Resep Anti Negara Gagal

Oleh: LaNyalla Mahmud Mattalitti

Jumat, 28 Juli 2023 – 07:41 WIB
LaNyalla Mahmud Mattalitti. Foto: source for JPNN

jpnn.com - Beberapa negara tercatat membayar bunga utang lebih tinggi ketimbang belanja sektor mandatory. Terutama negara-negara di Benua Afrika.

Jika itu terjadi terus-menerus potensi untuk menjadi negara gagal terbuka lebar. Bagaimana dengan Indonesia?

BACA JUGA: Presiden Bimbang, Indonesia Masuk Daftar Negara Gagal

Dalam APBN kita, bunga utang yang dibayar pemerintah di tahun 2022 sebesar Rp 386,3 triliun. Anggaran kesehatan di tahun 2022 sebesar Rp 176,7 triliun, sedangkan belanja di sektor pendidikan mencapai Rp 472,6 triliun.

Di sisi lain, potensi angka utang Indonesia masih akan membesar. Pertama karena defisit neraca APBN. Kedua, karena pagu rasio utang dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sesuai Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, masih terbuka untuk menambah utang.

BACA JUGA: Menteri PPN: Indonesia Bukan Negara Gagal

Rasio utang Indonesia tahun 2023 masih di angka 38,15 persen dari PDB, sedangkan pagu di dalam UU 17/2023 tersebut dipatok 60 persen dari PDB. Artinya masih berpotensi untuk menambah utang berkali-kali lipat.

Dan jika betul bertambah terus, maka belanja bayar bunga utang niscaya akan melampaui belanja sektor pendidikan. Bahkan bisa saja melampaui belanja gabungan antara pendidikan dan kesehatan.

BACA JUGA: Kualifikasi PON Cabor Muaythai Segera Bergulir, Ini Kata LaNyalla

Artinya, Indonesia juga berpotensi menjadi negara gagal. Dan kita tidak perlu defense, atau malu-malu mendiskusikan soal ini.

Daripada sibuk membuat perbandingan yang tidak apple to apple, lebih baik kita merefleksi diri. Muhasabah. Untuk mencari resep jitu agar Indonesia tidak menjadi negara gagal. Karena negara ini milik rakyat. Pemerintah boleh shutdown, teapi negara tidak boleh.

Mari kita menilik buku tentang Negara Gagal yang ditulis ekonom asal Turki-Amerika, Daron Acemoglu dari Institut Teknologi Massachusetts dan ilmuwan politik James A. Robinson dari Universitas Harvard. Buku ini pertama kali dicetak tahun 2012 silam.

Mereka mengatakan kemajuan atau kemunduran suatu negara, ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya. Suatu negara dapat terus berjalan dan mencapai titik kemakmuran, bila dikelola dengan cara yang tepat.

Ini artinya sistem. Bukan tergantung orang (pemimpin). Bahkan mereka mengatakan, meskipun negara kaya sumber daya alam, dan ditopang iklim yang mendukung, (seperti Indonesia), bisa saja menjadi negara gagal. Apabila tidak dijalankan dengan sistem yang tepat.

Kedua akademisi itu memisahkan institusi politik dan ekonomi ke dalam dua bentuk. Yaitu; institusi politik ekonomi inklusif, dan institusi politik ekonomi ekstraktif.

Intinya, institusi politik ekonomi inklusif ini memiliki kebijakan yang tidak hanya memberi keuntungan kepada kaum elit. Namun, juga memberi kemakmuran kepada rakyat mayoritas. Secara politik, rakyat juga bisa berpartisipasi aktif. Punya saluran konstitusional. Sehingga bisa mengontrol tindakan penguasa.

Sebaliknya, institusi politik ekonomi ekstraktif merupakan wujud kekuasaan. Sumber daya ekstraktif hanya dikuasai oleh segelintir orang (oligarki), yang didukung oleh kekuatan politik dan kekuasaan. Situasi ini akan memicu kesenjangan ekonomi yang lebar.

Nah, bagaimana wajah Indonesia? Sistem politik Indonesia saat ini, sejak era reformasi, menempatkan partai politik dan presiden terpilih menjadi pemegang kedaulatan rakyat.

Partai politik juga penentu calon presiden yang disuguhkan kepada rakyat untuk dipilih. Dan partai politik juga melalui DPR sebagai pembentuk Undang-Undang yang mengikat 270 juta rakyat Indonesia melalui paksaan hukum (law enforcement).

Di sisi lain, faktanya; 1 persen penduduk Indonesia menguasai setengah kekayaan nasional. Karena angka GINI rasio kita terhadap kekayaan nasional mencapai angka sebesar 0,381. Sedangkan GINI rasio terkait penguasaan tanah di Indonesia, yang mencapai angka 0,58, artinya 1 persen penduduk menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah dan ruang.

Sementara itu, 40 persen penduduk Indonesia masuk dalam kerentanan atau kemiskinan berdasarkan angka patokan Bank Dunia.

Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan sosial mungkin tidak kita rasakan di dalam ruangan rapat pembuat kebijakan di Jakarta. Namun di jalanan, di kampung dan gang sempit, di daerah-daerah, di desa-desa, juga di pulau-pulau kecil di luar Jawa sangat terasa dan tampak nyata.

Jadi marilah kita membangun kesadaran kolektif. Republik ini harus menjadi milik semua. Bukan milik segelintir orang atau kelompok tertentu.

Marilah kita kembali ke sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa. Sistem bernegara yang tidak meninggalkan Pancasila. Khususnya sila keempat dan ketiga.

Sistem bernegara yang belum pernah secara benar dan tepat diterapkan, baik di era Orde Lama maupun Orde Baru.

Niscaya kita akan terhindar dari negara gagal. Karena kedaulatan harus benar-benar dijelmakan oleh seluruh elemen bangsa di Lembaga Tertinggi Negara. Tidak boleh ada yang ditinggalkan. Karena kita harus membangun demokrasi. Bukan membangun dominasi.

Berabad-abad bangsa Nusantara ini memiliki tradisi musyawarah dan perwakilan. Bahkan partai politik dan ormas dalam memilih ketuanya juga melalui perwakilan. Namun, mengapa giliran memilih presiden harus dilakukan secara langsung? Dan penentu akhir siapa yang menang adalah Komisi Pemilihan Umum yang mengumumkan angka-angka suara dari 820.161 TPS. (*/jpnn)

Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler