didominasi keturunan dari Bawean, jangan berharap bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Saat Jawa Pos mencoba berkomunikasi dengan warga setempat menggunakan bahasa Inggris ataupun Indonesia, tak ada satu pun yang bisa menjawab. Mereka lebih bisa berkomunikasi dengan bahasa Vietnam.
Bahkan, imam masjid juga tidak bisa berbahasa Inggris maupun Indonesia. Untungnya, Jawa Pos mendapat bantuan dari salah seorang mahasiswa muslim Vietnam yang alumnus Universitas Brawijaya Malang Mohammed Yusuf. Dialah yang menjadi penerjemah.
Haji Ali mengatakan, saking jauhnya garis keturunan serta kebiasaan sehari-hari menggunakan bahasa Vietnam, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, atau bahasa Madura (bahasa sehari-hari warga Bawean) tidak lagi dikenal. "Kalaupun bisa, itu hanya orang-orang yang berusia di atas kepala tujuh. Itu pun harus dilakukan dengan berbicara pelan-pelan," tutur kakek 84 tahun itu.
Sejarah kedatangan warga Bawean di Ho Chi Minh sama dengan tahun berdirinya masjid tersebut. Masjid itu dibangun pada 1885 oleh sekelompok buruh karet dari Indonesia. Nah, kelompok itu kemudian membaur dengan masyarakat setempat menjadi komunitas baru.
Di antara 400-an jiwa warga yang menghuni blok permukiman sekitar masjid itu, 95 persen adalah keturunan Bawean. Lima persen sisanya dari etnis Melayu dan warga asli Vietnam yang sudah berkeluarga dengan keturunan Bawean. "Semua menganut agama Islam," ujar kakek empat cucu itu.
Budaya Islam Indonesia di masjid tersebut memang perlahan mulai luntur seiring dengan perkembangan zaman. Namun, tidak seluruhnya hilang begitu saja. Masih ada beberapa tradisi umat Islam di Indonesia yang kerap diselenggarakan di masjid itu. "Terutama saat perayaan hari-hari besar agama Islam," ungkap sesepuh masjid Haji Raden Musa bin Haji Habib.
Ragam kesenian seperti seni musik hadrah dengan menggunakan alat musik rebana atau kendang tetap dipertahankan. Meskipun, intensitasnya sudah tidak seperti dulu lagi.
Menurut Haji Raden Musa, sepuluh tahun lalu di masjid tersebut memiliki grup musik hadrah. "Sekarang semua sudah tidak ada lagi. Kami merasa kesulitan mencari sumber pendanaannya. Mungkin sekarang yang paling sering ya pas perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW saja. Itu saja yang memainkan ya kaum tua semua," ungkap kakek berusia 85 tahun itu.
Dari segi budaya, saat ini mereka masih mempertahankan arsitektur muslim Indonesia. Itu bisa dilihat dari ukir-ukiran yang banyak menghiasi masjid tersebut. Sedangkan lainnya dipertahankan dari perangkat pernikahan, mulai dekorasi hingga riasan.
Lantas, apakah selama ini belum ada sentuhan dari pihak Konsulat Jenderal RI di Ho Chi Minh City? Mereka bersepakat menjawab sudah tidak ada lagi. Pembangunan selama ini lebih menggantungkan dari sumbangan warga setempat dan donatur dari pengusaha yang ada di sekitar lokasi itu. Kali terakhir masjid tersebut direnovasi secara besar-besaran tiga bulan lalu.
Bukan hanya dari segi pendanaan, mereka pun merindukan kunjungan rutin yang biasa dilakukan para petinggi konsulat. Haji Ali mengungkapkan, 7-8 tahun silam masjid itu kerap dikunjungi petinggi atau staf dari Konjen RI. Biasanya mereka menggelar acara diskusi maupun mengisi khotbah salat Jumat. "Minimal masih ada stafnya yang salat di sini. Daripada sekarang tidak ada sama sekali," ucap Haji Ali.
Tidak mau lupa dengan asal usul budayanya, mereka mulai mengenalkan kembali nilai-nilai budaya Indonesia kepada generasi mudanya. Tugas tersebut dibebankan kepada pemuda lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta 2006, Muhammad Ali.
Tugas yang tidak mudah memang. Terlebih, generasi muda mereka sudah banyak yang terkontaminasi dengan budaya asli Vietnam. "Semua perlu waktu, tidak bisa begitu saja. Minimal mereka masih bisa tahu bahwa mereka masih punya keturunan Indonesia," jelas Ali. (*/c/4/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Warga Desa Transmigran Cas Cis Cus Bicara Bahasa Inggris
Redaktur : Tim Redaksi