jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat minta pemerintah memperbaiki koordinasi antarkementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah, untuk menghilangkan hambatan birokrasi dalam setiap kebijakan.
Hambatan koordinasi itu semakin tampak pada penanganan wabah Covid-19 di tanah air.
BACA JUGA: Saran Mbak Rerie untuk Pemerintah soal Potensi Gelombang Besar TKI Mudik
"Koordinasi saya lihat memang titik lemah birokrasi kita. Upaya untuk memperbaikinya harus dimulai dari pimpinan negara, daerah sampai pimpinan kementerian dan lembaga harus punya leadership yang kuat dan efektif menerapkan koordinasi," jelas Lestari yang akrab disapa Rerie dalam keterangannya, Senin (11/5).
Menurut Rerie, masalah koordinasi dalam birokrasi sudah disadari sejak rezim Orde Baru.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Klaster Freeport Dimulai, Pemprov DKI Ingkar Janji? Telur Infertil
Ketika itu ada empat konsep yang akan diterapkan dalam birokrasi Indonesia yaitu koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi.
Tetapi hingga Orba bubar konsep itu tak terlaksana. Hingga saat ini, jelasnya, koordinasi tetap menjadi masalah kronis di tubuh birokrasi dalam negeri.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Rakyat Sedang Bingung, Ruhut di Antara Sri Mulyani vs Anies Baswedan
Menurut Rerie, koordinasi yang baik dalam tubuh birokrasi sangat diperlukan.
Apalagi, tambahnya, di tahun ini dan tahun-tahun mendatang kondisi yang dihadapi Indonesia dan negara lain di dunia penuh ketidakpastian sebagai dampak pandemi Covid-19.
"Banyaknya tantangan yang dihadapi tentunya membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, sehingga kita membutuhkan koordinasi yang kuat dalam birokrasi agar mampu mengatasi persoalan yang ada," jelasnya.
Kegagapan pemerintah pada awal wabah Covid-19 masuk ke Indonesia, tambah Rerie, seharusnya menjadi pelajaran bersama bagi setiap birokrasi di pemerintahan untuk segera diperbaiki.
Menurut Legislator Partai NasDem itu, di tengah ketidakpastian dampak pandemi Covid-19 tidak ada waktu lagi bagi pemerintah dan masyarakat untuk berdebat soal makna dari sebuah kata.
Rerie menegaskan tidak boleh ada lagi pemimpin yang mengeluarkan pernyataan multitafsir dan menimbulkan kegaduhan.
"Efek pandemi Covid-19 ini multidimensi, mulai dari sektor ekonomi, sosial bahkan budaya, jadi perlu penanganan yang komperhensif dan harus segera. Jangan malah kita gaduh meluruskan pernyataan para pejabat," jelas Rerie.
Soal penanganan wabah Covid-19, Rerie mendorong agar pemerintah segera melakukan tes yang masif dalam jumlah yang memadai, sehingga penanganan wabah Covid-19 bisa lebih efektif.
Tes masif dalam bentuk pengujian spesimen PCR yang dilakukan oleh laboratorim medis Indonesia, diakui Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas yang disiarkan secara langsung di YouTube Setpres, Senin (11/5), mencapai 4 ribu sampai 5 ribu sampel per hari.
Angka itu masih jauh dari target yakni 10 ribu spesimen per hari.
Sementara itu, Worldometer mencatat per Senin (11/5) rasio tes berdasarkan jumlah tes per satu juta penduduk Indonesia adalah 579.
Angka itu masih di bawah Namibia yang melakukan 607 tes per satu juta penduduk.
Di Asia, rasio tes di Indonesia masih jauh di bawah India yang mampu melakukan 1.213 test per satu juta penduduknya.
Bahkan di Asia Tenggara, rasio tes Filipina jauh lebih baik yaitu 1.489 tes per satu juta penduduk.
Rendahnya realisasi tes, menurut Jokowi, disebabkan belum optimalnya fungsi laboratorium yang dimiliki pemerintah.
Dari 104 jaringan laboratorium rujukan, hanya 53 laboratorium yang beroperasi optimal. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kekurangan tenaga laboratorium.
Kendala tersebut, menurut Rerie, harus segera diatasi dengan langkah kolaborasi dan koordinasi sejumlah institusi yang memiliki tenaga laboratorium, agar bisa diperbantukan untuk menguji sampel dalam test masif Covid-19.
"Tentu saja harus ada penyesuaian di sana-sini agar para tenaga laboratorium yang diperbantukan bisa memproses sampel dalam test masif itu. Perlu koordinasi yang baik untuk merealisasikannya," tegasnya. (jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi