Masih Satu Suku, Hanya Dipisahkan Batas Dua Negara

Senin, 14 Mei 2018 – 00:30 WIB
Titik Nol Kilometer. Foto: Ken Girsang/JPNN.com

jpnn.com - Berada di titik nol kilometer Indonesia memberi sensasi tersendiri. Di ujung barat, tepatnya di Pulau Weh, Sabang, Aceh, jiwa seakan terbang menyusuri Samudera Hindia menuju 'ujung bumi'. Sementara di bagian timur, tepatnya di Distrik Sota, Merauke, Papua, sentuhan mentari pagi begitu ramah menyapa.

Ken Girsang, Merauke

BACA JUGA: Teroris Mirip PKI! Bripka Iwan Diseret, Disiram Air Mendidih

Baik di Distrik Sota maupun di Sabang, sama-sama terdapat Tugu Nol Kilometer Indonesia. Bedanya, tugu di Sabang berada di puncak perbukitan, persis di ujung barat Pulau Weh di Desa IIboih.

Dibutuhkan waktu sekitar satu jam mengendarai kendaraan roda empat dari pusat Kota Sabang. Tugu tidak berbatasan dengan negara manapun. Sepanjang mata memandang yang ada hanya hamparan Samudera Hindia.

BACA JUGA: Kisah Para Pendaki saat Merapi Bergetar dan Menggelegar

Posisi tugu yang berada di puncak bukit membuat banyak orang senang berlama-lama menikmati sepiring pisang goreng hangat dan segelas kopi di sejumlah warung yang tersedia, sembari menatap matahari turun ke peraduannya di seberang Samudera Hindia.

Sementara Tugu Nol Kilometer Merauke-Sabang di Distrik Sota, letaknya persis berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua Nugini.

BACA JUGA: Virgia Velavia Diterima di ITB, Pusing soal Biaya

Berada di Sota paling nikmat pagi hari. Siraman mentari terasa begitu hangat menerpa tubuh. Sota berjarak sekitar 90 kilometer dari Merauke. Dapat ditempuh 1-2 jam dengan kendaraan pribadi.

Sepanjang perjalanan menuju Sota, mata akan dimanjakan dengan bukit-bukit sarang semut dengan ketinggian 1-3 meter, berjajar di tepi jalan saat melewati Taman Nasional Wasur.

Bahkan ada yang ketinggiannya mencapai lima meter dengan diameter tiga meter. Beberapa sarang semut terlihat telah dipagari agar kelestariannya terjaga.

Masyarakat sekitar menyebutnya Musamus atau istana koloni semut, meski sebenarnya bukan semut yang membentuk sarang tapi sejenis rayap. Cuma bentuknya mirip dengan semut, maka lebih dikenal dengan sebutan Musamus.

Musamus sepintas terlihat seperti terbuat dari tanah liat. Namun jika diperhatikan lebih lama, teksturnya sangat luar biasa. Dibentuk dari campuran rerumputan, daun kering dan tanah oleh jutaan koloni rayap yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Macrotermes sp dari keluarga Termitidae. Direkatkan dengan cairan yang dimiliki rayap-rayap tersebut.

Musamus merupakan fenomena alam sangat langka. Hanya ditemukan di Sota dan sebuah daerah di Brasil. Sarang semut kini menjadi salah satu oleh-oleh khas Sota. Dipercaya dapat mengobati berbagai macam penyakit.

Seperti kanker, tumor, gangguan jantung, stroke, ambien, gangguan fungsi ginjal, melancarkan peredaran darah, rematik, maag dan sejumlah penyakit lain. Cara menggunakannya cukup sederhana, cukup direbus dengan air panas.

"Musamus salah satu daya tarik Sota, selain itu Tugu Nol Kilometer Merauke-Sabang. Setiap hari ada saja orang yang berkunjung," ujar petugas imigrasi di perbatasan Indonesia-Papua Nugini Charles A Purok kepada JPNN, saat berkunjung ke Sota beberapa waktu lalu.

Menurut Charles, setiap tahun ada sekitar 20-30 turis mancanegara yang berkunjung ke Sota. Sementara turis dalam negeri hampir setiap hari ada yang berkunjung. Itu belum termasuk masyarakat PNG.

Menurut catatan Charles, pelintas batas dari PNG yang masuk ke Indonesia ada sekitar 20-30 orang setiap hari ketika musim kemarau. Sementara saat musim hujan sekitar sepuluh orang.

Jalan setapak yang menghubungkan Distrik Sota di Indonesia dengan Desa Wariaber di PNG tergenang air ketika musim hujan.

"Masih satu suku, hanya dipisahkan batas dua negara. Tapi hubungan kekeluargaan tetap terjaga dengan baik," katanya.

Warga dari Desa Wariaber, PNG biasanya datang ke Distrik Sota untuk urusan keluarga dan belanja kebutuhan sehari-hari. Mereka lebih dekat belanja ke Indonesia daripada ke ibu kota kabupaten di negaranya. Selain itu harganya juga lebih murah.

"Di sini sembako ada semua. Biasanya barang belanjaan dibawa menggunakan sepeda," ucap pria warga asli Sota yang telah 18 tahun mengabdi sebagai petugas imigrasi.

Charles berharap pemerintah dapat lebih memerhatikan pembangunan Distrik Sota agar masyarakat dapat hidup sejahtera.

"Pos lintas batas di Sota dibangun pada 2012 lalu. Tapi petugas imigrasi sudah ada sejak 1986," pungkas Charles. ***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Makam Bukit Batu Lemo, Aroma Mistis Warisan Leluhur


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler