jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus menyoroti masalah kelangkaan minyak goreng yang belum terselesaikan hingga saat ini. Dia menilai penyelesaian permasalahan minyak goreng seperti jalan di tempat.
“Saya belum melihat penyelesaian yang komprehensif terhadap permasalahan ini, sepertinya jalan di tempat," kata Deddy melalui keterangan tertulisnya kepada pers, Senin (7/3).
BACA JUGA: Minyak Goreng Langka, Ada Kaitan dengan Wacana Perpanjang Masa Jabatan Presiden?
Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu menilai saat ini kelangkaan minyak goreng masih terus berlanjut di berbagai daerah dan bahkan di Jakarta.
Sementara, harga di pasaran masih jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh kementerian perdagangan (kemendag).
BACA JUGA: Irjen Kemendag Bingung Kelangkaan Pasokan Minyak Goreng Masih Terjadi
"Saya justru melihat bahwa industri ini rusak parah, rantai pasoknya dari hulu hingga hilirnya sudah bermasalah," jelasnya.
Menurut dia, rantai pasok itu mulai dari pekebun sawit, produsen crude palm oil (CPO), pabrik minyak goreng, distributor, agen, hingga pedagang, sudah tidak saling nyambung.
BACA JUGA: Pak Mendag Minyak Goreng Rp 14 Ribu ke Mana?
"Semua pihak dirugikan. Jadi, tidak hanya rakyat yang kesulitan mendapatkan barang, tetapi harganya pun sangat mahal. Sebab, produsen CPO juga mengeluh," ungkap Deddy.
Dia mendapatkan laporan produsen CPO, misalnya, mengeluh karena tidak ada jaminan mereka bisa melakukan ekspor.
Padahal, mereka mengaku sudah memenuhi persyaratan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) minyak goreng.
Di sisi produsen minyak goreng, kata Deddy, mayoritas merasa masih kesulitan mendapatkan bahan baku.
Padahal, jika dilihat struktur industrinya, dari sekitar 400 pabrik minyak goreng yang ada hampir 51 persen dari total produksi dikuasai oleh hanya empat hingga lima perusahaan.
"Artinya, sebenarnya mudah sekali untuk mengetahui sebaran hasil produksi minyak goreng dari pabrik-pabrik itu," kata Deddy.
Legislator Dapil Kalimantan Utara (Kaltara), itu juga mengaku menerima keluhan dari banyak pengusaha sawit, baik domestik maupun PMA.
"Mereka bingung dengan berbagai ketidakjelasan aturan yang ada, dan ini sangat merugikan mereka. Terus terang saya pribadi pun merasa bingung," ujarnya.
Deddy mengungkapkan kebutuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri hanya sekitar 10 persen dari total produksi CPO nasional yang mencapai di atas 49 juta ton per tahun.
Indonesia hanya butuh sedikit di atas 5 juta ton per tahun untuk minyak goreng, tetapi pasokan minyak tetap tidak bisa terpenuhi.
Bila ditambahkan dengan kebutuhan CPO untuk program B30 yang mencapai sekitar 9 juta ton, produksi Indonesia masih sangat aman.
"Jika pun pengusaha dan eksportir CPO dikenakan kewajiban DMO 30 persen, mereka tetap akan untung karena harga internasional masih sangat tinggi mencapai Rp 15.000 per kilogram," ungkapnya.
Oleh karena itu, Deddy berharap kemendag dan kementerian perindustrian serta kementerian ESDM segera duduk bersama dengan para stakeholder terkait dan para pelaku industri.
Semua harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah kelangkaan minyak goreng ini. Terlebih akan segera memasuki bulan puasa yang tentunya akan meningkatkan konsumsi.
"Persoalan ini sudah terlalu lama tidak terselesaikan, sungguh memalukan. Sengkarut ini merugikan semua pihak, mulai dari hulu hingga ke hilir, konsumen dan bahkan negara secara tidak langsung juga dirugikan," ungkapnya.
Deddy sangat berharap Kemendag agar memberikan kepastian solusi terhadap permasalahan ini. "Hal ini ujian bagi kementerian perdagangan dan tentunya menteri perdagangan," terang Deddy.
Dia menegaskan kemendag tidak boleh bermain aman. Terkuncinya ekspor CPO itu tidak hanya merugikan pengusaha sawit, tetapi juga merugikan penerimaan negara.
"Ketiadaan minyak goreng juga merugikan pedagang dan pelaku ekonomi, baik yang besar, menengah maupun yang kecil," ungkap Deddy.
Dia pun meminta kemendag dan menteri perdagangan buka-bukaan apa masalahnya hingga hampir tiga bulan lebih kelangkaan minyak goreng masih terus terjadi.
Seberapa efektif kebijakan DMP, DPO, HET dan pelarangan ekspor dalam memulihkan struktur produksi dan perdagangan komoditas ini.
"Apakah benar-benar tidak ada cara yang efektif dan sistemik untuk mengurangi benang kusut yang ada? Sampai kapan masalah ini akan teratasi, ini harus dijawab oleh kementerian perdagangan," pungkas Deddy. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy