Masinton: Data ICW Ibarat Lihat Monas Pakai Sedotan Kecil

Senin, 28 Agustus 2017 – 10:14 WIB
Politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu. Foto: M Kusdharmadi/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Pansus Angket KPK Masinton Pasaribu merespons penilaian ICW atas temuan sementara pansus yang disampaikan Minggu (27/8).

Menurut Masinton, ICW sejak awal selalu tendensius dengan DPR terkait terbentuknya pansus sebagai instrumen lembaga tinggi negara yang melakukan pengawasan dan penyelidikan terhadap kinerja KPK yang sudah berusia 15 tahun.

BACA JUGA: Pansus Angket KPK Perlu Panggil Jenderal BG dan Hadi Poernomo

Faktanya, kata Masinton, ICW menggugat keabsahan hak konstitusional DPR ke Mahkamah Konstitusi. ICW juga menggalang dukungan penolakan Hak Angket, yang ternyata pendukungnya sangat minim.

"Terhitung aksi-aksi ICW di depan gedung KPK maupun depan gedung DPR cuma diikuti belasan orang," kata Masinton, Senin (28/8).

BACA JUGA: KPK Harus Junjung Asas Praduga tak Bersalah

Selain itu, kata Masinton, penolakan melalui penggalangan media sosial dengan operasi buzzer yang memperbanyak akun-akun anonim juga gagal menggalang dukungan penolakan hak angket lewat Twitter dan Facebook.

Kedua, segala tudingan tendensius ICW terhadap Pansus Angket KPK sejak terbentuk hingga sekarang tidak satu pun yang terbukti. Contohnya ICW menuduh Pansus Angket KPK akan mengintervensi proses penanganan kasus e-KTP yang sedang ditangani KPK. "Faktanya, hingga saat ini Pansus Angket tidak pernah mencampuri perkara yang ditangani oleh KPK," tegas politikus PDI Perjuangan itu.

BACA JUGA: Sori, Johan Budi Ogah Meladeni Fahri Hamzah

Ketiga, kata dia, ICW menuding kunjungan Pansus Angket KPK DPR ke Lapas Sukamiskin sebagai mencari-cari kesalahan KPK. Faktanya, kedatangan Pansus Angket adalah untuk mendengar pengalaman orang-orang yang pernah menjalani proses pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK yang sudah memperoleh putusan vonis hakim Pengadilan Tipikor. "Pansus Angket tidak pernah mencampuri putusan dan vonis perkaranya," ujar Masinton.

Keempat, ICW tidak mengerti dan tak bisa membedakan antara saksi dan masyarakat yang datang melapor ke Pansus Angket DPR. Saksi yang memberikan keterangan di Pansus Angket adalah yang terlebih dahulu diambil sumpah oleh rohaniawan, contohnya Yulianis dan Niko Panji.

Sedangkan terhadap masyarakat yang datang melapor ke Pansus Angket wajib kami terima karena DPR adalah representasi wakil rakyat yang harus menerima setiap masukan dan kritikan serta laporan dan pengaduan masyarakat, keterangannya tidak di bawah sumpah.

Contoh, pengaduan korban penembakan Novel Baswedan di Bengkulu yang mencari keadilan datang melapor ke Pansus Angket. "Berhubung laporan perkaranya tidak berkaitan dengan objek penyelidikan Pansus Angket, maka pelaporan korban penembakan Novel Baswedan diteruskan oleh kepada Komisi III DPR sebagai mitra kerja KPK.

Kelima, ICW tidak memahami tentang safe house atau rumah aman yang disediakan oleh KPK yang melampaui kewenangan yang diatur dalam UU nomor 13 tahun 2006 dengan UU nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Bahwa seluruh ketentuan standar perlindungan saksi dan korban harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh LPSK.
Faktanya, Niko Panji direkrut oleh penyidik KPK dan ditempatkan di rumah yang kondisinya tidak layak. Niko direkayasa sebagai saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam persidangan.

Keenam, ICW tidak pernah menghadiri langsung seluruh proses persidangan maupun kunjungan lapangan yang dilakukan oleh Pansus Angket. Seluruh proses yang dikerjakan Pansus Angket KPK digelar secara terbuka untuk umum dan diliput oleh pers secara luas baik di persidangan maupun kunjungan lapangan.

"Sehingga informasi dan data yang dianalisis ICW sebagai penilaian terhadap temuan Pansus Angket KPK, ibarat melihat emas di puncak Monas dengan menggunakan sedotan pipa kecil," papar Masinton.

Dia justru menyampaikan pertanyaan kritis untuk ICW adalah apakah mereka pernah bersuara lantang mendukung DPR membongkar praktik korupsi dalam Pansus Angket Century dan Pansus Angket Pelindo II?

"Apakah pernah ICW mengkritisi ataupun mempertanyakan KPK memberikan status justice collaborator pada Nazaruddin, sebagai narapidana yang mendalangi 162 kasus korupsi yang justru dijadikan narasumber utama oleh KPK," katanya.

Bahkan, sambung dia, keberadaan aset hasil korupsi Nazaruddin yang kata KPK sudah disita sejumlah Rp 500 miliar sebagian tidak diketahui keberadaannya.

Perlu diketahui publik perihal positioning ICW yang mengatasnamakan civil society atau masyarakat sipil. Dia menjelaskan, civil society adalah istilah yang dipakai oleh LSM seperti ICW untuk mendapatkan bantuan pembiayaan dari lembaga-lembaga donor dari luar negeri dengan menjual agenda pemberantasan korupsi.

Maka, wajib hukumnya bagi ICW membela buta komisi antikorupsi karena mereka menjadikan KPK sebagai merk dagang yang laku dijual ke lembaga donor luar negeri untuk kepentingan pembiayaan lembaga mereka.

"Data yang kami terima, total penerimaan dana hibah ICW dari luar negeri sejak 2005-2014 sedikitnya sejumlah Rp 68 miliar," katanya.

Karena itu, Masinton meminta ICW harus move on. Saatnya bekerja untuk memperjuangkan agenda pemberantasan korupsi yang berpihak pada kepentingan Indonesia. "Jangan terus menerus menjadi mata, telinga dan otot kepentingan asing yang beroperasi di Indonesia," tegasnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pansus: Presiden Saja Santai, Jubirnya Kok Seperti Cacing Kepanasan


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler