jpnn.com, JAKARTA - Generasi milenial identik dengan kelompok penyuka makanan cepat saji yang tinggi gula, garam, dan lemak, serta makanan rendah serat, vitamin dan mineral yang mengandung bahan tambahan pangan (PTP) berlebih.
Kebiasaan mengonsumsi makanan seperti ini akan menjadi ancaman Indonesia mengalami Lost Generation di masa mendatang.
BACA JUGA: Ditinggal Kekasih WN Nigeria, Mbak Yulia Malah Berbuat Edan di Kolam Renang
Asisten Deputi Ketahanan Gizi, KIA dan Kesling, Kemenko Kesra/PMK periode 2010-2019, Meida Octarina MCN mengatakan pada tahun 2045 Indonesia membutuhkan generasi emas yang sehat dan produktif dan mampu bersaing secara global.
“Untuk hidup yang lebih berkualitas, yang dibutuhkan milenial adalah zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, dan zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Kalau untuk yang remaja perlu ditambahkan susu sesuai dengan pedoman yang seimbang,” tuturnya.
BACA JUGA: Pria Pembawa Kabur Gadis Berusia 13 Tahun Ini Akhirnya Ditangkap di Sukabumi, Lihat Tampangnya
Lebih lanjut, ia mengatakan kecukupan zat gizi tersebut juga untuk mencegah gizi buruk dan stunting pada anak-anak.
Meski Maida menganjurkan untuk mengonsumsi susu sebagai pelengkap zat gizi yang dibutuhkan, ia juga mengingatkan untuk tidak mengonsumsi susu kental manis.
BACA JUGA: Kemenko PMK: Gerakan Nasional Revolusi Mental Tak Sekadar Jargon
Sebab, mengonsumsi kental manis akan bertentangan dengan pembatasan konsumsi gula harian. Dalam hal pengurangan gula, menurut Meida, yang perlu diingat adalah tidak boleh mengonsumsi gula lebih dari 50 gram sehari.
Sementara kental manis memiliki kandungan gula untuk 1/3 gelas SKM sudah mencapai 54 gram.
“Karena memang 60-70 persen dari kandungan kental manis adalah gula atau kalori kosong istilahnya. Asupan gula yang terlalu tinggi akan menghalangi masuknya Vitamin C yang berfungsi untuk meningkatkan munitas ke dalam sel.
“Akibatnya meningkatkan mikroba negatif dan menurunkan mikroba positif sehingga akan melemahkan kerja sel darah putih dalam fagositosis,” jelas Maida.
Selain itu, produk kental manis juga hanya mengandung sangat sedikit protein. Padahal, protein adalah nutrisi yang sangat dibutuhkan dalam tumbuh kembang anak. Asupan protein yang cukup juga dapat mencegah gizi buruk dan stunting pada anak.
Pemerintah sendiri saat ini mengharapkan penurunan stunting pada balita itu menjadi 14 persen tahun 2024 mendatang. “Nah, ini kalau pemerintah saja yang menjalankan tidak mungkin bisa. Jadi harus dibantu oleh semua lapisan masyarakat,” ujarnya.
Meida mengutarakan upaya penanggulangan stunting terintegrasi pada 5 pilar, yaitu komitmen dan visi kepemimpinan, kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku, konvergensi program, pusat, daerah dan desa, ketahanan pangan dan gizi, serta pemantauan dan evaluasi.
Intervensi yang dilakukan Kemenkes dalam upaya menurunkan angka stunting ini adalah promosi konseling menyusui dan Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA).
Salah satunya tidak boleh SKM sebagai makanan bayi, memberikan suplementasi gizi, kapsul Vitamin A, makanan tambahan balita dan ibu hamil.
Harus melakukan pemantauan tumbuh kembang balita, tatalaksana gizi buruk dan imunisasi.
Sedang di luar Kemenkes yaitu air bersih dan sanitasi, bantuan pangan non tunai, jaminan kesehatan nasional, pendidikan anak usia dini, program keluarga harapan, bina keluarga balita, kawasan rumah pangan lestari serta fortifikasi pangan.
Selain itu, melakukan protokol pelayanan gizi pada masa pandemi Covid-19 terhadap ibu hamil, ibu menyusui, balita, dan remaja putri, sehingga mereka bisa tetap memeriksakan kesehatannya.
BACA JUGA: Rumah Pelaku Curanmor Digerebek, Lihat nih Barang Buktinya
Dalam masa pandemi, Posyandu juga tetap berjalan tapi dengan memberikan dikelompokkan tidak lebih dari 10 orang dan kartu undangannya tertentu.(dkk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Muhammad Amjad