Mega Kecewa kepada Jaksa Agung dan Kapolri

Tak Hadir Diundang Seminar PDIP

Sabtu, 11 Februari 2012 – 07:21 WIB

JAKARTA - Megawati Soekarnoputri kini benar-benar merasakan perbedaan suasana saat menjadi presiden dan setelah lengser seperti saat ini. Saat dirinya menjabat RI-1, seluruh pejabat tinggi pasti hadir bila diundang.  Kini Mega harus gigit jari saat mengundang Kapolri Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief.

Dua petinggi institusi hukum itu diundang dalam acara diskusi korupsi yang diselenggarakan PDIP. Jaksa agung dan Kapolri secara mendadak membatalkan kehadirannya dalam seminar politik hukum yang diadakan PDIP kemarin tersebut.

Secara halus, Megawati, ketua umum PDIP itu, mencurigai adanya nuansa politis intervensi penguasa di balik ketidakhadiran dua petinggi negara tersebut. "Jangan-jangan, versi Orba akan terulang. Sebetulnya kenapa ya? Aneh kan ya?" kata Megawati dalam pidato pembukaan di Hotel Sultan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, kemarin (10/2).

Seminar bertema Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Bebas Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat itu diselenggarakan Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan DPP PDIP. Para kepala daerah, pimpinan DPD PDIP, serta pimpinan DPRD provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia dari PDIP hadir dalam acara itu.

Secara khusus, Megawati menyindir Kapolri. Dia mengingatkan bahwa partainya juga termasuk yang mendukung Timur saat menjalani fit and proper test di DPR. "Padahal, yang milih juga kita lho. Jangan lupa lho, Pak (Timur Pradopo)," ujarnya.

Dia menyampaikan, PDIP memang mengambil posisi di luar kekuasaan. Tapi, itu bukan alasan bagi mereka untuk "menjauhi" PDIP. "Mudah-mudahan kedua beliau bisa mengerti. PDIP itu bukan lawan. PDIP juga warga negara Indonesia. Tentu, secara mekanisme tata pengelolaan pemerintahan, ya sah-sah saja kalau kita tidak berada di dalam lingkungan pemerintahan itu," kata presiden kelima RI tersebut.

Mega melanjutkan, jaksa agung dan Kapolri diundang sebagai narasumber supaya bisa memberikan masukan kepada PDIP. Misalnya, dalam persoalan gratifikasi. Dia menceritakan, sewaktu dirinya kecil, Presiden Soekarno yang tak lain adalah ayahnya sering menerima rakyat di Istana Presiden.

"Mereka memberi ayah saya (Soekarno) buah-buahan. Dulu belum ada parsel. Ada yang bawa ayam dan padi. Ketika ditanya ayah saya, rakyat itu bilang kami merasa senang Bapak mengayomi kami. Apakah itu bersifat gratifikasi?" ujar Megawati.

Dia membandingkan dengan konsep gratifikasi pada masa sekarang yang sangat ekstrem. Seorang pejabat, misalnya, dilarang menerima parsel Lebaran. Efek ekonominya cukup signifikan. Banyak tukang parsel yang mengeluh. "Alasannya, itu bagian dari proses untuk korupsi. Masya Allah, mengapa tidak diomongin bagaimana bank supaya tidak dibobol?" ujarnya.

"Karena itu, kami ingin tahu dari mulut Kapolri dan mulut jaksa agung, ini lho yang tidak boleh dilakukan kalian," tegasnya. Mega lantas meminta para kadernya yang kini duduk di legislatif dan eksekutif daerah menjauhkan diri dari godaan korupsi. Menurut dia, korupsi akan menghancurkan diri sendiri, keluarga, rasa persaudaraan, kekeluargaan, dan jiwa gotong royong.

"Manusia kok senang coba-coba ya. Dilanggar saja deh sedikit-sedikit. Satu perak, eh nggak kelihatan. Rp 100 juta belum kelihatan. Rp 1 miliar belum kelihatan. Rp 1 triliun belum kelihatan. Kebanyakan begitu," ujarnya.

Ketua DPP PDIP Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Trimedya Panjaitan mengungkapkan, Kapolri menyampaikan pembatalannya pada Selasa lalu. Alasannya, dia harus ikut mendampingi presiden dalam puncak peringatan Hari Pers di Jambi (9/2). Jaksa agung baru memberi tahu berhalangan hadir pukul 07.30 karena diminta menjemput presiden di Bandara Halim.

"Aneh juga, apa biasa jaksa agung ikut menjemput presiden? Apa tidak mendapat izin dari presiden untuk bicara di forum PDIP?" ujar anggota Komisi III DPR tersebut.

Sebagai gantinya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto dan Kabareskrim Mabes Polri Komjen (Pol) Sutarman berbicara dalam acara PDIP tersebut. "Kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas ketidakhadiran jaksa agung. Sebab, tadi pagi secara mendadak ada acara yang, rupanya, tidak bisa ditinggalkan," kata Andhi.

Dalam paparannya, dia menegaskan, perasaan kepala daerah dan anggota DPR atau DPRD dari kalangan oposisi menjadi target politik itu tidak benar. "Selama di Kejaksaan Agung, yang dikenal itu target 531. Kalau target politik agak- agak... (jauh)," katanya sambil menggelengkan kepala.

Target 531 yang diperkenalkan saat Jaksa Agung Hendarman Supandji itu adalah kewajiban untuk menangani perkara tindak pidana korupsi. Artinya, 5 perkara dalam setahun bagi kejaksaan tinggi, 3 perkara bagi kejaksaan negeri, dan 1 perkara bagi cabang kejaksaan negeri. "Intinya, penegakan hukum bicara alat bukti. Kalau ada alat bukti, kita tidak boleh tebang pilih," tegas Andhi.

Kabareskrim Sutarman bahkan sampai mengumumkan nomor handphone-nya kepada peserta seminar. Bila ada penyidik yang memeras para pejabat daerah dalam proses lelang atau tender dengan isu korupsi, dia meminta dihubungi langsung.

"Kalau didatangi, dimintai duit, tolong telepon saya. Nomornya 081-1371xxx. Ini sudah saya umumkan tiga kali. Jarum jatuh di ujung sana, asal anggota saya, saya pasti tahu," tegasnya. Sutarman juga memastikan bahwa penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi yang ditangani Polri lepas dari intervensi pihak mana pun. (pri/kuh/c5)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Setahun, Dana Rapat Gubernur Rp238,58 M


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler