jpnn.com, SURABAYA - Program rekrutmen calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja alias PPPK yang digadang-gadang sebagai jalan tengah bagi GTT/PTT yang dikenal dengan tenaga honorer mulai dikeluhkan.
Sebab, ternyata program tersebut juga dibarengkan dengan pelamar umum. Padahal, sebelumnya, program itu muncul setelah ada gelombang protes dari GTT/PTT yang tidak bisa mengikuti tes CPNS karena usia pelamar lebih dari 35 tahun.
BACA JUGA: PPPK Diterapkan, Tenaga Honorer Dihapus
Alasannya tertuang dalam ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.
Bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk melamar menjadi calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.
BACA JUGA: Mendikbud Respons Perbedaan Data Guru Honorer K2 untuk CPPPK
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim Ichwan Sumadi menyatakan, semestinya perekrutan PPPK yang melibatkan para tenaga honorer dan masyarakat umum dibuat berbeda.
Sebab, jika metode tes tetap diterapkan untuk perekrutan PPPK, tentu tidak bijak menyamakan posisi guru honorer atau GTT dengan orang-orang umum yang ingin mendaftar.
BACA JUGA: Rekrutmen Calon PPPK Formasinya Sangat Terbatas
"Kalau lulusan yang belum pernah mengajar, lalu diberlakukan tes itu boleh. Tapi untuk guru honorer atau GTT yang mengajar bertahun-tahun ya jangan. Saya rasa ini tidak bijak," ujarnya.
Pihaknya mengusulkan agar menggunakan tes yang berbeda antara guru honorer atau GTT dengan peserta umum.
Misalnya, pemberlakuan tes keahlian maupun kurikulum yang diajarkan. Dia berharap pemerintah mempertimbangkan dan memperhatikan nasib guru honorer dan GTT. Mulai lama masa kerja dan sebagainya.
PPPK memang ibarat angin surga bagi tenaga honorer untuk meningkatkan status dan kesejahteraannya.
Namun, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Suli Daim mengatakan, sesuai ketentuan, yang bisa menjadi PPPK merupakan WNI yang diangkat berdasar perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu.
"Ada kontrak paling singkat satu tahun. Dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Misal diterima, untuk berkelanjutan apa ada jaminan. Kalau tidak dibutuhkan, ya tidak diperpanjang lagi, kan begitu artinya," katanya.
Dengan demikian, kondisi tersebut bisa memunculkan dilema baru bagi GTT/PTT. Apalagi, sama-sama diberlakukan tes bagi GTT/PTT dan peserta umum.
Jika pemerintah bersungguh-sungguh memberikan perhatian dan penghargaan kepada tenaga honorer dan GTT, imbuh dia, perlu ada ruang yang berbeda antara peserta umum dan tenaga honorer atau GTT/PTT.
"Karena pengabdian mereka sudah terbukti dalam dunia pendidikan. Apalagi, kebijakan moratorium beberapa waktu lalu hampir tidak ada yang mengisi pos-pos bidang studi. Selama ini yang mengisi siapa lagi kalau bukan GTT," katanya.
Suli mengungkapkan, pihaknya juga telah menyampaikan kepada Kemen PAN-RB. Terutama terkait prioritas untuk tenaga honorer atau GTT/PTT.
Namun, belum ada revisi atau peninjauan kembali soal kebijakan dan mekanisme dari PPPK. Meski begitu, pihaknya akan tetap melakukan pendampingan.
"Semangat kami tetap sama, menghargai kinerja GTT," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Jatim Saiful Rachman menyatakan, PPPK sudah menjadi ketentuan pemerintah. Pihaknya mengimbau GTT/PTT tetap mengikuti prosedur dan aturan yang berlaku dalam PP 49/2018.
Sebab, PPPK memiliki posisi yang sama dengan ASN. "Di PPPK ini yang diangkat benar-benar yang dibutuhkan dan berkualitas. Haknya sama dengan ASN. Tapi, memang tidak punya hak pensiun," katanya. (puj/c17/end/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 25 Ribu Guru Honorer K2 Dicoret, Tertutup Peluang jadi PPPK
Redaktur & Reporter : Natalia