jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan nilai kebangsaan yang dimiliki masyarakat harus menjadi pegangan untuk menuju Indonesia emas.
Karena itu, dia menyarankan penanaman nilai-nilai tersebut harus konsisten lewat proses pendidikan yang memanusiakan manusia.
BACA JUGA: Puluhan Guru dan Siswa Positif Covid-19, Mbak Rerie Dorong Perketat Pengawasan PTM
"Indonesia memiliki empat konsensus kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tinggal Ika, dan NKRI yang menjadi landasan anak bangsa untuk bersatu menghadapi masuknya ideologi dari luar," ungkap Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Peran Nilai dan Revolusi Mental menuju Indonesia 2045 yang digelar Forum Diskusi Denpasar, Bali, Rabu (2/2).
Diskusi yang dipandu Luthfi Assyaukanie itu, menghadirkan Prof. Muhadjir Effendy, M.A.P (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI), Alissa Wahid (Aktivis Kemanusiaan), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia) dan Prof. Fransisco Budi Hardiman (Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Pelita Harapan/UPH).
BACA JUGA: Lestari Moerdijat: Pelaku Kekerasan Seksual Harus Ditindak Tegas
Hadir pula Henny Supolo Sitepu (Yayasan Cahaya Guru) dan Ahmad Baedowi (Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa).
Menurut dia, pemahaman terhadap nilai yang berlaku di masyarakat saat ini diharapkan bisa menjadi bahan untuk berbenah dalam mewujudkan bangsa berkarakter kuat.
BACA JUGA: Rerie: Anak Muda Kompeten Bersiap Masuk ke Lembaga Legislatif
"Tantangan yang kita hadapi saat ini bagaimana nilai kebangsaan ini ditanamkan lewat proses pendidikan," ujarnya.
Rerie-panggilan akrabnya- menilai berbagai macam forum bisa dikembangkan untuk mengkaji nilai-nilai tersebut.
Dia berharap, bangsa harus mampu menghasilkan generasi yang siap menghadapi tantangan dan mencapai cita-cita bangsa.
Seluruh anak bangsa, tambahnya, harus bersama-sama dan berperan aktif untuk mewujudkan cita-citanya.
Aktivis Kemanusiaan, Alissa Wahid mengungkapkan, dirinya bersama Nenilai (Gerakan kerja sama para pakar dan penanggulangan kemiskinan, Bappenas dan DayaLima Abisatya untuk memajukan Indonesia) melakukan inisiatif mensurvei online dengan 50 ribu responden di tanah air yang dilakukan pada Juli-Desember 2020.
Survei Nenilai itu, ungkap Alissa, ditujukan untuk assesment nilai apa saja yang ada di masyarakat Indonesia terkait nilai-nilai pribadi, nilai yang berlaku di masyarakat, dan nilai yang diharapkan.
Hasil survei tersebut, tambah Alissa, mengungkapkan bahwa bertanggungjawab, adil, dapat dipercaya, hidup sederhana, menghormati orang tua, dan kejujuran menjadi nilai-nilai pribadi para responden.
Namun, ujarnya, nilai yang berlaku di masyarakat menurut responden antara lain birokratis, aturan berbelit-belit, dan korupsi.
Menurut Alissa, antara nilai pribadi dan nilai yang ada di masyarakat sangat bertolak belakang, sehingga terjadi entropi budaya di Indonesia dengan nilai 42%, yang berpotensi menghambat proses pembangunan anak bangsa.
Alissa berpendapat, bangsa Indonesia harus segera melakukan transformasi sosial untuk mewujudkan nilai-nilai yang diharapkan bangsa ini.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Filsafat UPH, Fransisco Budi Hardiman berpendapat apa yang terjadi pada abad ke-20 merupakan prestasi besar dari liberalisme dan kapitalisme yang mampu mengglobalkan nilai-nilai tersebut di masyarakat.
Dia mengatakan Indonesia saat ini sedang sakit.
Sebab, banyak mengalami gesekan-gesekan di tiga sektor, yaitu sektor agama dan religi, hukum dan politik, serta komunikasi dan digital.
"Kebebasan berkomunikasi tanpa dibarengi rasa tanggung jawab dan keadaban publik berpotensi memecah belah bangsa," ungkap Fransisco.
Dalam mengatasi dampak sejumlah gesekan tersebut, menurut dia, perlu penguatan sistem dan peran ideologi Pancasila lewat dialog restoratif.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Komaruddin Hidayat berpendapat nilai-nilai sangat dipengaruhi oleh domain masyarakat, negara, government, dan lembaga demokrasi.
Indonesia, menurut dia, memiliki aset nilai luhur yang kaya.
Namun, ujarnya, masyarakat Indonesia ketika berbicara kebhinekaan tetap masih berada pada posisinya masing-masing sesuai suku, etnis, dan agama mereka.
Sementara, tambah Komaruddin, partai politik negeri ini masih sangat tergantung pada kekuatan uang.
"Betulkah lembaga-lembaga politik masih commited terhadap nilai-nilai untuk mewakili rakyat? Sementara untuk menjadi wakil rakyat para politisi membeli suara rakyat," ujarnya. (mrk/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mbak Rerie Bicara Cara Menghindari Ancaman Gelombang Ketiga Covid-19
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian