jpnn.com, JAKARTA - Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri bercerita mengenai ayahnya Soekarno yang pernah diangkat menjadi Presiden seumur hidup melalui MPRS sebelum akhirnya digantikan Soeharto melalui TAP MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967.
Belakangan, wacana amendemen UUD 1945 untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tinggi negara juga mencuat ke publik.
BACA JUGA: Megawati Menangis Bahagia Saat Meresmikan Patung Soekarno di Sleman
Mengenai hal itu, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin belum bisa memastikan apakah PDIP memang menginginkan agar presiden kembali dipilih MPR melalui cara amendemen.
Namun, menurutnya mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sama halnya dengan Orde Baru.
BACA JUGA: Jamu Anies dengan Bakso Sukowati, SBY Kenang Dukungannya untuk Suami Megawati
"Saya tidak tahu cara berpikir PDIP ya atau Megawati apakah ingin kembali ke Pemilihan presiden MPR atau tidak, harus jelas dulu apa yang disampaikan oleh Megawati itu," ucapnya saat dihubungi, Rabu (30/8).
"Karena sejatinya jalan ingin mengembalikan pemilihan presiden ke MPR supaya menjadi lembaga tertinggi lagi itu sama saja mengembalikan pemerintahan ke pemerintahan Orde Baru," sambungnya.
BACA JUGA: Sama dengan Megawati, Pimpinan KPK Ini juga Prihatin dengan Kondisi Korupsi
Menurutnya, PDIP tak ada bedanya dengan Orde Baru bila ingin mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Padahal, kata Ujang, perjuangan PDIP adalah melawan otoritarianisme Orde Baru.
"Kan jadi apa bedanya perjuangan Megawati dengan PDIP melawan tetapi di saat yang sama diduga dianggap punya pikiran untuk mengembalikan MPR kepada lembaga tertinggi negara. Dan ingin pemilihan presiden di MPR itu kan cara berpikir lama, cara berpikir yang ingin mengembalikan bangsa ini kepada Orde Baru yang mestinya bernegara itu garus konsisten saja, jangan seenaknya mengubah-ubah konstitusi," ucapnya.
Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri Megawati bercerita tentang zaman Orde Baru di mana ada penyimpangan sejarah. Hal itu disampaikannya saat hadir pada acara peresmian Patung Bung Karno di Omah Petroek, Sleman, DIY, Rabu (23/8).
"Sejarah dari sini sampai sekarang kalau saya lihat ini permasalahan politik dan geopolitik. Mengapa, ketika zaman Pak Harto, saya dengan segala hormat saya, atau zaman Orde Baru mengapa kita melihat itu bahwa penyimpangan sejarah sebenarnya," kata Megawati.
Megawati menerangkan, beberapa tahun sebelum Soekarno lengser, ayahnya itu telah diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS.
Namun, Bung Karno kemudian dituduh bermitra dengan PKI yang dinyatakan terlarang dan dibubarkan tahun 1966.
"Pada waktu itu Bung Karno sudah diangkat oleh MPR sebagai presiden seumur hidup. Ketika Pak Harto menggantikan keluar lah sebuah tap, ini di Lemhannas, MPR, yang katanya sumbernya dari yang namanya Supersemar yang mengatakan bahwa Bung Karno diturunkan karena melakukan, ada indikasi itu istilahnya bekerja sama sama sebuah sebuah partai PKI yang terlarang," katanya.
Ketum PDIP ini merasa janggal karena ayahnya itu dituding memiliki hubungan dengan kelompok yang dicap terlarang, sementara ia telah dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.
Bung Karno akhirnya digantikan Soeharto melalui TAP MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967.
"Coba mikir tenang-tenang, mikir, saya sampai mikir begini, sampai saya bilang kok bapak saya tidak bisa mikir, kalau benar. Ngapain dia mesti Bung Karno kerja sama sama sesuatu yang terlarang karena itu ada perintah Supersemar. Padahal dia sudah seumur hidup. Tolong pikirkan artinya dia ngapain sudah enak dia presiden seumur hidup," jelasnya.
Megawati pun melanjutkan, Bung Karno sering dibilang proklamator dan bapak bangsa. Namun ketika dilengserkan kenapa diperlakukan tak baik.
"Setelah besar kan lho kok melalui manipulasi ketatanegaraan Indonesia. Bapak saya kok dibilang begitu. Padahal beliau dibilang proklamator. Bapak bangsa," katanya
Sebelumnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, idealnya MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara.
Hal ini disampaikan pria yang akrab disapa Bamsoet dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Menurut dia, usulan ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri.
"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," kata Bamsoet.
Dia menegaskan, hal ini perlu ada lembaga yang bisa mengambil keputusan, jika Pemilu serentak mengalami suatu masalah atau bencana. Diketahui, baik Pileg maupun Pilpres kini dilakukan secara serentak, yang dimulai pada 2024.
"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alamyang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi?" ungkap Bamsoet. (dil/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif