jpnn.com - MUNGKIN Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Megawati Soekarnoputri terlampau cemburu pada sikap Presiden Jokowi yang banyak memanjakan orang-orang di luar partainya.
Semisal Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, atau bahkan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan sukarelawan Jokowi.
BACA JUGA: Sistem Ketatanegaraan Harus Segera Dibuat Adaptif dengan Perubahan Zaman
Kecemburuan itu dapat ditilik setidaknya dari empat peristiwa politik di depan mata publik.
Pertama, saat pelantikan anggota DPR RI/MPR RI periode 2019-2024. Mata masyarakat mulai terbelalak berawal dari sikap Megawati yang emosional saat menolak bersalaman dengan Surya Paloh.
BACA JUGA: Konsistensi Hilirisasi Sumber Daya Alam untuk Percepatan Transformasi Ekonomi
Adegan gestur ketegangan ini menjadi fulgar terlihat publik, padahal entah apa yang terjadi sebelum dan sesudah itu.
Namun, alur ceritanya malah makin dramatis ketika Surya Paloh tiba-tiba menentukan sikap politik dukungan capres. Ketua Umum Partai Demokrat itu mencapreskan Anies Baswedan.
BACA JUGA: Resep Anti Negara Gagal
Tidak berlebihan jika salah satu alasan Surya Paloh, karena merasa tidak nyaman jika harus terus bergabung dengan capres koalisi pemerintah yang di dalamnya pasti ada dominasi PDIP dan Megawati.
Hal di atas adalah satu dari sikap politik yang dinilai tidak lazim yang dilakukan partai anggota koalisi pemerintah, tetapi terindikasi terpicu sikap temperamen Megawati.
Kedua, Bu Megawati seolah tidak suka jika Jokowi terlalu banyak melakukan hubungan politik intim dengan Luhut Binsar Panjaitan.
Umum diketahui publik bahwa terbentuknya koalisi Indonesia bersatu atau KIB atas inisiasi Luhut, dengan isu utama Jokowi tiga periode, dan atau perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi. Dan itu berakhir kandas karena ditolak rakyat yang mendapat dukungan dari PDIP. Hingga usulan KIB besutan Luhut ini gagal total.
Namun, diambang bubarnya KIB, Luhut masih berupaya melakukan manuver lain yang dinisiasi Golkar, yaitu menggadang-gadang Ganjar Pranowo sebagai capres dan Airlangga sebagai cawapresnya.
Namun, tiba-tiba secara mendadak PDIP mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai capres tanpa melibatkan siapa pun, termasuk konon tidak memberitahu Jokowi.
Melalui pencapresan Ganjar Pranowo yang sangat mendadak, menunjukkan sikap Megawati yang tidak mau diintervensi Jokowi atau KIB karena di dalamnya pasti selalu ada tangan Luhut.
Ketiga, Megawati terlihat terganggu secara psikologi oleh berbagai ulah sukarelawan Jokowi. Dia merasa sebagai partai besar dan partai pemenang pemilu tidak boleh didikte oleh sikap-sikap over acting para sukarelawan yang cenderung offside.
Sekalipun pasti ada kerja dari sukarelawan, tetapi sukarelawan tidak bisa disejajarkan dengan partai politik apalagi diposisikan melampaui partainya.
Menilik beberapa kejadian mulai dari pengangkatan kabinet semisal diangkatnya Erick Thohir, Nadiem Makarim, Budie Arie Setiadi, staf milenial presiden, ratusan komisaris dan sebagainya, adalah bukti adanya penyejajaran status sukarelawan dengan partai.
Bahkan tidak jarang disebut lebih banyak porsinya dibanding yang didapatkan PDIP yang secara halus disebut Jokowi sebagai perwakilan dari kaum profesional.
Keempat, Megawati tidak suka Jokowi yang bermain dua kaki pada Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Perilaku main dua kaki ini ramai disebut sebagai manuver cawe-cawe Jokowi dalam pilpres. Presiden Jokowi menyebutnya sebagai cawe-cawe demi kepentingan bangsa meski yang sesungguhnya terjadi adalah pihak Istana masih belum menemukan calon yang tepat sesuai harapan serta memilki elektoral yang cukup untuk meraih kemenangan.
Kembali pada ketidaksetujuan Megawati pada sikap dua kaki presiden Jokowi, karena memang faktanya makin merugikan posisi Ganjar Pranowo sebagai capres PDIP.
Sikap dua kaki presiden Jokowi dengan Prabowo ini mustahil memperkuat posisi Ganjar Pranowo. Karena sekalipun Prabowo bisa bersatu, kecil kemungkinan mantan Danjen Kopassus itu akan menerima posisi cawapres Ganjar Pranowo.
Kerugian lainnya, malah banyak dipahami oleh pendukung Jokowi sebagai isyarat bahwa sesungguhnya Jokowi tidak mau Ganjar, tetapi lebih menginginkan Prabowo. Hingga wajar mulai dari PBB, PKB, Projo, dan berbagai elemen yang dahulu bersama koalisi dan mendukung Jokowi sekarang berpihak pada Ketua Umum Gerindra itu.
Apalagi jika melihat indikasi, anak-anak presiden Jokowi pun seolah telah menjadi silent voters Prabowo Subianto. Lebih jauh, jika Gibran Rakabuming Raka, sang anak sulung Jokowi benar-benar berambisi jadi cawapres Prabowo, mungkin di titik ini Megawati dapat menangis tersedu-sedu.
Dan saya pastikan Megawati akan menjatuhkan vonis Jokowi dan keluarga sebagai “Malin Kundang” politik.
Pertanyaannya, apakah Jokowi tidak paham bahwa Megawati secara psikologis sangat terganggu dan secara politik merasa dirugikan?
Tentu Jokowi sangat paham itu. Bahkan ia tidak sekadar membiarkan hal itu terjadi, tetapi lebih dari itu.
Tujuannya, Jokowi mungkin sedang mengatakan pada publik bahwa ia bukan petugas partai, ia tidak bisa di “remote control” begitu saja sebagaimana anggapan publik yang menafsirkan klaim Megawati.
Sebagai presiden, Jokowi adalah pemimpin koalisi besar yang disebut lembaga negara. Partai apa pun hanya sekoci dibanding kapal besar yang ia nakhodai.
Sebenarnya bagi Jokowi, PDIP adalah partai pendukung dan pengusung dirinya, tetapi Jokowi berharap, baik PDIP atau dirinya seharusnya diposisikan sebagai dua pihak yang memilki simbiosis mutualisme. (*)
Penulis merupakan pemerhati sosial politik
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan