Mega Mengelus Dada

Sabtu, 19 Maret 2022 – 17:01 WIB
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Foto: Dokumentasi JPNN.com/Ricardo

jpnn.com - Megawati Soekarnoputri mengaku mengelus dada melihat ibu-ibu antre berdesak-desakan dan berebutan -sampai ada yang meninggal- untuk mendapatkan minyak goreng murah.

Presiden Kelima RI itu merasa heran dengan ibu-ibu yang berebutan minyak goreng, padahal seharusnya bisa lebih kreatif dalam memasak tanpa harus menggoreng dengan minyak.

BACA JUGA: Chairul Tanjung Serahkan Penghargaan Lifetime Achievement kepada Megawati

Mengelus dada itu tanda prihatin. Namun, keprihatinan Megawati bukan pada kelangkaan minyak goreng, melainkan prihatin terhadap ibu-ibu yang memaksa antre membeli minyak goreng.

Mega tidak mengelus dada melihat pemerintahan Jokowi yang gagal mengatasi krisis minyak goreng yang sudah berbulan-bulan.

BACA JUGA: Jokowi Cabut Subsidi Minyak Goreng Kemasan karena Peduli dengan Rakyat & Industri

Ketua umum PDI Perjuangan tidak mengelus dada soal Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang sudah berbulan-bulan tidak bisa mengatasi lonjakan harga minyak goreng.

Setiap hari Lutfi setiap hari muncul di televisi, berkeliling ke pasar tradisional, berdialog dengan pedagang, lalu membuat pernyataan pasokan minyak goreng aman dan harganya terkendali. Tiap hari Lutfi berbicara seperti itu, tetapi tiap hari pula minyak goreng makin sulit didapat.

BACA JUGA: Arief Poyuono: Kasihan Pak Joko Widodo Punya Mendag Lutfi

Mega tidak mengelus dada melihat kenyataan bahwa Indonesia adalah penghasil kelapa sawit terbesar, tetapi harga komoditas itu di dalam negeri melonjak karena mengikuti harga di pasar internasional. Rakyat tidak paham mekanisme perdagangan internasional yang menjelimet.

Rakyat hanya ingin agar minyak goreng ada di pasar dengan harga normal. Rakyat hanya tahu bahwa Indonesia adalah pusat perkebunan kelapa sawit dunia dan harusnya minyak goreng melimpah dan tidak pernah ada kelangkaan.

Waktu masih sekolah di SD, ibu-ibu itu pernah diajari peribahasa "ayam mati kelaparan di lumbung padi". Sekarang ibu-ibu itu tahu dan merasakan arti ungkapan itu.

Mega tidak perlu mengajari rakyat untuk hidup prihatin, karena setiap hari rakyat sudah hidup prihatin. Rakyat Indonesia sudah sangat tangguh dalam menghadapi segala macam penderitaan.

Harga-harga naik, tetapi rakyat sudah biasa menghadapinya dengan tabah dan prihatin. Jadi, tidak perlu lagi ada yang mengajari rakyat untuk prihatin.

Mega seharusnya mengelus dada karena Jokowi tidak hadir dalam krisis kelangkaan minyak goreng ini. Alih-alih mengurusi minyak goreng, Jokowi malah sibuk berkemah serta mengumpulkan air dan tanah keramat dari mana-mana.

Seharusnya Jokowi sesekali menginap di rumah rakyat supaya tahu bagaimana kesulitan masyarakat menghadapi krisis ini. Dahulu Jokowi sering mengatakan negara harus hadir di tengah rakyat.

Akan tetapi, sekarang ketika rakyat membutuhkan kehadiran negara ternyata negara malah absen dan menghilang. Anak-anak milenial menyebut fenomena ini sebagai ghosting, menghilang tanpa pesan.

Dahulu Jokowi sering mengutip frasa revolusi mental. Sekarang frasa itu tidak pernah lagi disebut-sebut. Revolusi mental sudah terpental.

Jokowi pernah menyerukan TNI-Polri supaya menjaga disiplin. Sekarang Jokowi tahu rakyat sudah sangat disiplin, terutama ketika antre minyak goreng.

Krisis minyak goreng ini sangat memukul wong cilik. PDIP yang mengeklaim sebagai partai wong cilik seharusnya bekerja keras mengamankan kebutuhan wong cilik.

Mega sebagai ketua partai wong cilik harusnya menunjukkan simpati kepada rakyat. Namun, alih-alih bersimpati, Mega malah ngelus dada. 

Minyak goreng menghilang Mega malah menyalahkan rakyat. Mungkin karena PDIP sudah terbiasa menghadapi kasus kehilangan, jadinya tenang-tenang saja.

PDIP, misalnya, sudah lama kehilangan Harun Masiku, en toch, tetap tenang-tenang saja.

Mega seharusnya bangga, rakyatnya militan dan tangguh dalam menghadapi tantangan. Tanpa memedulikan hujan dan angin, rakyat tetap bersemangat tinggi untuk mendapatkan minyak goreng.

Mega seharusnya bangga karena rakyat sekarang sudah lebih disiplin. Buktinya, tiap hari mereka mempraktikkan antre dengan tertib sampai mengular puluhan meter.

Mega juga bisa bernostalgia melihat antrean panjang itu, karena adegan seperti itu sudah lama tidak pernah terjadi. Dahulu, waktu Mega masih kecil saat bapaknya menjadi presiden, antrean panjang terjadi di mana-mana.

Antre menjadi pemandangan yang biasa. Namun, setelah itu tidak pernah lagi ada antrean. Jadi, sekarang Mega bisa bernostalgia mengenang antrean yang dahulu sering terjadi di masa Orde Lama.

Antre adalah budaya masyarakat modern yang menghargai ketertiban. Di negara-negara modern, orang-orang selalu tertib mengantre menunggu guiliran. Di bank antre, di loket bioskop antre, di bandara antre.

Nah, ibu-ibu Indonesia tidak pernah pernah antre di bank, di bioskop, atau di bandara, tetapi mereka sudah belajar antre minyak goreng.

Para pembalap MotoGP yang hari-hari ini bersiap-siap untuk balapan di Mandalika pasti terkagum-kagum melihat kedisiplinan ibu-ibu Indonesia dalam mengantre. Pantas saja Indonesia bisa membangun sirkuit kelas dunia, lha wong penduduknya begitu disiplin dan bermental baja.

Para kepala negara G-20 yang tahun ini bakal berkonferensi di Bali pasti gumun melihat tingginya budaya antre ibu-ibu Indonesia. Para pemimpin negara-negara maju itu makin yakin akan keberhasilan Jokowi dalam memimpin Indonesia.

Para pemimpin dunia itu akan mengakui dalam hati bahwa Indonesia memang layak menjadi presiden G-20. Meskipun kepresidenan G-20 hanya berlaku satu tahun dan satu periode, Jokowi layak diberi tambahan satu periode atau dua periode lagi, supaya jangkap tiga periode.

Mungkin nanti Luhut Panjaitan akan menyiapkan big data untuk dipresentasikan di depan konferensi para pemimpin G-20. Mungkin Luhut akan bilang bahwa ada big data yang menyatakan bahwa 120 juta orang menghendaki Jokowi menjadi presiden G-20 lagi.

Oleh karena itu, aturan G-20 harus diubah supaya bisa mengakomodasi aspirasi 120 juta orang yang menghendaki Jokowi tambah periode kepresidenan di G-20.

Dalam budaya politik demokrasi yang sudah maju, kelangkaan minyak goreng seperti ini akan membuat menteri perdagangan mengundurkan diri. Akan tetapi, itu budaya Barat, bukan budaya Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Krisis semacam itu bisa membuat sebuah kabinet pemerintahan jatuh. Di Jepang, seorang menteri bisa melakukan bunuh diri, harakiri, karena gagal menjalankan tugasnya.

Dalam tradisi Barat ada ‘guilt culture’ atau budaya rasa bersalah. Orang akan merasa bersalah ketika gagal atau melakukan kesalahan. Kosekuensinya, dia mundur dari jabatannya.

Tradisi Jepang mengenal ’shame culture’ atau budaya malu. Orang akan malu kalau gagal atau melakukan kesalahan.

Konsekuensinya, ia akan mundur kalau melakukan kesalahan yang memalukan. Dalam banyak kasus. ia akan bunuh diri untuk menebus rasa malu.

Tradisi Indonesia tidak mengenal guilt culture maupun shame culture. Tradisi Indonesia tidak kenal budaya bersalah maupun budaya malu.

Menteri Merdagangan Muhammad Lutfi meminta maaf karena krisis minyak goreng ini. Dia berjanji akan membongkar kasus penimbunan minyak goreng dan melaporkannya kepada polisi.

Publik sudah menduga mereka yang ditangkap paling-paling penimbun kelas coro. Penangkapan itu tidak lebih dari upaya cuci muka dan cuci tangan.

Penangkapan itu hanya mengulik problem di hilir, sementara problem di hulu tidak tersentuh. Tindakan model kosmetik itu lebih mirip pencitraan daripada penindakan yang komprehensif.

Meme di media sosial menyebutkan bahwa kelangkaan minyak goreng makin parah karena diborong dan ditimbun oleh para buzzer untuk menggoreng berita dan menutupi kegagalan pemerintah.

Publik sudah curiga ada kartel penimbun minyak goreng yang dibekingi kekuatam oligarki ekonomi yang berkongkalikong dengan oligarki politik. Para oligarki itu ‘the untouchables’ alias orang-orang yang tidak tersentuh.

Setelah para penimbun ditangkap, apakah krisis minyak goreng bisa dituntaskan? Mudah-mudahan demikian, meskipun tidak banyak orang yang yakin.

Kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengelus dada.(***)

 


Redaktur : Antoni
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler