jpnn.com, JAKARTA - Sempat muncul opini telah terjadi penurunan daya beli masyarakat ketika pertumbuhan ekonomi stagnan pada kuartal kedua 2017.
Namun ekonom senior Indef Faisal Basri menuturkan, sejatinya tidak ada hal yang salah pada daya beli masyarakat saat ini.
BACA JUGA: Daya Beli Masyarakat Anjlok, Darmin: Dari Mana Indikasinya?
Faisal mengatakan, kontribusi terbesar pertumbuhan ekonomi nasional yang ada di level 5,01 persen masih dari konsumsi rumah tangga 2,65 persen, investasi 1,69 persen, dan net ekspor 0,59 persen.
Dia menuturkan, kecenderungan masyarakat saat ini lebih banyak menabung daripada konsumsi.
BACA JUGA: Waspadai Penurunan Daya Beli Masyarakat
Namun, hal itu bukanlah satu-satunya indikator sehingga banyak yang berasumsi bahwa daya beli masyarakat menurun.
‘’Konsumsi itu kan ditentukan oleh pendapatan. Konsumsi itu sama dengan pendapatan dikurangi saving. BPS menunjukkan, proporsi tabungan terhadap total pendapatan naik. Jadi masyarakat nabung lebih banyak dengan mengorbankan konsumsi. Jadi belanjanya kurang tidak berarti daya beli turun,’’ ujarnya dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta kemarin (12/8).
BACA JUGA: Minat Menabung Rendah, Warga Kawasan Timur Indonesia Lebih Suka Belanja
Selain itu, indikator lain yang menunjukkan tidak adanya penurunan daya beli adalah tidak adanya kenaikan tarif pajak.
Karena tarif pajak perseorangan tidak naik, maka tidak ada tekanan pada pendapatan yang siap dibelanjakan.
‘’Tapi kalau pemerintah jadi menurunkan tingkat batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP), baru terasa. Jadi daya beli itu yang tercermin dari konsumsi, tidak ada gangguan dari mana-mana,’’ katanya.
Menurut dia, beberapa pihak yang menyatakan daya beli melemah berasal dari kenyataan omzet beberapa outlet ritel modern dan penjualan barang menurun.
‘’Tapi kenyataan itu tidak mencerminkan daya beli masyarakat secara keseluruhan,’’ ujarnya. Daya beli akan turun seandainya peningkatan pendapatan lebih lambat ketimbang kenaikan harga-harga pada umumnya.
‘’Ritel modern dan beberapa barang yang penjualannya turun seperti semen dan pakaian tidak mencerminkan seluruh belanja masyarakat,’’ jelasnya.
Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Aulia E. Marinto menambahkan, kini pola konsumsi masyarakat makin efisien dengan beralih ke sistem e-commerce.
Prospek dan pertumbuhan industri e-commerce memang telah dirasakan. Namun, perlu dorongan mengakselerasi pertumbuhan agar terjadi efek multiplier bagi industri lainnya.
Dia merinci, pasar e-commerce di Asia Tenggara tumbuh dari USD 5,5 miliar pada 2015 menjadi USD 87,8 miliar pada 2025. Ada sekitar 3,8 juta pengguna baru hadir setiap bulan di industri e-commerce. Indonesia berkontribusi 50 persen dari pengeluaran e-commerce pada 2025.
Adapan estimasi investasi e-commerce sampai tahun ini diperkirakan USD 9 miliar. ‘’Pasar e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai USD 130 miliar pada 2020 mendatang,’’ timpalnya.
Transaksi e-commerce tahun ini tercatat tumbuh 30-50 persen jika dibandingkan 2014 lalu. Namun, nilai e-commerce masih kurang dari 2 persen dari total transaksi perdagangan konvensional.
‘’Ini peluang yang harus dikejar terus, bersama pemerintah kami berusaha membuat landasan agar industri ini bertumbuh lebih cepat,’’ jelasnya. (dee/oki)
Redaktur & Reporter : Soetomo