jpnn.com - Politikus PDI Perjuangan Maruarar Sirait adalah seorang yang bisa disebut sebagai sebuah cermin untuk sejenak berhenti, melihat ke dalam diri tentang makna hidup dan perjalanan yang belum usai.
Ketika kembali ke dalam diri dari segala hiruk pikuk dan kerasnya panggung politik, kita menjadi pribadi yang merdeka.
BACA JUGA: Bang Ara: Tugas TMP Hanya Satu, Memenangkan PDIP di Pemilu 2024
Sebab di kesendirian, kita menjelma lilin-lilin kecil, meresapi sejauh mana cahaya kebaikan pada setiap kita menerangi dan memberikan makna pada pribadi yang berbeda.
Juga melihat kemerdekaan pada diri sendiri. Apakah kita benar-benar merdeka atau masih memikul lembaran peristiwa yang keras dan ganas.
BACA JUGA: Maruarar Sirait: Erick Thohir Menteri yang Sangat Dipercaya Bapak Presiden Jokowi
Sebagai generasi pelopor dengan konsekuensi logis menjembatani perjalanan bangsa menuju Indonesia Emas 2045, kita bisa mengambil hikmat dari perjalanan hidup pria kelahiran 23 Desember 1969 yang kerap teman-teman serta senior saya memanggilnya Bang Ara.
Saya menangkap setiap pesan dari gerak perjuangan Bang Ara. Pasang surut, sering terjatuh dalam kegagalan adalah seni hidup seorang anak bangsa asal jangan tenggelam. Apalagi padam dan mewarisi abu pada tapak perjalanan generasi penerus.
BACA JUGA: Nusron Wahid dan Maruarar Bakar Semangat Mahasiswa UNJ, Perubahan Melibatkan Intelektual
Maka, bangkit seribu kali adalah cara sederhana melampaui keterbatasan.
Sementara, dari cara menjiwai percaturan politik, Bang Ara sedikit berkiblat pada seni menginterpretasikan imajinasi Bung Karno yang menyebut Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi Burung Elang terbang sendirian.
Secara realitas historis, pernyataan Bung Karno adalah ledakan emosi dan imajinasi yang meluap pada sungai perjuangan mencapai Indonesia Merdeka.
Bung Karno adalah Elang yang ingin bebas dan terbang tinggi, tetapi dari ketinggian, ia memandang seluruh kehidupan masyarakat yang pelik.
Inspirasi reflektif Bung Karno menjadi cikal bakal kobaran semangatnya memperjuangkan kemerdekaan, karena Bung Karno terlahir dari pemimpin yang dekat pada "rasa".
Bahasa Bung Karno ditafsirkan Bang Ara sebagai sosok politisi yang memiliki kemampuan soal "rasa".
Menjadi politisi atau seorang kader partai, harus bisa membaca pesan kebatinan orang-orang yang belum merasakan kedamaian dalam diri.
Ketidakdamaian dalam diri terlahir dari ragam pergulatan fenomena hidup yang timbul tenggelam, sosial, ekonomi, budaya dan lainnya.
Hal ini dilihat Bang Ara sebagai "ratapan" yang terlahir dari realitas gerak hidup manusia yang ditulis Thomas Hobbes dalam karyanya De Cive (1651) yakni "homo homini lupus" atau manusia adalah serigala bagi sesama manusianya.
Pergulatan dan fenomena masyarakat ini menjadi panggilan sakral Bagi Bang Ara untuk berkarya lebih melalui jalan sunyi.
Dengan menggunakan rasa, Bang Ara dan ribuan kader pelopor bergerak maju, memantapkan sikap dan panggilan nurani untuk kemajuan bangsa.
Sebab, suatu bangsa adalah suatu solidaritas dalam skala yang besar, dibangun dengan perasaan pengorbanan-pengorbanan yang siap dilakukan orang di masa depan.
Beberapa episode terekam pada langgam politik nasional ala Bang Ara untuk menjadi sejati-jatinya anak bangsa dengan tekad dan ketegasan diri memanggul sejarah bangsa menuju Indonesia Emas adalah jawaban dari kegelisahannya, bahwa hidup harus dipertaruhkan.
Kehidupan harus terus menyala karena suluh yang dibakar para Founding Fathers harus menjelma api, berkobar hingga membakar semangat anak-anak bangsa.
Pada penghayatan Bang Ara, pernyataan Bung Karno hendaknya memberi interupsi bagi generasi muda Indonesia, bahwasanya, merdeka hanyalah sebuah jembatan, walaupun jembatan emas di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis.
Jalan sunyi yang dimiliki Bang Ara saat ini adalah menapaki peristiwa perjalanan anak bangsa untuk kembali meneguhkan keyakinan dan prinsip dalam diri bahwa "politik itu suci".
Merdeka!!!
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Friederich Batari