Sebagaian besar mereka yang tidak punya rumah dan hidup menggelandang di Australia adalah pengungsi dan migran, Menurut para pengamat ini menjadi masalah tersembunyi, karena mereka tidak tahu harus mencari bantuan kemana.
Salah seorang yang mengalaminya adalah Roya Hamidavi dan keluarganya.
Setelah tiba dengan keluarganya di Christmas Island bersama ibu dan kakak laki-lakinya di tahun 2012, ia kemudian dipindahkan ke Adelaide, kemudian ke Brisbane.
Keluarga itu berasal dari Iran, dari suku Ahwazi. Mereka mendapatkan visa perlindungan sementara dan di tahun 2015 pindah ke kawasan pemukiman di sebelah barat Melbourne.
BACA JUGA: PPKM Diperpanjang Sampai 9 Agustus, Menkes Sebut Gelombang COVID Indonesia Sudah Capai Puncak
Mendapatkan rumah merupakan hal yang susah mereka lakukan.
"Susah sekali untuk mendapatkan tempat," katanya.
BACA JUGA: Warga Australia Makin Tidak Kerasan di Indonesia, Mohon Diizinkan Pulang ke Negaranya
Mereka adalah pengungsi dan tidak memegang visa permanen.
Bahkan kalau pun ada rumah yang mampu mereka sewa, status mereka sebagai pengungsi menjadi kendala besar.
"Ketika kami memberikan dokumen yang kami punya, kami tidak punya apa pun. Hanya ada SIM. itu saja, kami tidak punya dokumen lain."
Tahun 2017, Roya melahirkan Aiden di Australia, dan ketika berusia enam bulan, Roya bisa menemukan tempat untuk mereka tinggali.
Namun ketika pemilik rumah kemudian menjual rumahnya, Roya harus pergi dari rumah tersebut.
"Saya tidak tahu mau kemana lagi. Saya sudah berusaha mencari berbagai tempat, bahkan tinggal bersama dengan yang lain dalam satu rumah. Mereka tidak mau menerima saya," katanya.
Setelah menaruh barang-barangnya di garasi mobil temannya, Roya, seperti juga banyak pengungsi lain kehabisan opsi.
Dia dan bayinya yang berusia enam bulan ketika itu harus tidur di taman.
"Itulah mengapa saya menghabiskan semalam di jalanan bersama anak saya. Dan saya ketakutan. Rasanya seperti mimpi buruk."
Sejak itu, Roya dan Aiden kembali tinggal bersama ibu dan kakak laki-lakinya di rumah dua kamar.
Aiden yang sekarang berusia empat tahun menderita beberapa gangguan perkembangan seperti autisme, gangguan pada otak, dan masalah lain.
Rumah yang mereka tempati penuh sesak dan tidak layak untuk bisa mengurusi Aiden.
Mereka bisa menyewa rumah dengan bayaran Rp16 juta per bulan itu karena bantuan organisasi komunitas Refugee Voices.
Roya ingin pindah ke akomodasi yang lebih memadai untuk mengurusi anaka yang difabel seperti Aiden, yang tidak bisa menggerakkan kakinya sendiri.
Namun dia juga khawatir bahwa mereka bisa menjadi gelandangan lagi kalau mereka harus keluar dari rumah sekarang.
Ketika membicarakan situasi yang dialaminya, Roya tidak kuasa menahan kesedihannya akan nasib mereka saat ini.
"Saya tidak ingin apapun untuk saya, hanya untuk anak saya. Dia tidak punya dosa sama sekali, dia lahir di sini. Saya tidak bisa membawa dia ke tempat lain lagi." Masalah sepenuhnya perumahan ini tidak diketahui
Pengalaman Roya bukanlah pengalaman unik yang dialami oleh pengungsi dan migran di Australia.
Dalam sensus sebelumnya diperkirakan bahwa 15 persen dari populasi 'gelandangan' di Australia adalah mereka yang tiba di Australia dalam lima tahun terakhir.
Angka ini tiga kali lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk pada umumnya.
Dan data dari lembaga Centre for Multicultural Youth dalam penyelidikan mengenai mereka yang tidak memiliki rumah di tahun 2020 di negara bagian Victoria disebutkan bahwa anak-anak dari latar belakang pengungsi memiliki kemungkinan 6 sampai 10 kali lebih besar untuk tidak memiliki tempat tinggal dibandingkan anak muda yang lahir di Australia.
Biro Statistik Australia mengatakan dalam Sensus 2020 mereka sudah memiliki pertanyaan untuk mengetahui berapa besar populasi mereka yang menggelandang di Australia.
Dikatakan staf sensus bekerja sama dengan organisasi yang mendukung masyarakat multibudaya (CALD) akan mencoba mengidentifikasi mereka yang 'menggelandang' dalam masyarakat.
Mereka juga akan mendatangi tempat-tempat yang diketahui di mana warga tinggal tanpa rumah yang tetap dan akan melakukan wawancara selama masa satu pekan.
Namun badan yang bekerja membantu migran dan pengungsi mengatakan sulit untuk mengetahui seberapa besar masalah yang ada, karena berbagai lembaga tidak memiliki data latar belakang budaya dan bahasa.
"Saya menggambarkan ini sebagai masalah yang tersembunyi karena kita tidak tahu seberapa besar masalahnya," kata Elizabeth Drozd, Direktur Australian Multicultural Community Services (AMCS).
Organisasi yang dipimpinnya mendukung warga Australia yang lebih tua agar bisa tinggal di rumah mereka sendiri.
Banyak diantara klien mereka adalah migran. Banyak yang mengalami situasi yang sulit berkenaan dengan perumahan setelah mereka pindah ke Australia sebagai migran.
"Bukan hal yang aneh bagi migran dan pengungsi untuk tidak memiliki siapapun di sini," katanya.
"Bila sesuatu terjadi dan mereka memerlukan pertolongan, siapa yang bisa ditelpon jam 2 pagi dinihari? Apakah kamu atau anak-anak mereka?
Kurangnya dukungan membuat migran yang lebih tua lebih rentan, khususnya bagi mereka yang disponsori oleh keluarganya, banyak yang tidak bisa mendapatkan tunjangan sosial dari pemerintah sampai sekitar 10 tahun. Tidur di Lion's Club sambil menunggu dapat perumahan
Rodolfo Cabuang dan istrinya Erlinda Garcia tahu betul bagaimana situasi yang bisa berubah cepat.
Mereka tiba di tahun 2007 di Australia dari Filipina setelah mendapat sponsor untuk bergabung dengan putri mereka di Melbourne. Tetapi setahun kemudian putri mereka meninggal.
"Setelah dia meninggal kami menghadapi masalah besar karena menantu saya tidak bisa menampung kami di rumahnya," kata Erlinda Garcia yang sekarang berusia 75 tahun.
"Saya ketakutan. Saya merasa sangat sangat sedih tentu saja karena kami tidak punya uang, kami tidak punya tempat untuk tinggal."
Pasangan itu kemudian meminta pertolongan dari gereja lokal dan akhirnya tidur di ruangan milik lembaga amal Lion's Club di Footscray di Melbourne barat dan sudah berada di sana hampir empat tahun.
Akhirnya mereka mendapat unit perumahan dari pemerintah.
AMCS membantu mereka mendapatkan Paket bernama Home Care untuk Erlinda dan Rodolfo yang sekarang berusia 83 tahun.
Namun mereka tahu bahwa banyak migran yang tidak tahu kemana harus mencari pertolongan.
"Beberapa dari teman=teman kami ada yang sudah berada di sini selama 20 tahun, dan mereka masih tidak mendapat paket ini sampai sekarang," kata Rodolfo.
Elizabeth Drozd dari AMCS mengatakan sudah melihat hal seperti ini berulang kali.
"Mungkin ada masalah dalam keluarga, ada perceraian, mungkin kecelakaan di tempat kerja, dan dampak dari semua itu bisa besar sekali."
Dia ingin adanya pendanaan dari pemerintah bagi program percontohan, dengan sasaran komunitas migran yang besar guna memastikan mereka yang tidak memiliki rumah mendapat pertolongan.
Dia juga berharap sensus akan dengan akurat menggambarkan permasalahan mereka yang menggelandang di Australia.
Namun menurutnya selain itu harus ada juga solusi untuk masalah yang paling mendasar.
"Tingkat para senior yang menggelandang dalam 10 tahun terakhir ini sebenarnya naik 49 persen," katanya.
"Kita tidak akan membicarakan masalah mereka yang tidak punya tempat tinggal tetap ini kalau kita memiliki perumahan yang cukup bagi warga."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Seorang Bapak di Australia Berpose Menjadi Pemain Kriket untuk Mengumumkan Kelahiran Anak