Masa Inkubasi Corona 2 Pekan, WN Tiongkok Sudah Lama di Indonesia Tak Perlu Dipulangkan

Senin, 03 Februari 2020 – 20:46 WIB
Menkes Terawan Agus Putranto. Foto: dokumen JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menyatakan bahwa masa inkubasi virus corona tergantung pada virulensinya. Menurutnya, masa inkubasi virus asal Wuhan, Tiongkok itu maksimal dua minggu.

“Jadi, kalau lebih dua minggu berarti itu tidak.  Ada yang sehari yang sudah bergejala,  tergantung imunitasnya dan tergantung virulensi masuknya jumlah virus yang ke dalam tubuhnya," kata Terawan dalam rapat kerja Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (3/2).

BACA JUGA: Tiongkok Tuding Amerika Ciptakan Kepanikan Terkait Virus Corona

Pernyataan Terawan itu sebagai jawaban atas pertanyaan Ketua Komisi IX DPR Felly Estelita Runtuwente. Dalam raker itu Felly meminta Menkes Terawan memberikan penjelasan langsung ihwal masa inkubasi virus yang juga dikenal dengan nama 2019-nCoV itu.

"Kami minta jelaskan masa inkubasi dari virus ini berapa lama," kata politikus Partai NasDem itu.

BACA JUGA: Masih Mau Sebar Hoaks soal Virus Corona? Siap-siap Saja Dipidana!

Menurut Felly, selama ini informasi ihwal masa inkubasi 2019-nCoV yang tersebar media massa masih simpang siur. Ada pihak yang menyebut masa inkubasi coronavirus lima hari, namun ada pula yang menyebutnya dua minggu.

Felly menegaskan, masa inkubasi coronavirus perlu dijelaskan secara transparan. Sebab, ujar dia, sebelum World Health Organization (WHO) mengumumkan darurat corona, banyak tenaga kerja dari Tiongkok yang datang ke Indonesia.

Saat ini WN Tiongkok yang bekerja di Indonesia itu tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, maupun Sulawesi Tengah.  "Nah, ini masa inkubasi berapa lama. Kemudian bagaimana penanganan Kemenkes untuk warga negara yang dari Tiongkok yang datang ke tempat kita, apakah kita juga harus kembalikan mereka atau seperti apa," tanya Felly.

Lebih lanjut Felly mengatakan, bisa saja coronavirus itu tak terdeteksi alat yang ada di bandara ataupun pelabuhan di Indonesia. Selain itu, lanjut dia, tidak warga negara asing (WNA) masuk melalui Bandara Soekarno - Hatta, karena ada yang datang langsung ke Sulawesi Utara dan Bali.

"Nah, bagaimana dengan warga negara Tiongkok di sini, apakah mereka kita  harus pulangkan atau seperti apa? Bagaimana SOP (standar opersional prosedur) itu sendiri?" ujar Felly.

Menanggapi hal itu Terawan menegaskan bahwa status darurat coronavirus yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) melalui Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) justru menguntungkan Indonesia. Menurutnya, status itu membuat Tiongkok melarang warganya ke luar negeri.

“Sudah otomatis di-banned (dilarang, red). Mereka mem-banned sendiri. Tidak bisa membiarkan warganya untuk datang ke negara lain. Sudah otomatis itu," tambahnya.

Mantan kepala Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto itu menambahkan kesiapsiagaan Pemerintah Tiongkok juga harus dihargai. Artinya, lanjut dia, negeri berpopulasi terbesar di dunia itu tidak pernah membiarkan warganya yang sakit keluar dari negaranya. "Itu concern-nya mereka," tegas Terawan.

Dia menegaskan, hal itu terbukti dengan kejadian di Manado. Terawan mengaku pekan lalu ke Manado setelah mendengar informasi tentang tujuh warga Negeri Panda yang kondisi kesehatan mereka belum terdeklarasi oleh Pemerintah Tiongkok.

Menurut dia, Pemerintah Tiongkok langsung menghubungi Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Kesehatan. Awalnya, kata Terawan, tujuh orang tersebut ditahan sementara di dalam pesawat untuk dipastikan kondisi kesehatan mereka.

"Kan kami  dokter, kami tahu memeriksanya, ini arahnya mau ke mana, mau sakit apa tidak," katanya.

Setelah menjalani pemeriksaan detail, ketujuh WN Tiongkok yang seluruhnya berusia muda itu diizinkan  turun dari pesawat. Namun, lanjut dia, setelah turun dari pesawat ketujuh WN Tiongkok yang berencana pergi ke Bunaken itu kembali menjalani pemeriksaan kesehatan lebih detail.

"Mereka  memang mau berekreasi di sana, tetapi di sana juga kami tetap awasi. Kami punya catatan mereka semua," kata Terawan.

Selain itu, sebelum WHO merilis PHEIC, Tiongkok juga sudah mengantisipasinya. "Ingat penduduk China 1,4 miliar. Yang kena itu yang terakhir 14 ribu dan kalau mau dinaikkan 18 ribu ya boleh, tetapi itu dibanding 1,4 miliar itu jauh sekali," katanya.(boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler