jpnn.com, JAKARTA - Kemampuan literasi sangat diperlukan di era konvergensi media saat ini. Menghasilkan konten yang aktual, kredibel dan tidak melanggar hukum hanya bisa diproduksi jika seseorang itu memiliki kemampuan literasi media yang baik.
Hal ini dibahas dalam Workshop Literasi Digital, yang ?ilaksanakan memperingati Hari Pers Nasional 2021, di Candi Bentar Ancol.
Webinar ini dimoderatori Wakil Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Suprapto Sastro Wardoyo.
Hadir sebagai narasumber dalam webinar itu Kepala Jakarta Smart City, Yudhistira Nugraha, Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Nurjaman Mochtar, Editor in Chief Majalah Tempo, Wahyu Diatmika dàn Fonder Channel Kok Bisa, Ketut Yoga Yudhistira.
BACA JUGA: Jelang Kegiatan HPN 2021, PWI dan Kemenkumham Bahas Regulasi Konvergensi Media
Disampaikan Nugraha, sejak beberapa tahun belakangan ini, lebih banyak menghabiskan waktu dengan beraktivitas digital.
"Saya gak pernah ngebayang jika hampir semua aktivitas kini dilakukan dengan digital media. Aplikasi seperti zoom menjadi fasilitas utama dalam komunikasi publik," katanya.
BACA JUGA: Penerima Anugerah Kebudayaan PWI Bakal Jadi Tamu Istimewa HPN 2021
Menurutnya, ini semua perubahan kebiasaan apapun penyebabnya. Untuk bisa menyesuaikan dengan peradaban ini kita harus punya kemampuan literasi media.
"Era digital, yang paling penting adalah literasi. Literasi media adalah bagaimana memcahkan sebuah problem. Literasi media diperlukan agar tidakan lebih akurat terukur dengan penggunaaan skala yang tepat," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, mantan Pemred SCTV juga Indosiar, Nurjaman Mochtar mènjelaskan konvergensi medià sudah diramalkannya sejak 10 tahun lalu bakal terjadi.
"Bahkan datangnya lebih cepat. Apa yang membuatnya lebih cepat adalah Covid-19 Dengan Covid, semuanya telah terjadi begitu cepat. Semua terjadi dengan cepatnya. Covid-19 mempercepat konvergensi medià," ujar Nurjaman.
Konfergensi media bicara tiga hal. Pertama, berkaitan dengan bagaimana menghasikan konten.
Kemudian, bagaimana konten ini disebarkan dan selanjutnya yang berkaitan dengan real community dan digital community.
Pada bagian lain, Wahyu Diatmika, mengajak masyarakat harus mampu beradaptasi dengan situasi kondisi di tengah pandemi.
Menurutnya, AMSI telah melakukan riset untuk persoalan yang sedang dihadapi babgsa ini. Semoga dapat dipublikasi 2-3 tahun kedepan.
Berkaitan dengan literasi, banyak masyarakat sering missinformasi. Sementara riset menyebut banyak yang "tersesat" akibat kurangnya literasi.
Pertanyaannya, kenapa bisa memicu opini publik. Hal ini karena distribusi beritanya tidak teliti, penyalahgunaan konten.
"Kadang yang menyebarkan tidak tahu apakah konten yang disebarkan adalah tidak layak. Tetapi ada jugà yang menyebarkannya dengan sengaja," ujar mantan Wakil Keta AMSI ini.
Motifnya, bebagai macam. Ada motif politik, propaganda dan ada juga karena memang jurnalisme yang buruk. "Ini semua menimbulkan miss communication," ujarnya.
Untuk mengetahui kebenaran informasi publik tidak sulit. "Yang harus dilakukan adalah terkonfirmasinya beberapa pertanyaan, apa, mengapa, siapa, di mana, kapan dan bagaimana sebuah objek itubterjadi," pungkas Wahyu.
Sementara Ketut Yoga Yudhistira, berbagi tentang bagaimana hadirnya "Ko Bisa" dan kedua tentang bagaimana menggunakan medsos dengan baik.
Menurut Yudhistira, mengelola konten media selain aktualisasi data diperlukan kemampuan literasi dan disajikan dengan semanirik mungkin. "Kita di "Ko Bisa" banyak produksi konten edukasi," jelasnya. (jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Natalia