Mau Telepon, Silakan ke Desa Seberang

Kamis, 21 November 2013 – 20:05 WIB
Perbatasan Indonesia-Malaysia di Desa Camar Bulan. Foto: Ruslan Ramli/JPNN.com

jpnn.com - Camar Bulan adalah teras terdepan Indonesia di Kalimantan Barat. Sebagai beranda dari ibarat sebuah rumah, maka selayaknya Camar Bulan mudah dijangkau. Teras rumah itu dipoles dan didandani agar terlihat cantik di mata orang luar. Bukan sebaliknya, terasing dari negeri yang sudah merdeka.

Ruslan Ramli, Camar Bulan
   
Petang itu, puluhan murid SD asyik bermain di halaman sekolah. Tidak jelas apakah bocah-bocah itu sedang latihan untuk sebuah kegiatan atau sekadar mengisi waktu luang. Sebagian berkejaran, ada juga yang sibuk berkelompok. Di lain tempat, seorang guru mengajari muridnya memainkan alat musik tradisional. “Inilah pemandangan sehari-hari desa kami, halaman sekolah selalu ramai setiap petang,” ucap Asman, Sekretaris Desa Temajuk.
   
Walaupun nama Desa Temajuk pernah heboh di media massa tanah air lewat   isu sengketa perbatasan, warganya tidak ambil pusing. Mereka tidak terpengaruh  pemberitaan karena tak paham. “Mereka baru tahu itu (sengketa perbatasan, red) setelah menonton televisi. Mereka tidak baca suratkabar atau mendengar di radio. Cuma tahunya dari cerita orang ke orang atau setelah nonton TV. Walaupun ribut, tidak ada masalah. Yang ribut kan di Jakarta, bukan di sini,” kata Asman.
   
Bagi warga, masalah perbatasan Indonesia-Malaysia sepenuhnya diserahkan pada pemerintah. Meskipun lokasi sengketa berada di lingkungannya, mereka enggan terlibat. Alasannya, mereka tidak tahu akar persoalan. “Itu urusan pemerintah. Kami harus bekerja untuk keluarga. Biarlah pemerintah yang menyelesaikannya. Mau terlibat, kami pun tak paham. Kami tak tahu-menahu soal perbatasan. Jadi, lebih baik bekerja dan cari makan saja,” ujar Jaka, pemuda lokal.

BACA JUGA: Butuh Lima Jam Naik Motor dari Sambas

"Yang kami perlukan adalah kejelasan perbatasan, mana yang masuk wilayah Indonesia, yang mana Malaysia. Kami serahkan ke pemerintah dan kami tinggal menurut saja apa keputusannya," tambah Mulyadi, kepala desa (kades) Temajuk.

Bersama Maludin, Camar Bulan adalah dusun yang berada di wilayah Desa Temajuk. Penduduknya mengandalkan kehidupan yang bersumber dari hasil  kebun dan laut. Jumlahnya seribuan jiwa. Camar Bulan adalah ibukota Temajuk dengan infrastruktur yang terbelakang dibanding desa lain di Sambas. Jumlah sekolahnya terbatas. Hanya dua bangunan SD dan SMP, gedung SMA cuma  satu. Masjid dan musalah ada enam buah.

BACA JUGA: Siapkan Stok Pantun, Ingin Kunjungi Istana Siak

Selain itu, desa ini punya fasilitas publik lainnya, puskesmas pembantu dan kantor imimgrasi. Malah kantor imigrasinya masih baru. Bangunannya  terletak tak jauh dari tapal batas. Namanya Kantor Imigrasi Kelas II Sambas. Sampai sekarang kantor ini belum beroperasi. Pemerintah desa masih menanti jadwal peresmian dari pemerintah provinsi. Kelak, di kantor inilah yang berfungsi sebagai check point.

Warga asing yang masuk ke Indonesia harus melapor terlebih dahulu di sini.
Hampir semua kegiatan sosial warga berpusat di Camar Bulan. Tanah kosong mirip lapangan sepak bola di depan kantor desa dijadikan meeting point. Pertigaan di jantung desa juga selalu ramai aktivitas karena di sekelilingnya berdiri kedai-kedai kecil. Warung ini berfungsi sebagai tempat nongkrong ala kampung. Di belakang kantor desa, dijumpai arena biliar. Rumahnya kecil kumuh, tetapi beberapa anak muda menjadikanya tempat berkumpul.

BACA JUGA: Paling Enak Menginap di Camping Ground

Sebuah tugu setinggi 3,5 meter dan lebar 1 meter berdiri tegak  di jalan utama desa. Bangunannya masih terlihat baru. Warnanya merah-putih dengan logo Burung Garuda di tengah atas. Di bawah logo tertulis Republik Indonesia, Provinsi Kalbar, Sambas, Paloh, lengkap dengan kode pos.

Sekilas, tugu itu belum lama berdiri. Catnya terang, logo yang menempel mengkilap.  Warna merah-putih seakan menegaskan bahwa kampung tersebut adalah wilayah Republik Indonesia. “Tugu ini memang baru dibangun,” kata Asman.

Selain krisis infrastruktur, desa ini juga tak memiliki sumber energi. Warganya bergantung pada genset untuk menyalakan lampu dan alat elektronik lainnya. Setiap malam minimal dua-tiga liter bensin habis untuk keperluan listrik  rumah tangga.

Pemerintah desa sebenarnya pernah mengusahakan PLTA. Dengan mengandalkan tenaga air, energi listrik tersalurkan ke rumah-rumah warga. Berbulan-bulan warga menikmati PLTA tersebut. Namun setelah ada kerusakan, PLTA tersebut sudah tidak berfungsi. Akhirnya, warga beralih ke genset. Demi penerangan dan siaran televisi, mereka meorogoh kocek pribadi untuk membeli genset.  “Yang jadi masalah karena bensin dibeli di kecamatan,” ucap Mulyadi.

Ketiadaan alat telekomunikasi melengkapi keterpurukan layanan publik Camar Bulan. Warga tidak mampu menjalin koneksi udara dengan pihak luar karena tidak ada jaringan. Tanpa menara, mereka putus hubungan dunia luar kecuali bergeser ke desa tetangga di seberang sungai. “Kalau mau telepon, harus keluar dari desa ini,” ujar Asman.

“Pernah ada orang yang mau telepon  keluarganya karena urusan penting, dia terpaksa pergi ke Cermai atau Paloh untuk mendapatkan jaringan yang baik. Hanya dengan cara itu baru bisa telepon,” jelasnya.

Yang menarik perhatian penulis adalah maraknya bendera merah-putih. Penulis sempat membatin menyaksikan merah-putih yang berkibar di sudut-sudut jalan. Sejak memasuki pintu gerbang kampung ini, penulis sudah melihat kibaran merah-putih di tiang-tiang halaman rumah warga. Mungkin karena berada di perbatasan sehingga nasionalisme warga dibakar dengan cara memperkenalkan merah-putih. Bendera tersebut sebagai simbol bahwa mereka adalah bagian dari NKRI.

Mulyadi bercerita bahwa desanya mulai berkembang sebagai  sebuah kampung pada awal 1980-an. Warga dari berbagai daerah di Sambas berdatangan ke Temajuk untuk mencari pekerjaan. Mereka membuka  lahan baru setelah menebang pohon di belantara setempat.

“Kebanyakan yang datang kemari berasal dari Paloh, Jawai, maupun Teluk Keramat. Kira-kira pada tahun 1982 kami kemari untuk bekerja. Berkebun setelah membuka hutan. Saya berasal dari Jawai dan ikut bapak sebagai tukang kebun,” kata Mulyadi.

Desa Temajuk punya sejarah. Dinamakan Temajuk karena dulunya jalur  pelarian warga komunis Sarawak di Kalimantan. Letaknya yang terisolasi membuat pelarian beraliran komunis bergerak ke daerah ini. Temajuk berarti tempat masuk jalur komunis. "Kan ada juga komunis di Serawak. Mereka itulah yang keluar-masuk di sini. Tempat ini sebagai pelarian karena sangat sulit dijangkau," beber Mulyadi yang akrab disapa Apung.

Jalur transportasi yang mandek membuat harga barang-barang di Camar Bulan ikut melambung. Kenaikannya rata-rata 50 persen di atas harga pasaran. Bensin misalnya, harganya mencapai Rp9.500 perbotol. Padahal di SPBU harga bensin cuma Rp6.500 perliter.  Begitu juga minuman segar Marimas, Nutrisari, Sari Orange yang dijual sampai Rp5.000-Rp7.000 per sachet, padahal biasanya dihargai Rp2.000.

Koneksi darat yang rusak berujung pula pada maraknya bisnis ojek.  Seorang tukang ojek biasa menawarkan jasa pengantaran barang belanja ke dan dari Sambas. Warga boleh menitip barang belanja ke tukang ojek dengan imbalan Rp5.000-Rp10.000 per kg.

Tak heran bila kita berpapasan dengan tukang ojek dengan segudang gandengannya. Meskipun menempuh perjalanan darat sejauh 100-120 km dari pusat kabupaten di Sambas, tukang ojek siap menanggungnya. "Padahal upahnya kecil dengan risiko besar. Paling upahnya Rp200.000, padahal onderdil motor bisa cepat aus. Tapi yang penting buat mereka adalah bisa bekerja," kata Apung.

Pasca memanasnya sengketa perbatasan di Kalbar-Serawak dua tahu silam,  selain infrastruktur yang dibenahi, Camar Bulan juga kedatangan 14 anggota TNI. Mereka adalah prajurit Kodam IV Diponegoro. Mereka dikirim khusus ke tempat ini sebagai pasukan lintas batas (libas).  "Sudah empat bulan saya bertugas di sini, sisa dua bulan lagi saya balik ke Yogyakarta," ujar Winarno.

Bagi dia, ditempatkan di sempadan Indonesia-Malaysia adalah hal biasa. Sebagai prajurit TNI, dia siap menerima perintah atasan. Termasuk ketika namanya masuk dalam daftar yang dikirim ke Camar Bulan. "Sebenarnya asyik juga bertugas di sini," kata Winarno. (*)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Kenal Garis Batas, Mi Instan Papua Ditukar Cokelat PNG


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler