Masjid, Kontrakan, dan Radikalisme

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 31 Januari 2022 – 14:23 WIB
Suasana jumatan di Masjid Istiqlal beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Ada kampus yang terpapar radikalisme. Ada pesantren yang terpapar radikalisme. Sekarang polisi akan mendata masjid-masjid untuk mencegah kemunculan radikalisme.

Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla mengingatkan, jangan cuma masjid yang didata, rumah kontrakan juga harus didata, karena selama ini banyak muncul kasus radikalisme yang berawal dari rumah kontrakan.

BACA JUGA: Bicara Radikalisme dan Terorisme, Bupati Ade Yasin: Waspada!

Para pemilik rumah kontrakan bisa jadi kaget oleh pernyataan JK ini.

Namun, tampaknya, JK tidak bermaksud memberikan stigma kepada rumah kontrakan. JK ingin mengingatkan polisi bahwa tidak pernah ada kegiatan untuk mengacaukan negara dengan paham radikalisme dari masjid.

BACA JUGA: Kritisi Rencana Polri - BPET MUI Memetakan Masjid, Reza Indragiri: Batalkan!

Ia menegaskan tidak pernah ada baiat kepada kelompok ekstrem yang dilakukan di masjid.

Dalam beberapa kasus terorisme, para pelaku diketahui menyewa rumah kontrakan dan kemudian merancang serangan dan merakit bom dari tempat itu.

BACA JUGA: HNW dan Ormas Islam Mengkritik Radikalisme Dikaitkan dengan Masjid dan Pesantren

JK mempersilakan polisi menindak siapa saja pelaku terorisme, baik yang muncul dari rumah kontrakan, maupun dari masjid.

Perdebatan mengenai fungsi masjid mendapat isu yang bergulir sejak lama. ada pandangan yang bervariasi mengenai fungsi masjid.

Ada yang menganggapnya sekadar pusat ibadah, tetapi ada juga yang melihat fungsi masjid yang lebih luas dari sekadar tempat ibadah.

Pemerintahan Joko Widodo mempunyai kebijakan yang keras terhadap Islam, terutama terhadap Islam politik yang membawa aspirasi syariat dengan berbagai bentuknya.

Sikap keras ini sering dianggap berlebihan sampai terlihat obsesif. Pengawasan dan pendataan terhadap masjid dan para penceramah, yang dicurigai menyebarkan paham syariat, dianggap sebagai indikasi sikap obsesif itu.

Kuntowijoyo, intelektual dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dua dasawarsa yang lalu memberikan refleksinya mengenai masjid dan umat Islam. Refleksi Kunto sampai sekarang masih dianggap relevan setiap kali membicarakan masjid dan Islam politik.

Dalam buku ‘’Muslim Tanpa Masjid’’ (1999), Kunto melihat bahwa masjid tak pernah bebas dari politik. Masjid dan politik tak pernah benar-benar bisa dipisahkan karena masjid dalam sosiologi Islam adalah pusat syiar dan pusat semua aktivitas sosial dan juga politik.

Selama masa kekuasaan Soeharto kekuatan Islam politik dimarjinalisasi dan diawasi dengan ketat. Partai politik berazas Islam dilarang, dan para aktivis Islam ditangkap melalui berbagai macam skenario.

Rezim Orde Baru lahir dan mendapatkan legitimasi dari umat Islam, karena Orde Baru dianggap sebagai kekuatan yang bisa menandangi dan mengalahkan kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah menghancurkan PKI dengan operasi besar-besaran yang mendapatkan dukungan dari umat Islam, Soeharto kemudian berbalik mempergunakan kekuatannya yang sudah terkonsolidasi untuk memberangus Islam politik.

Selama 32 tahun masa kekuasaan Soeharto, Islam dikontrol dengan ketat dan diberi ruang gerak yang terbatas sebagai kekuatan sosial dan ritual saja. Soeharto melalui Yayasan Muslim Pancasila yang dibentuknya membangun masjid-masjid di seluruh Indonesia dengan desain yang seragam.

Bangunan masjid yang identik dengan arsitektur Islam lengkap dengan kubah dan menara diubah menjadi bangunan dengan arsitektur Jawa bergaya joglo bersusun lima yang melambangkan Pancasila.

Soeharto melakukan Jawa-nisasi total terhadap politik dan agama sehingga Islam pun muncul dengan identitas Jawa, mirip dengan gerakan Islam Nusantara sekarang.

Ketika Orde Baru runtuh pada 1998, kekuatan Islam politik langsung meledak. Organisasi dan partai Islam yang selama ini terpenjara langsung mendapatkan kebebasan dan memperoleh penyalurannya.

Kuntowijoyo memberikan ilustrasi mengenai ketegangan massa di Gedung DPR/MPR Senayan yang mewarnai jatuhnya Orde Baru melalui gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa pada 1998.

Ketika Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya, kontan puluhan ribu mahasiswa yang menduduki Senayan itu melakukan sujud syukur. Ini menjadi salah satu gestur yang sangat islami dan dianggap sebagai indikator bangkitnya Islam politik.

Namun, ternyata kemudian terjadi hal yang kontradiktif. Ketika Wakil Presiden B.J Habibie maju menjadi capres untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Soeharto, para mahasiswa itu terbelah menjadi dua, mendukung dan menolak.

Dalam pandangan Kunto, para mahasiswa ‘’Islam’’ itu seharusnya mendukung Habibie sebagai representasi tokoh Islam politik.

Terjadilah ketegangan yang menjurus ke bentrokan fisik. Dua massa yang bentrok itu adalah mahasiswa yang menguasai Senayan--dan menolak Sidang Istimewa MPR yang bisa memuluskan jalan Habibie menuju kursi kepresidenan—berhadapan dengan mahasiswa Islam yang bergabung dengan Laskar Islam Pam-Swakarsa.

Hal ini dipandang Kunto sebagai ketegangan sosiologis politis antara gerakan yang menjadikan masjid sebagai sentra melawan gerakan yang tidak menjadikan masjid sebagai sentra, meskipun dua-duanya mengaku sebagai muslim. Inilah titik tolak pandangan Kunto mengenai ‘’muslim yang punya masjid’’ versus ‘’muslim tanpa masjid’’.

Laskar Islam Pam Swakarsa yang mendukung Habibie memulai demonstrasinya dari masjid Al-Azhar dan Istiqlal. Al-Azhar dianggap sebagai simbol masjid umat, dan Istiqlal adalah masjid simbol negara.

Gerakan ini diadang oleh mahasiswa yang menolak Habibie. Kalangan inilah yang oleh Kunto disebut sebagai representasi muslim tanpa masjid. Mereka juga berasal dari keluarga muslim dan menjalankan ritual sebagaimana muslim lainnya.

Para mahasiswa itu, misalnya, mendirikan salat tarawih di garasi Universitas Atmajaya dalam situasi demonstrasi berlangsung hingga malam hari.

Kunto menaruh perhatian kepada "muslim tanpa masjid" ini bukan tanpa alasan historis. Ia sadar jumlah mereka luar biasa besarnya ketimbang "muslim yang bernaung di masjid umat". Karena itu kelompok muslim tanpa masjid ini menjadi kekuatan politik yang tersembunyi yang justru sering menjegal partai-partai Islam.

Pemilahan yang dilakukan antropologis Clifford Geertz bisa menerangkan hal itu. Geertz memisahkan masyarakat Indonesia dalam tiga kategori santri, priyayi, dan abangan. Secara sederhana, santri adalah ‘’muslim yang punya masjid’’ dan priyayi bersama abangan adalah ‘’muslim tanpa masjid’’.

Abangan dan priyayi dikategorikan sebagai muslim nominal, atau dengan julukan yang pejoratif disebut sebagai ‘’Islam KTP’’, karena dalam identitasnya menyebut beragama Islam, tetapi tidak benar-benar menjalankan syariat, apalagi menjadi pendukung Islam politik.

Kalangan ini jumlahnya bisa sampai 70 persen atau lebih dari total muslim di Indonesia. Secara matematis seharusnya parta-partai Islam menjadi mayoritas dalam lanskap politik Indonesia.

Namun, dalam praktiknya partai-partai Islam tidak pernah bisa memenangi pemilihan umum nasional di Indonesia.

Pada pemilu demokratis pertama 1955 di masa Orde Lama, gabungan partai-partai dan organisasi Islam yang bernaung di bawah partai Masyumi, tidak bisa mengungguli Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didukung kalangan abangan.

PNI menjadi juara nasional disusul oleh Masyumi dan PKI. PNI dan PKI mempunyai irisan yang hampir sama, karena pendukung PKI pun secara formal menyebut agamanya Islam.

Selama kekuasaan Orde Baru Islam politik mengalami represi habis-habisan. Karena itu, begitu Soeharto jatuh karena reformasi, kekuatan Islam politik bangkit dan memperoleh kanalisasinya. Partai-partai yang dibubarkan semasa Orde Baru bangkit kembali.

Namun, kebangkitan itu tidak bisa menyatukan kekuatan Islam politik menjadi kekuatan yang utuh, karena Islam politik ternyata tidak monolitik, dan justru saling bersaing satu dengan lainnya. Kegagalan mengusung Habibie menjadi presiden yang merepresentasikan Islam politik, kata Kuntowijoyo, adalah bukti belum maksimalnya ‘’muslim yang punya masjid’’ dalam konstelasi politik Indonesia.

Perkembangan ini berlanjut sampai rezim Jokowi sekarang ini. Kekuatan ‘’muslim masjid’’ yang berusaha melakukan konsolidasi, menghadapi tantangan yang berat dari kelompok ‘’muslim tanpa masjid’’ yang didukung oleh rezim Jokowi dan oligarki politik.

Para pemikir Islam di era Orde Baru, seperti Nurcholish Madjid, mengusulkan pemisahan Islam dari politik praktis dengan jargon ‘’Islam Yes, Partai Islam No’’.

Namun, gerakan ini dicurigai oleh kalangan Islam masjid sebagai sekularisasi dan ditolak dengan keras.

Arus yang berkembang di kalangan Islam masjid sekarang adalah menerapkan jargon ‘’Islam Yes, Partai Islam Yes’’. Bahkan muncul pula arus baru yang menghendaki ‘’Islam Yes, Negara Islam Yes’’.

Rezim Jokowi menjadikan kelompok ‘’Negara Islam Yes’’ sebagai musuh besar, dan memburunya sampai ke lubang tikus. Pendataan ‘’masjid radikal’’ adalah bagian dari perburuan itu. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler