"Saya melihatnya bukan masalah data dan sebagainya. Tapi, saya pertanyakan kewenangan yang bisa memberikan hal itu sebetulnya siapa ya? Kewenangannya itu ada di mana ya? Karena itu, sangat berbau politisasi," kata Mega setelah berpidato dalam acara Pemantapan Tiga Pilar Partai Se-Provinsi Jawa Tengah di Semarang, Senin (1/10).
Mega balik menuding kentalnya kesan tebang pilih dalam penegakan hukum kasus korupsi. Dia mengingatkan bahwa ranah hukum berbeda dengan politik. Dalam ranah hukum, unsur bukti yang harus dikedepankan.
"Sampai seorang (Seskab, Red) yang urgensinya tidak seharusnya memberikan keterangan seperti itu (merilis data, Red). Padahal, ada yang bisa lebih memberikannya," ujar presiden kelima RI itu.
Saat berpidato di hadapan ribuan kader, Mega mengkritik keras penegakan hukum yang hanya "berani" terhadap kasus korupsi kecil yang nilainya beberapa miliar. Sebaliknya, terhadap kasus korupsi yang bernilai triliunan, prosesnya terkesan mandek.
"Paling yang M-M-an" (miliar, Red). Tapi, kasus yang besar sampai saat ini belum masuk ke pengadilan. Seperti Bank Century, kasus Hambalang," kata Megawati.
Dengan nada bercanda, Megawati mengatakan, di tengah kencangnya tebang pilih pemberantasan korupsi, para kepala daerah yang berniat korupsi lebih baik tidak tanggung-tanggung.
"Bupati, wali kota, mbok ya kalau korupsi itu triliunan. Tapi, mana ada di APBD triliunan ya?" seloroh Megawati, lantas tersenyum.
Sebelumnya, Dipo merilis 176 izin pemeriksaan untuk kepala daerah yang dikelurkan Presiden SBY dalam rentang waktu Oktober 2004 hingga September 2012. Dari jumlah itu, 74,43 persen di antaranya terkait dengan kasus korupsi. Pejabat berlatar belakang parpol mendominasi dengan jumlah 92 persen. Lima yang terbanyak adalah Golkar (64 orang atau 36,36 persen), PDIP (32 orang atau 18,18 persen), Partai Demokrat (20 orang atau 11,36 persen), PPP (17 orang atau 3,97 persen), dan PKB (9 orang atau 5,11 persen). (pri/bay/fal/c2)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tidak Kompak, BPJS Terancam Gagal
Redaktur : Tim Redaksi