jpnn.com - JAKARTA - Sejumlah lembaga survei mengungkap adanya penurunan elektabilitas Basuki T Purnama alias Ahok di bursa calon gubernur DKI.
Meski elektabilitas Ahok masih tertinggi dibandingkan dua pesaingnya, namun calon incumbent itu justru berpotensi tersingkir pada putaran pertama pilkada DKI yang digelar Februari 2017.
BACA JUGA: Inilah Wejangan SBY ke Agus untuk Hadapi Ahok dan Anies
Menurut pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Zaenal A Budiyono, elektabilitas Ahok yang masih tertinggi merupakan hal wajar karena memang sejak awal sudah mendeklarasikan diri untuk maju lagi pada pilkada DKI. Ahok, dari sisi start jelas jauh mendahului dua pesaingnya, Anies Rasyid Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono.
Namun, Zaenal juga memprediksi adanya perubahan perilaku pemilih. Dalam pengamatannya, elektabilitas Ahok bisa saja semakin anjlok saat mendekati hari pencoblosan karena perilaku pemilih yang berubah.
BACA JUGA: Dulu Ada Jokowi, Kini Publik Melihat Sosok itu pada Agus
“Akhir September lalu saja arah angin mulai berubah, terutama setelah diketahui dua pasangan lain yang maju,” ujar Zaenal di Jakarta, Rabu (5/10), menanggapi survei-survei terakhir tentang elektabilitas calon gubernur DKI.
Ia menjelaskan, baik Anies Baswedan-Sandiaga Uno maupun Agus Yudhoyono-Sylviana Murni bukanlah duet asal jadi. Anies, kata Zaenal, dianggap sebagai intelektual muda yang lama menggeluti dunia kampus. “Didukung Gerindra dan PKS, ia memiliki potensi (untuk menang, red),” tutur Zaenal.
BACA JUGA: Politikus Gerindra: Tidak Mungkin Popularitas Ahok Merosot Cepat
Sedangkan duet Agus-Sylvi yang diusung Koalisi Cikeas, kata Zaenal, terus mampu memberikan efek kejut bagi pemilih dan media. Tampang Agus yang juga anak sulung Susilo Bambang Yudhoyono menjadi magnet tersendiri.
Di samping itu, Agus yang berkiprah di TNI dengan pangkat terakhir mayor juga punya sederet prestasi di kemiliteran. “Agus menjadi magnet kuat bagi anak-anak muda generasi milenia,” ulasnya.
Sedangkan Sylviana yang beretnis Betawi, merupakan satu-satunya perempuan di ajang kontestasi pilkada DKI. “Sylvi sangat berpotensi menggaet suara dari kelompok Betawi dan perempuan,” sambung Zaenal.
Karenanya Zaenal menyebut survei-survei terkini mestinya menjadi alarm bagi Ahok yang berpasangan dengan Djarot S Hidayat. Direktur eksekutif di lembaga pengkajian Developing Countries Studies Center (DCSC) itu bahkan menyebut pendukung Ahok yang mendominasi media sosial dan konvensional selama setahun belakangan hanya gelembung politik yang bisa tiba-tiba meletus atau kempis.
“Bubble politics itu bisa kapan saja meletus, tergantung momentumnya. Dalam politik, momentum sangatlah penting karena terkadang menjadi titik loncat calon yang pada mulanya tidak dianggap di awal, tapi menjadi penantang serius,” sambungnya.
Zaenal lantas mencontohkan ketika Susilo Bambang Yudhoyon (SBY) pada 2003 dianggap kekanak-kanakan oleh tokoh penting di PDIP yang kala itu berkuasa. Tapi hal itu ternyata dikapitalisasi sehingga SBY menang pemilihan presiden mengalahkan Megawati Soekarnoputri yang kala itu menjadi calon incumbent.
“Begitu juga dengan Jokowi yang dianggap ndeso di Pilkada DKI 2012. Ternyata hasilnya Jokowi bahkan bisa menjadi presiden,” tutur Zaenal.
Secara khusus Zaenal menganggap Agus punya momentum untuk membalikkan keadaan sebagaimana ayahnya, SBY pada 2003. Yakni ketika Agus dianggap sebagai tentara ingusan oleh seorang pengamat.
“Ini adalah pukulan politik yang sepintas bernuansa negatif, namun bila bisa dikapitalisasi oleh Agus dan timnya, bukan tidak mungkin bisa menjadi keuntungan politik yang berdampak pada elektabilitas,” ulasnya.
Karenanya Zaenal menegaskan, hingga hari pencoblosan pilkada DKI pada 15 Februari 2017 nanti semua kemungkinan masih bisa terjadi. “Tinggal siapa yang mampu meyakinkan pemilih dengan program-program pro-rakyat dan berkomunikasi intensif ke basis-basis voters, dialah yang memiliki peluang terbesar untuk menang,” pungkasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Prediksi Ruhut Selalu Tepat, Timses Ahok Semakin Semangat
Redaktur : Tim Redaksi