Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga memuat banyak aspek soal kehidupan keluarga Indonesia. Yang paling menjadi sorotan adalah adanya pasal soal penyimpangan seksual.
RUU Ketahanan Keluarga berisi aturan soal bantuan yang dapat diberikan kepada keluarga bila mengalami masalah keuangan, pembagian kerja dan tugas suami istri, perceraian, penyakit parah, hingga kematian.
BACA JUGA: Dukung Sertifikasi Halal di Omnibus Law, DPR Ingin Sistem Ringkas
Namun pemerintah turun tangan juga soal penyimpangan seksual, seperti yang diungkap dalam pasal 85.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa "penyimpangan sosial" adalah dorongan atau kepuasan seksual yang ditunjukkan "tidak lazim atau dengan cara tidak wajar".
BACA JUGA: Fraksi Gerindra Bakal Interogasi Anggotanya yang Usulkan RUU Ketahanan Keluarga
Sadisme, masokisme, homoseks dan lesbian serta 'incest' adalah lima praktek yang masuk ke dalam kategori penyimpangan sosial.
Jika ada anggota keluarga yang melakukan satu diantaranya, maka keluarga harus melaporkan pelaku hingga dapat ditangani oleh kepala badan ketahanan keluarga atau dikirim ke pusat rehabilitasi untuk dirawat.
BACA JUGA: WNI Kru Kapal Pesiar Diamond Princess Kecewa Jika Evakuasi Lewat Jalur Laut
Tapi, kekerasan dalam rumah tangga tidak dimaknai sebagai potensi yang mengancam keluarga.
"Penyimpangan menurut siapa? Siapa otoritas yang dirujuk ketika berbicara menyimpang atau tidak?" kata Musatghfiroh Rahayu, aktivis Nahdlatul Ulama.
"Ini sangat problematis, yang pada akhirnya, sasarannya adalah kelompok minoritas seksual," katanya kepada Hellena Souisa dari ABC. Menolak disebut RUU bermasalah
Walau belum tentu disahkan, RUU tersebut awalnya didukung oleh beberapa partai, seperti Gerindra, Golkar, Partai Amanat Nasional , serta Partai Keadilan Sejahtera.
Ledia Hanifa Amaliah, anggota PKS yang mengusung draf tersebut menilai perilaku penyimpangan seksual telah berdampak terhadap terikikisnya nilai Agama dan sosial budaya.
Sementara itu, Ketua DPR RI, Puan Maharani tidak mendukung RUU ini.
"Sepintas saya membaca drafnya merasa ranah privat rumah tangga terlalu dimasuki, terlalu diintervensi," katanya dalam Rapat Pleno MUI di Jakarta (19/2). Photo: Banyak pihak telah menuduh Indonesia menjadi semakin konservatif dalam menjalankan agama. (AP: Dita Alangkara)
Rahayu Saraswati, yang biasa disapa Sara, anggota partai Gerindra punya pendapat sendiri.
"Kita harus melihat RUU ini dari berbagai perspektif yang berbeda," kata dia kepada ABC.
"Hal positif yang bisa diambil dari RUU ini adalah niat baik untuk melakukan sesuatu yang berbeda dan mungkin bisa memberikan solusi."
Namun Sara tidak menampik jika RUU ini disahkan, akan jatuh "korban" dari RUU, yakni mereka yang "dipaksa" menjalani rehabilitasi.
Karenanya, ia meminta anggota DPR untuk memikirkannya dengan lebih baik.
Dalam RUU tersebut, tercatat juga Pegawai Negeri Sipil perempuan dan karyawan perusahaan negara akan diberikan enam bulan cuti melahirkan yang dibayar.
Namun, selama cuti ini, mereka diwajibkan untuk mengurus suami dan anak sebaik mungkin sesuai aturan agama.
Musatghfiroh mengatakan peraturan ini beresiko membebani perempuan dua kali lipat.
"Kewajiban suami dan istri dalam keluarga adalah sesuatu yang bisa dipertukarkan atas kesepakatan anggota keluarga," kata dia.
Anggota Gerindra Rahayu Saraswati mengatakan rancangan tersebut perlu ditinjau ulang, tapi menolak menyebut menyebutnya sebagai RUU yang 'bermasalah'. Partai Golkar tarik dukungan
Sementara itu, fraksi Partai Golkar DPR RI merasa kecolongan karena anggotanya, Endang Maria Astuti, tercatat sebagai salah satu pengusung RUU Ketahanan Keluarga ini.
"Kami dari FPG merasa kecolongan tentang adanya seorang anggota yang mengusung RUU ketahanan keluarga. Kami menarik dukungan terhadap RUU Ketahanan Keluarga ini," kata Ketua Kelompok Fraksi Badan Legislasi dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin.
Nurul mengatakan, sebelum mengusulkan sebuah RUU, seharusnya Endang mempresentasikan terlebih dulu usulannya kepada fraksi.
Terkait beberapa pasal dalam RUU yang dianggap problematik, Nurul mengatakan tidak seharusnya negara mengintervensi urusan domestik seperti cara mengurus dan mengasuh anak.
"Saya melihat RUU ini bertujuan mendidik keluarga secara homogen. Unsur-unsur heterogenitas dinafikkan," kata Nurul. Hak asasi manusia dipertanyakan
Kelompok seksual minoritas menjadi salah satu kelompok yang berpotensi dirugikan oleh RUU ini. Photo: Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kenegaraan di Australia, 10 Februari 2020. (AP: Tracey Nearmy)
Padahal, Joko Widodo dalam pidatonya di Parlemen Australia awal bulan ini mengharapkan Indonesia dan Australia terus memperjuangkan nilai-nilai yang diusung hak asasi manusia, toleransi dan keberagaman.
"Politik identitas adalah jebakan terhadap demokrasi, ancaman bagi kesulitan dan toleransi," katanya.
Namun sejak menjabat sebagai presiden di tahun 2014, banyak organisasi dan pengamat hak asasi yang mempertanyakan komitmen Jokowi untuk melindungi HAM.
Keputusan Joko Widodo dalam memilih Ma'ruf Amin, yang pernah menyatakan bahwa homoseksualitas adalah tindakan kriminal, misalnya, dinilai sebagian kalangan sebagai upaya sinis untuk meredam serangan berbasis agama kepada Jokowi pada Pemilu 2019.
Beberapa tahun belakangan, komunitas LGBT di Indonesia telah mengalami penggrebekan oleh polisi di tempat kerja, rumah dan tempat hiburan.
Homoseksualitas tidak dinyatakan ilegal di Indonesia, namun orang-orang dengan orientasi seksual tersebut sering mengalami pelecehan oleh pihak berwenang. Photo: Protes anti-LGBT di Banda Aceh. (ABC News: Adam Harvey)
Tahun lalu, anggota senior dalam kabinet Presiden Jokowi membela keputusan Jaksa Agung untuk menerbitkan lowongan kerja yang tidak menerima kandidat LGBT.
Menurut laporan Human Rights Watch yang terbit bulan lalu, angka HIV dari pria yang berhubungan seks dengan pria meningkat lima kali lipat dari 5 persen menjadi 25 persen.
Data ini kemudian menjadi acuan kelompok anti-LGBT di Indonesia untuk melakukan diskriminasi.
"Indonesia adalah salah satu negara Asia Tenggara yang mengalami kemajuan, namun kondisi hak asasi manusianya malah menurun," kata Brad Adams, direktur Asia di Human Rights Watch.
"Aturan baru yang bermasalah nyaris disahkan, aturan lama yang sifatnya 'abusive' atau kejam terus berlaku, dan kaum minoritas tidak mendapatkan perlindungan hukum."
BACA ARTIKEL LAINNYA... General Motors Hengkang dari Australia dan New Zealand