Masjid

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 07 Juli 2021 – 14:58 WIB
Kubah Masjid Al Azhar, Jakarta saat gerhana bulan beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Masjid menjadi sentra kontroversi lagi. Pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat, dianggap membatasi pergerakan masyarakat muslim untuk berkegiatan di masjid.

Semua tempat ibadah ditutup selama pelaksanaan PPKM Darurat, karena dianggap tidak esensial. Poin itulah yang dikecam dengan berapi-api oleh Ustaz Abdul Somad. Pro dan kontra di media sosial pun riuh rendah.

BACA JUGA: PKB Pede Raup Suara Umat Islam di Pemilu 2024

Ini bukan kali pertama muncul perdebatan mengenai penutupan masjid.

Sejak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada masa-masa awal pandemi, kontroversi soal penutupan masjid menjadi perdebatan panas yang tidak pernah berhenti.

BACA JUGA: Hasil Survei: Poros Partai Islam Tidak Populer

Masjid seharusnya tidak hanya sekadar menjadi tempat ibadah, tetapi sekaligus harus menjadi pusat aktivitas sosial, ekonomi, dan juga politik umat.

Begitu pandangan kalangan yang pro-pembukaan masjid. Namun, kalangan yang kontra mengatakan, tidak seharusnya masjid dipakai sebagai pusat kegiatan selain ibadah.

BACA JUGA: Inovasi Masjid Al Azhar di Tengah Pandemi, Bayar Zakat Tanpa Perlu Keluar dari Mobil

Perdebatan semacam ini sudah berlangsung sangat panjang. Selama dua dekade terakhir selalu muncul argumen mengenai fungsi masjid.

Masjid dianggap sebagai simbol Islam sekaligus simbol "Islam politik". Menutup masjid adalah tindakan untuk memotong kebangkitan Islam politik. Begitu argumen di kalangan aktivis Islam politik.

Kuntowijoyo, intelektual Universitas Gadjah Mada (UGM) dua dasawarsa yang lalu memberikan refleksinya mengenai masjid dan umat Islam. Refleksi Kunto sampai sekarang masih dianggap relevan setiap kali membicarakan masjid dan Islam politik.

Dalam buku "Muslim Tanpa Masjid" (1999), Kunto melihat bahwa masjid tak pernah bebas dari politik. Masjid dan politik tak pernah benar-benar bisa dipisahkan karena masjid dalam sosiologi Islam adalah pusat syiar.

Kunto memberikan ilustrasi mengenai ketegangan massa di Gedung DPR/MPR Senayan yang mewarnai jatuhnya Orde Baru melalui gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa pada 1998.

Ketika Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya, kontan puluhan ribu mahasiswa yang menduduki Senayan itu melakukan sujud syukur. Ini menjadi salah satu gestur yang sangat islami. Begitu pandangan Kunto.

Namun, ternyata kemudian terjadi hal yang kontradiktif. Ketika Wakil Presiden B.J Habibie maju menjadi capres untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Soeharto, para mahasiswa itu terbelah menjadi dua, mendukung dan menolak.

Dalam pandangan Kunto, para mahasiswa "Islam" itu seharusnya mendukung Habibie sebagai representasi tokoh Islam politik.

Terjadilah ketegangan yang menjurus ke bentrokan fisik. Dua massa yang bentrok itu adalah mahasiswa yang menguasai Senayan--dan menolak Sidang Istimewa MPR yang bisa memuluskan jalan Habibie menuju kursi kepresidenan—berhadapan dengan mahasiswa Islam yang bergabung dengan Laskar Islam Pam-Swakarsa.

Hal ini dipandang Kunto sebagai ketegangan sosiologis politis antara gerakan yang menjadikan masjid sebagai sentra melawan gerakan yang tidak menjadikan masjid sebagai sentra, meskipun dua-duanya mengaku sebagai muslim.

Inilah titik tolak pandangan Kunto mengenai "muslim yang punya masjid" versus "muslim tanpa masjid".

Laskar Islam Pam Swakarsa yang mendukung Habibie memulai demonstrasinya dari masjid Al-Azhar dan Istiqlal.

Al-Azhar dianggap sebagai simbol masjid umat, dan Istiqlal adalah masjid simbol negara.

Gerakan ini dihalang oleh mahasiswa yang menolak Habibie. Kalangan inilah yang oleh Kunto disebut sebagai representasi muslim tanpa masjid.

Mereka juga berasal dari keluarga muslim dan menjalankan ritual sebagaimana muslim lainnya.

Para mahasiswa itu, misalnya, mendirikan salat tarawih di garasi Universitas Atmajaya dalam situasi demonstrasi berlangsung hingga malam hari.

Kunto menaruh perhatian kepada "muslim tanpa masjid" ini bukan tanpa alasan historis.

Ia sadar jumlah mereka luar biasa besarnya ketimbang "muslim yang bernaung di masjid umat". Karena itu kelompok muslim tanpa masjid ini menjadi kekuatan politik yang tersembunyi yang justru sering menjegal partai-partai Islam.

Pemilahan yang dilakukan antropologis Clifford Geertz bisa menerangkan hal itu.

Geertz memisahkan masyarakat Indonesia dalam tiga kategori santri, priayi, dan abangan. Secara sederhana, santri adalah "muslim yang punya masjid" dan priayi bersama abangan adalah "muslim tanpa masjid".

Abangan dan priayi dikategorikan sebagai muslim nominal, atau dengan julukan yang pejoratif disebut sebagai "Islam KTP", karena dalam identitasnya menyebut beragama Islam, tetapi tidak benar-benar menjalankan syariah, apalagi menjadi pendukung Islam politik.

Cara beragama kalangan priayi dan abangan ini eklektik, campur baur antara ajaran Islam dengan tradisi Hindu dan Buddha.

Mereka melaksanakan salat, tetapi tetap menjalankan ritual Hindu dan Buddha dan membungkusnya sebagai aktivitas budaya.

Kalangan ini jumlahnya bisa sampai 70 persen atau lebih dari total muslim di Indonesia. Secara matematis seharusnya parta-partai Islam menjadi mayoritas dalam lanskap politik Indonesia. Tetapi, dalam praktiknya partai-partai Islam tidak pernah bisa memenangi pemilihan umum nasional di Indonesia.

Pada pemilu demokratis pertama 1955 di masa Orde Lama, gabungan partai-partai dan organisasi Islam yang bernaung di bawah partai Masyumi, tidak bisa mengungguli Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didukung kalangan abangan.

PNI menjadi juara nasional disusul oleh Masyumi dan PKI (Partai Komunis Indonesia). PNI dan PKI mempunyai irisan yang hampir sama, karena pendukung PKI pun secara formal menyebut agamanya Islam.

Perkembangan ini terjadi sampai dengan masa Orde Baru. Soeharto, yang menyadari bahaya potensi Islam politik, membubarkan Masyumi dan parta-partai yang berbasis Islam, dan meleburnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Partai-partai abangan dan Kristen dilebur menjadi PNI (Partai Nasional Indonesia). Gabungan suara dua partai itu pun tidak mampu mengungguli suara Golkar yang menjadi mesin politik Orde Baru.

Selama kekuasaan Orde Baru Islam politik mengalami represi habis-habisan. Karena itu, begitu Suharto jatuh karena reformasi, kekuatan Islam politik bangkit dan memperoleh kanalisasinya. Partai-partai yang dibubarkan semasa Orde Baru bangkit kembali.

Namun, kebangkitan itu tidak bisa menyatukan kekuatan Islam politik menjadi kekuatan yang utuh, karena Islam politik ternyata tidak monolitik, dan justru saling bersaing satu dengan lainnya.

Kegagalan mengusung Habibie menjadi presiden yang merepresentasikan Islam politik, kata Kuntowijoyo, adalah bukti belum maksimalnya "muslim yang punya masjid" dalam konstelasi politik Indonesia.

Perkembangan ini berlanjut sampai rezim Jokowi sekarang ini.

Kekuatan "muslim masjid" yang berusaha melakukan konsolidasi, menghadapi tantangan yang berat dari kelompok "muslim tanpa masjid" yang didukung oleh rezim Jokowi dan oligarki politik.

Para pemikir Islam di era Orde Baru, seperti Nurcholish Madjid, mengusulkan pemisahan Islam dari politik praktis dengan jargon "Islam Yes, Partai Islam No".

Namun, gerakan ini dicurigai oleh kalangan Islam masjid sebagai sekularisasi dan ditolak dengan keras.

Arus yang berkembang di kalangan Islam masjid sekarang adalah menerapkan jargon "Islam Yes, Partai Islam Yes".

Persaingan antara "Islam masjid" melawan "Islam tanpa masjid" akan terus berlangsung, dan pemilu 2024 nanti akan menjadi ajang pembuktian siapa yang bakal unggul. (*)

 


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler