Warga Australia yang berada di Indonesia makin khawatir dengan keselamatan mereka karena masih tingginya kasus penularan varian Delta, termasuk di kalangan anak-anak.
Satu dari delapan kasus COVID-19 di Indonesia dialami anak-anak. Indonesia kini disebut sebagai episentrum dari pandemi COVID.
BACA JUGA: Seorang Bapak di Australia Berpose Menjadi Pemain Kriket untuk Mengumumkan Kelahiran Anak
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), lebih dari 900 anak-anak sudah meninggal, 50 persen diantaranya berusia di bawah lima tahun.
Ini adalah tingkat kematian anak-anak yang lebih tinggi dibandingkan negara lainnya.
BACA JUGA: PM Jacinta Ardern Minta Maaf atas Tindakan Rasis Polisi New Zealand Tahun 1970-an
Bagi warga Australia yang berada di Indonesia meningkatnya kasus varian Delta sangat menakutkan.
Seperti yang diakui Sophie Layton dan suaminya, yang sudah tinggal dan menjalankan bisnsnya di Bali selama sepuluh tahun terakhir.
BACA JUGA: Apa yang Bisa Dicontoh Jakarta dari Brisbane Untuk Bisa Menjadi Tuan Rumah Olimpiade?
Mereka sudah berusaha kembali ke Australia bersama kedua anak mereka, bernama Tiongkok 13 tahun dan Lucian 10 tahun sejak Februari lalu.
"Situasi COVID di sini sangat mengerikan," kata Sophie.
"Kami semua ketakutan. Saya mengkhawatirkan anak-anak. Indonesia memiliki tingkat kematian tertinggi di kalangan anak-anak terkait COVID dan anak-anak Australia di sini bisa saja tertular juga."
Pakar masalah virus dari University of Queensland, Kirsty Short mengatakan belum ada data yang tersedia untuk menjelaskan mengapa tingginya tingkat penularan dan kematian di kalangan anak-anak di Indonesia.
Dr Short mengatakan walau banyak orang mengatakan varian Delta mungkin jadi penyebabnya, namun bukti sejauh ini belum bisa dijadikan pegangan.
"Dari dari Inggris menunjukkan varian Delta lebih buruk dampaknya bagi orang dewasa, jadi apakah ini berlaku untuk semua kelompok umur?
"Ada kemungkinan begitu, namun belum ada data kuat soal tersebut. Masih terlalu dini untuk memahaminya."
"Kalau saya orang tua yang tinggal di Indonesia, saya akan khawatir dengan varian apa saja." Belajar dari pengalaman di India
Pemerintah Australia sudah mengurangi jumlah warga yang bisa kembali ke negaranya sejak awal Juli.
Sementara Singapura melarang semua penerbangan dari Jakarta, dan kota lainnya di Indonesia, untuk transit.
Ini membuat berkurangnya pilihan penerbangan bagi warga Australia yang ingin kembali ke negaranya.
Sejumlah warga Australia di Indonesia sudah meminta Pemerintah Australia untuk mengorganisir penerbangan khusus kepulangan.
Sekitar 780 warga Australia di Indonesia sudah mendaftar ke Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) untuk kembali, sekitar 350 orang diantaranya memiliki kondisi kesehatan yang rentan.
Pemerintah Australia mengatakan bantuan sedang diupayakan.
"Sebagai bagian dari program global yang terus dilakukan untuk membantu warga Australia yang ingin kembali, Pemerintah Australia sedang mempertimbangkan berbagai pilihan membantu warga yang ingin kembali dari Indonesia," kata juru bicara DFAT.
Sophie mendesak Pemerintah Australia untuk belajar dari pengalaman sebelumnya saat India mengalami peningkatan penularan.
"Indonesia sekarang jadi pusat penyebaran di dunia dan kita sudah pernah melihat apa yang terjadi di India, keadaan bisa begitu buruknya dan bisa makin buruk dengan cepat," katanya.
"Satu hal yang membuat sekarang ini lebih mendesak adalah bahwa anak-anak yang sangat rentan."
Karena begitu khawatirnya, sekitar 200 warga asing sudah mengadakan inisiatif untuk mendapatkan pesawat sewaan ke Australia.
Keluarga Sophie termasuk salah satu diantaranya, meski sekarang mereka terpaksa membatalkan niatnya karena biaya yang mahal.
Pasangan asal Sydney, Josh dan Cat Sanders, juga ingin segera kembali bersama putra mereka, Zac, berusia sembilan tahun yang memiliki autisme.
Mereka pindah dari Sydney ke Jakarta karena kerja sejak bulan Januari 2020 dan sudah berusaha mendapatkan penerbangan kembali ke Australia sejak bulan Mei lalu.
Josh sangat khawatir meningkatnya penularan COVID di Indonesia akan membuat sistem layanan kesehatan nasional akan ambruk.
"Ini sangat membuat kami stres," kata Josh.
Sudah lebih dari setahun putranya, Zac tidak pernah ke sekolah sama sekali.
"Dia mengalami masalah perkembangan dan saya khawatir ia tidak pernah lagi bermain dengan anak-anak seusianya sejak awal tahun lalu," kata Josh.
"Ini situasi yang menyedihkan dan saya tidak tahu bagaimana dampak jangka panjangnya."
"Itulah alasan utama mengapa kami memutuskan untuk kembali ke Australia." Seruan agar warga Australia di Indonesia divaksinasi
Sejumlah warga Australia di Indonesia yang tidak punya keluarga juga memiliki kekhawatiran yang sama.
Michael Walden yang berusia 70 tahun melakukan perjalanan ke Jakarta untuk urusan bisnis di bulan Februari 2020 dan sudah "terjebak" di Indonesia selama 15 bulan.
Empat tiket penerbangan yang pernah dibelinya dibatalkan.
Ketika visa bisnisnya selama 12 bulan habis, Michael harus mengajukan visa turis dan karenanya membuatnya tidak berhak mendapatkan vaksin di Indonesia.
"Situasi ini mengerikan karena saya berada dalam kategori risiko tinggi," kata Michael.
"Saya sudah berusaha kemana-mana namun saya tidak bisa mendapatkan vaksin."
Michael termasuk salah satu warga Australia yang meminta Pemerintah Australia untuk menyediakan vaksin lewat kedutaannya di Indonesia, hal yang pernah dilakukan Pemerintah Prancis bagi warganya di luar negeri.
"Saya bisa mengerti dengan penundaan dan kesulitan penerbangan, namun yang saya minta adalah mereka memperhatikan dan memastikan adanya vaksin yang cukup bagi warganya yang terdampar di luar negeri," kata Michael.
"Kami tidak merasa terlindungi. Kami seperti orang-orang buangan."
Departemen Luar Negeri Australia mengatakan kebijakan vaksin Pemerintah Australia saat ini tidak termasuk bagi warga negaranya yang sedang berada di luar negeri.
"Kami mendorong warga Australia di luar negeri untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan lokal mengenai opsi vaksinasi yang ada."
Penerjemah asal Australia yang sekarang bekerja di Jakarta, Amelia Lemondhi mengatakan tidak adanya vaksin yang tersedia.
Suaminya positif COVID-19 seminggu lalu dan Amelia sekarang juga menunjukkan gejala COVID.
Pasangan asal Sydney tersebut pindah ke Indonesia di tahun 2018 dan sudah berusaha kembali ke Australia sejak bulan Mei.
Dengan layanan kesehatan di Indonesia kewalahan menangani COVID, dan banyak rumah sakit yang kehabisan tabung oksigen, Amelia khawatir dengan keselamatan keluarganya.
"Yang saya khawatirkan adalah mendengar cerita mengenai mereka yang terkena radang paru-paru dan itu terjadi di hari ke-10 setelah positif," katanya.
"Baru-baru ini ada teman yang masuk rumah sakit karena COVID dan meninggal karena komplikasi pneumonia dan usianya baru 40 tahunan."
Amelia dan suaminya ingin kembali ke Australia setelah mereka nanti negatif COVID.
"Saya jelas khawatir. Saya ingin memiliki pilihan medis yang seharusnya tersedia buat kami," kata Amelia.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kuwait Buka Pintu Selebar-lebarnya Bagi Warga Asing yang Sudah Divaksin