jpnn.com, JAKARTA - Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung Presiden Soeharto yang akrab dipanggil Mbak Tutut, mengatakan perbedaan justru memperkaya Indonesia kalau kita bisa menyadarinya dengan sebaik-baiknya.
“Kita ingin mengembalikan Indonesia yang makmur, menjadi bangsa yang rukun, gotong royong, dan saling bantu berjuang meski ada perbedaan,” kata bak Tutut saat mengukuhkan Gerakan Bakti Cendana di Hotel Desa Wisata, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Rabu (20/3).
BACA JUGA: Milasari: Mulailah Membangun Ekosistem Ekonomi Kerakyatan
BACA JUGA: Titiek Soeharto: Pendidikan, Kunci Menuju Kemandirian Bangsa
“Indonesia yang kita inginkan adalah bangsa yang bersatu dan tidak saling cakar,” kata Mbak Tutut.
BACA JUGA: Tommy Soeharto: Kita Harus Jadi Tuan di Negeri Sendiri
Berbicara selama setengah jam, yang diselingi dialog dengan organisasi Gerakan Bakti Cendana, Mbak Tutut – sesuai ajaran agama Islam – perbedaan adalah rahmat. Jadi, katanya, tidak perlu saling menjelek-jelekkan, dan melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk rakyat Indonesia.
“Apa yang bisa kita lakukan, lakukanlah. Mulailah dari yang kecil,” ujar Mbak Tutut.
BACA JUGA: Debat Cawapres, Rahmat: Adu Kecerdasan dan Argumen, Santun Beretika
Seisi Aula Hotel Desa Wisata terdiam, menyimak setiap kalimat yang disampaikan Mbak Tutut dengan suara lembut. Terlebih saat Mbak Tutut mengatakan memulai dari yang kecil untuk membangun bangsa adalah anjuran Ibu Tien Soeharto, ibudan tercinta.
“Ibu Tien mengatakan perbuatan kecil tapi menjadi bagian pembangunan bangsa itu lebih utama, daripada membangun sesuatu yang besar tapi menimbulkan masalah,” kata Mbak Tutut.
Kepada kader Partai Berkarya, partai yang dinahkodai Tommy Soeharto, Mbak Tutut juga berpesan untuk tidak menyusahkan bangsa. Setiap kader Partai Berkarya harus menunjukan program yang dimiliki untuk membantu negeri.
Mbak Tutut tidak hanya mengingat pesan Ibu Tien, tapi masih belum lupa nasehat almarhum presiden Soeharto – sang ayah tercinta. Salah satunya, berikan apa pun untuk bangsa, meski mungkin hanya sebungkus nasi atau uang Rp 10 ribu.
“Jika tidak ada sama sekali untuk diberikan, berilah senyum,” kata Mbak Tutut. “Makanya, bapak (presiden Soeharto – red) selalu tersenyum, dan dikenang dengan julukan smiling general.”
Nasehat lain Pak Harto kepada anak-anaknya, kata Mbak Tutut, adalah tidak boleh dendam. Sebab, dendam tidak menyelesaikan masalah, tapi membuat masalah baru.
Mbak Tutut juga bercerita jelang Pak Harto mengambil keputusan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia. Cerita dimulai ketika Pak Harto memanggil seluruh anaknya, dan menyampaikan keinginan mengundurkan diri.
“Bagaimana menurut kalian? Masyarakat sudah ramai meminta bapak berhenti,” Mbak Tutut menirukan kata-kata sang ayah. “Saya jawab, apa pun keputusan bapak kami tetap mendukung bapak berhenti karena sudah tidak dikehendaki rakyat,” lanjut Mbak Tutut.
Yang juga tidak bisa dilupakan Mbak Tutut adalah ketika Pak Harto memintanya mencarikan buku UUD 45. Saat itu, masih menurut Mbak Tutut, Pak Harto mengatakan; “Bapak mau berhenti jadi presiden tapi saya mau memakai kata yang sesuai UUD 45. Bapak tidak mau mengatakan mengundurkan diri, tapi berhenti dari presiden.”
“Saya katakan kepada bapak, kan berhenti dan mengundurkan diri sama,” cerita Mbak Tutut.
“Bapak mengatakan tidak. Mengundurkan diri artinya sebagai mandataris rakyat, bapak mundur karena tidak mampu melaksanakan tugas. Berhenti artinya bapak, sebagai mandataris rakyat, disuruh berhenti karena tidak dipercaya lagi. Bukan karena kemauan bapak, tapi kaena kehendak masyarakat.”
Jadi, demikian Mbak Tutut, apa yang Pak Harto lakukan selalu berdasarkan UUD 45. Pak Harto tidak pernah melanggar undang-undang.
“Malam hari, bapak memanggil kami berenam dan menyampaikan keputusan berhenti, Adik saya mengatakan jangan dulu berhenti, beri kami kesempatan membuktikan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia mencintai bapak,” kata Mbak Tutut, dengan suara tersendat menahan tangis.
Respons Pak Harto saat itu, lanjut Mbak Tutut, adalah; “Sabar. Kalian tidak boleh dendam. Dendam tidak menyelesaikan masalah, tapi membuat masalah lebih besar.” Tidak hanya sekali Pak Harto mengingatkan anak-anaknya untuk tidak dendam, tapi setiap hari.
Tidak jarang pula Pak Harto menambah nasehatnya dengan Gusti Allah ora sare (tidak tidur). Suatu saat rakyat akan tahu mana yang salah dan benar.
Menurut Mbak Tutut, dari hari ke hari nasehat itu menyadarkan dia dan adik-adiknya bahwa keputusan Pak Haro mengundurkan diri adalah yang terbaik untuk bapak dan keluarga.
“Setelah belajar Alquran, saya akhirnya tahu semua nasehat bapak adalah ajaran Allah SWT. Pak Harto selalu bersandar kepada Allah SWT,” Mbak Tutut mengakhiri, dan semua yang hadir terharu. Ada yang menitikkan air mata.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Priyo Eks Golkar Sebut Sandi Unggul 4-1 di Debat Lawan Kiai Maruf
Redaktur : Tim Redaksi