jpnn.com, BOGOR - Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri mengatakan kepemimpinan strategis tidak bisa diukur dari keberhasilan di masa lalu. Menurut dia, kepemimpinan harus berkorelasi dengan masa kini, sekaligus melekat pada tanggung jawab untuk masa depan.
Hal itu diungkap Megawati saat menyampaikan orasi ilmiah pada pengukuhan gelar Profesor Kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) Ilmu Pertahanan Bidang Kepemimpinan Strategis di Universitas Pertahanan (Unhan) RI, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/6).
BACA JUGA: Puji Karya Ilmiah Bu Mega tentang Pancasila, Prof Hafid: Sangat Luar Biasa
Putri Proklamator RI Bung Karno itu menjelaskan dalam perspektif kekinian, kepemimpinan strategis setidaknya dihadapkan pada tiga perubahan besar yang mendisrupsi kehidupan manusia.
Pertama, perubahan pada tataran kosmis sebagai bauran kemajuan luar biasa ilmu fisika, biologi, matematika, dan kimia.
BACA JUGA: Kemendikbudristek: Selamat Atas Pelantikan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Profesor
Hal ini memunculkan teknologi baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya seperti rekayasa atomistis.
Kedua, revolusi di bidang genetika, yang bisa mengubah keseluruhan gambaran tentang kehidupan ke arah yang tidak bisa dibayangkan dampaknya, manakala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dijauhkan dari nilai kemanusiaan.
Ketiga, kemajuan di bidang teknologi realitas virtual, yang mana seseorang dapat menikmati pengembaraan ke seluruh pelosok dunia bahkan ke luar angkasa tanpa meninggalkan rumahnya sama sekali.
Menurut Megawati, ketiga perubahan itu hadir dalam realitas dunia yang masih diwarnai berbagai bentuk ketidakadilan akibat praktik penjajahan gaya baru, tetapi tetap pada esensi yang sama. Yakni perang hegemoni, perebutan sumber daya alam, dan perebutan pasar, diikuti daya rusak lingkungan yang makin besar.
“Hubungan antarnegara dalam perspektif geopolitik juga menunjukkan pertarungan kepentingan yang sama, bahkan kini makin meluas. Atas nama perang hegemoni, lingkungan dikorbankan. Perubahan teknologi dalam ketiga aspek tersebut justru memperparah eksploitasi terhadap alam,” ujarnya.
Dia melanjutkan pemanasan global berdampak pada kenaikan muka air laut.
Perubahan iklim secara ekstrem juga menciptakan bencana lingkungan yang sangat dahsyat.
"Di sinilah kepemimpinan strategis harus memahami aspek geopolitik tersebut, guna memperjuangkan bumi sebagai rumah bersama seluruh umat manusia,” kata dia.
Megawati mengutip sejumlah pakar mengenai teori kepemimpinan strategis. Seperti Stephen Gerras serta pemikiran Olson dan Simmerson mengenai psikologi kognitif, system thinking, dan game theory.
Megawati menerangkan kepemimpinan strategis bekerja dengan kemampuan memahami sistem berperilaku, memiliki cara pandang multidimensional yang jernih untuk bisa menafsirkan interaksi dalam kerumitan realitas, hingga kemampuan mengalkulasi dengan cermat dengan setiap langkah dan pergerakan.
“Oleh karena itulah, kepemimpinan bukan hanya disebut sebagai suatu ilmu, tetapi juga sebuah seni karena sifatnya yang selalu ada dalam dialektika bersama dengan aktor-aktor lain,” kata Megawati.
Dia juga mengutip pendapat John Adair, Hughes, dan Beatty, untuk menjelaskan bagaimana karakteristik kepemimpinan strategis yang dibutuhkan.
Menurut Megawati, kepemimpinan strategis memerlukan sense of direction, berupa keyakinan atas arah tujuan visi yang akan dicapai.
Dia juga memerlukan sense of discovery guna menemukan gagasan terobosan, membuka ruang kreatif, ruang daya cipta sebagai esensi peningkatan taraf kebudayaan masyarakat.
Megawati mengutip Hamel dan Prahalad mengenai kombinasi antara leadership, sense of direction, dan sense of discovery akan menentukan jalan perubahan yang sering kali diikuti langkah terobosan.
“Jalan perubahan ini adalah proses migrasi dari taraf sebelumnya, bergerak progresif dalam peningkatan kemajuan, dengan meminimalkan dampak, meminimalkan proses trial and error, atau proses berkemajuan yang berwatak progresif, berkelanjutan, namun bersifat sistemis sekaligus transformasional, dan kontekstual,” bebernya.
Megawati mengharapkan kristalisasi perubahan strategis tersebut pada akhirnya dapat menjadi kultur yang menjadi profil identitas budaya dan karakter bangsa.
“Identitas budaya dan karakter bangsa ini adalah Pancasila. Sebab tidak ada bangsa besar yang maju dan kuat tanpa mengakar pada identitas dan budaya bangsanya,” pungkas Megawati. (tan/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga