Masalah Migor Tak Kunjung Tuntas, Politikus PDIP Usul Pemerintah Bentuk Satgas Minyak Goreng  

Jumat, 25 Maret 2022 – 18:42 WIB
Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus. Foto: Instagram/deddyyevrisitorus

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus menilai langkah yang dilakukan pemerintah melalui tiga paket kebijakan tidak akan efektif menyelesaikan masalah kelangkaan dan harga minyak goreng yang tinggi saat ini.  

Politikus PDIP ini lantas mengupas satu per satu kebijakan pemerintah tersebut. 

BACA JUGA: Ada 2.000 Liter Minyak Goreng Gratis untuk Peserta Vaksinasi di Tebet, Stok dari Mana?

Kebijakan pertama, pencabutan mekanisme domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), dan harga eceran tertinggi (HET). 

DMO mewajibkan seluruh produsen minyak goreng (migor) yang akan melakukan ekspor mengalokasikan 30 persen dari volume produksinya untuk kebutuhan dalam negeri.

BACA JUGA: Deddy Yevri Sitorus Minta Kemendag Buka-bukaan Soal Masalah Minyak Goreng

Sementara, DPO mengatur harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di tanah air.

“Kebijakan demikian yang terburu-buru menyebabkan pasokan semu yang tidak berkelanjutan serta harga minyak goreng kemasan yang tidak terkendali,” ujar Deddy, Jumat (25/3).

BACA JUGA: Cara Efektif Mengantisipasi Kelangkaan Minyak Goreng, Begini

Kebijakan kedua, pemberian subsidi minyak goreng curah melalui skema Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Menurut Deddy, hal ini juga sangat rentan terhadap penyimpang dalam bentuk migrasi konsumen, penimbunan, dan penyeludupan serta pengalihan minyak goreng curah ke industri dan ke luar negeri.

Kebijakan ketiga, yakni menaikkan pungutan ekspor (levy).

Bagi Deddy, hal ini tidak akan efektif jika disparitas harga pasar internasional dengan domestik cukup lebar. 

Pria kelahiran Pematang Siantar ini mengatakan mengatasi  kelangkaan minyak goreng sebenarnya tidak terlalu sulit. 

Sebab, kata dia, hal yang paling fundamental adalah memastikan adanya pasokan bahan baku yang cukup dan rantai pasok/sistem distribusinya tidak bocor. 

“Masalah fundamental tersebut hanya bisa diatasi jika ada pengaturan tata niaga yang baik, adil dan transparan serta pengawasan, penegakan hukum yang konsisten dan efektif,” kata Deddy.

Dia menilai kenaikan harga minyak goreng yang konsisten sejak akhir 2021 diakibatkan pengaruh melonjaknya harga komoditas CPO dan turunannya di pasar dunia.  Menurutnya, hal ini mendorong para pengusaha melakukan ekspor untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya, sehingga menyebabkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga. 

Deddy menjelaskan ketika pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan kebijakan DMO, DPO dan HET, para produsen CPO banyak yang menahan produksinya, sehingga menyebabkan pasokan minyak goreng sulit didapatkan oleh pabrikan. 

Sementara, CPO yang dihasilkan melalui kebijakan DMO tersebut ke pabrik minyak goreng, tidak tersalurkan. 

Sebab, kata dia, diduga di tingkat distributor terjadi kebocoran dalam bentuk penimbunan, spekulasi dan penyeludupan. 

Menurut dia, hal inilah yang memicu kelangkaan, kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan panic buying di tengah-tengah masyarakat.  

“Saya tidak melihat paket kebijakan yang ada itu menjawab persoalan mendasarnya,” kata anggota DPR dari Daerah Pemilihan Kalimantan Utara, itu. 

Dia menjelaskan kebutuhan bahan baku minyak goreng itu hanya 5,7 juta ton, sementara produksi mencapai 51 juta ton dalam bentuk CPO dan palm kernel oil (PKO). 

Artinya, kebutuhan itu hanya 10% dari total produksi, alias barangnya lebih dari cukup. 

“Persoalannya adalah tata niaga dan penegakan hukum. Itu inti masalahnya,” kata Deddy.

Dia menjelaskan tata niaga berarti harus dimulai sejak penentuan harga  tandan buah segar (TBS), harga dan pasokan CPO, mekanisme distribusi dan harga ketika sampai di tingkat konsumen. “Jika rantai pasok bahan baku dan distribusi produk tidak diawasi dan penegakan hukumnya lemah, maka persoalan tidak akan pernah selesai,” beber Deddy.

Dalam konteks itu, Deddy mengaku sungguh tidak habis pikir dengan belum selesainya masalah ini. 

Menurutnya, kerangka hukum dan regulasi tentang minyak goreng sudah cukup jelas.

Pasal 25, Undang-Undang Nomor 7 Tahun  2014 tentang Perdagangan secara jelas mengatakan bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang ketersediaanya harus dikendalikan oleh pemerintah dan pemda agar selalu tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik dan harga yang terjangkau. 

Lebih jauh Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun /2015 dan Perpres Nomor 59 Tahun 2020 juga memberikan kewenangan bagi Kemendag dalam menetapkan dan menyimpan barang pokok dan barang penting lainnya. Termasuk dalam hal menetapkan kebijakan harga, mengelola stok dan logistik, serta mengelola ekspor dan impor. 

Oleh karena itu, Deddy mempertanyakan mengapa saat ini masalah tata niaga justru diambil alih oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). 

“Saya khawatir bahwa kebijakan yang diambil saat ini tidak sejalan dengan UU dan regulasi yang ada, tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menimbulkan masalah baru,” ujarnya.

Menurut Deddy, sebaiknya pemerintah mencabut Permen Menperin Nomor 8 Tahun 2022 karena selain tidak sejalan dengan UU, juga tak melibatkan pihak-pihak lain yang seharusnya ikut berperan dari hulu ke hilir. 

“Saya mengusulkan agar diubah menjadi Satgas Minyak Goreng atau SKB yang melibatkan Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Keuangan, Polri dan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Deddy Yevri Sitorus.

Dia mengingatkan tanpa pengawasan yang ketat dari hulu terkait pasokan bahan baku, distribusi produksi, pengendalian harga dan penegakan hukum yang tegas maka kebijakan apa pun tidak akan mampu mengatasi kelangkaan dan harga yang mahal. 

Menurut Deddy, pemerintah tidak boleh melepaskan harga minyak goreng sepenuhnya kepada mekanisme pasar semata atau hanya mengatur minyak curah, tetapi juga harus mengendalikan harga minyak goreng kemasan agar sesuai keekonomian. 

“Harga keekonomian berarti mempertimbangkan harga bahan baku, harga pokok produksi, biaya distribusi dan keuntungan yang wajar dengan kondisi makro ekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat. Itulah filosofi UU tentang perdagangan dan itu juga arti kehadiran negara,” pungkas Deddy Yevri Sitorus. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler