Kasus pesawat Sukhoi Superjet 100 yang hancur setelah menabrak tebing Gunung Salak menyibukkan para investigator KNKT. Mereka harus bekerja keras dan lembur untuk menganalisis penyebab kecelakaan itu. Seperti apa kerja mereka?
THOMAS KUKUH- DHIMAS GINANJAR, Jakarta
SEJATINYA, Kamis (17/5) merupakan hari libur nasional peringatan Kenaikan Isa Almasih. Semua instansi pemerintah tutup. Tapi, Kantor Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang terletak tepat di depan Stasiun Gambir, Jakarta, tetap buka. Tiga investigatornya harus kerja lembur. Mereka sedang menguras pikiran dan tenaga untuk menyelidiki black box Sukhoi Superjet (SSJ) 100 yang mengalami musibah di Gunung Salak.
Investigator yang paling senior adalah Nugroho Budi. Sedangkan dua lainnya adalah Andreas Ricardo Hananto dan Dyah Jatiningrum. Mengenakan rompi kebesaran bertulisan KNKT, mereka menerima Jawa Pos yang ingin mengetahui prosedur pembacaan kotak hitam dalam setiap kasus kecelakaan pesawat terbang.
"Kami ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa menyelidiki kasus Sukhoi ini. Karena itu, kami harus bekerja keras dan mesti lembur," kata Nugroho.
Setelah menjelaskan apa itu black box dan cara kerjanya di ruang rapat, Nugroho dengan antusias mengajak masuk ke laboratorium tempat timnya menghabiskan waktu untuk menyelidiki kecelakaan pesawat atau alat transportasi lain yang membutuhkan uji laboratorium. "Wis eruh kandangku kan saiki (sudah tahu kantorku kan sekarang)?" ujar arek Malang itu.
Laboratorium di lantai 3 gedung bekas markas Basarnas (Badan SAR Nasional) tersebut tidak terlalu besar. Luasnya hanya sekitar 7 meter x 7 meter yang disekat menjadi dua bagian. Ruang tersebut sebenarnya sangat tertutup untuk umum.
Namun, setelah mendapat izin dari Ketua KNKT Tatang Kurniadi, awak media diperbolehkan masuk dan mengetahui detail kerjanya. Hanya, selama berada di ruang itu, pengunjung, termasuk wartawan, dilarang memotret. "Ayo tanya sepuasnya, mumpung ada di sini," imbuh Nugroho.
Berbagai perangkat elektronik memenuhi hampir setiap sudut ruang. Semua tertata rapi. Perangkat yang terletak di sekat pertama, terang Nugroho, digunakan untuk men-download isi black box. Isinya berupa tiga komputer dengan kapasitas hard disk besar yang sudah tersambung ke downloader.
Alumnus Teknik Elektro Universitas Brawijaya, Malang, itu menerangkan detail pembacaan black box. Pertama, begitu menerima kotak hitam dari lapangan, pihaknya langsung membuka dan mengunduh data-datanya.
"Biasanya memakan waktu 1-2 jam untuk men-download. Bergantung kondisi black box-nya," kata Andreas, menambahkan.
Data dari dua komponen black box yang terdiri atas flight data recorder (FDR) dan cockpit voice recorder (CVR) itu diunduh di ruang tersebut. FDR merekam semua perilaku pesawat, mulai kinerja mesin, ketinggian, hingga kecepatan pesawat dan manuver lain.
Sedangkan CVR berfungsi merekam suara yang diambil dari mikrofon dan earphone yang dipasang di headset pilot. Suara yang terekam meliputi komunikasi pilot dengan pihak ATC (air traffic control) serta komunikasi di dalam kokpit. Setelah rampung diunduh, data-data tersebut dibawa ke ruang sebelah untuk dianalisis lebih lanjut.
Di ruang kedua yang lebih sempit, luasnya sekitar 3 meter x 3 meter, ada empat perangkat komputer dengan software khusus untuk membaca data-data black box. Software itu hanya digunakan untuk menginvestigasi kasus kecelakaan transportasi.
Selain komputer, ada satu unit televisi LCD 32 inci di tembok dan empat speaker besar yang terpasang di setiap sudut ruang. Di ruang tersebut data FDR dan CVR dikerjakan secara terpisah. Andreas ditugasi untuk berfokus mengurusi CVR, sedangkan Dyah berfokus pada pengolahan data FDR.
"Sebenarnya, kami fleksibel, bisa menangani semua. Tapi, kali ini dibagi agar bisa lebih fokus," terang Nugroho.
Andreas kemudian menerangkan detail tugasnya. Lulusan Manajemen Informatika Universitas Gunadarma Jakarta itu menjelaskan, setelah data black box di-download, data CVR dimasukkan ke komputer. Ada empat channel rekaman CVR yang akan dipisahkan.
Channel pertama adalah suara komunikasi pramugari kepada penumpang. Yang kedua adalah rekaman pembicaraan di kokpit. Yang ketiga rekaman percakapan pilot dengan petugas ATC di bandara terdekat. Yang keempat adalah channel yang merekam mesin di sekitar kokpit. Setiap channel dihubungkan dengan satu speaker.
"Ini juga bisa diputar barengan. Kami tinggal mendengarkan dan menganalisisnya," imbuh dia.
Dia lantas mempraktikkan cara kerjanya dengan memutar rekaman data CVR salah satu pesawat yang jatuh. Empat speaker yang dihidupkan bareng mengeluarkan suara pembicaraan pilot di kokpit, suara pramugari, dan alunan kalem musik klasik di ruang pesawat.
"Sudah ya, distop. Jangan didengarkan semua, nanti kalian lari (mendengar jeritan-jeritan sebelum jatuh, Red)," ujar Nugroho.
Setelah mendengar rekaman, tugas Andreas dan petugas lain selanjutnya adalah melakukan transkripsi semua pembicaraan di setiap channel. Tapi, biasanya yang dicatat adalah pembicaraan pada menit-menit akhir sebelum pesawat jatuh atau mengalami masalah. "Pembicaraan yang paling penting biasanya ada di lima menit terakhir," terang dia.
Bagi petugas KNKT, bahasa asing yang dipakai pilot tak menjadi soal. Termasuk bahasa Rusia yang digunakan pilot SSJ 100 itu. Sebab, penerjemahan bisa dilakukan dengan meminta bantuan pihak-pihak yang berkompeten.
Nah, hasil transkripsi pembicaraan itulah yang kemudian dianalisis dan didiskusikan dengan institusi lain yang berkepentingan. Hasilnya bisa digunakan untuk menentukan penyebab jatuhnya pesawat. "Begitulah mekanisme kerja tim kami. Tentu tidak sesederhana itu," tutur Nugroho.
Sementara itu, Andreas mengatakan bahwa peralatan laboratorium milik KNKT termasuk canggih dan relatif baru. Karena itu, dia optimistis timnya bisa menginvestigasi black box SSJ 100.
Meski bekerja dengan alat serbacanggih, Andreas mengaku menjadi orang yang paling sedih ketika ada kecelakaan pesawat atau moda transportasi lain yang perlu penanganan KNKT. Apalagi sampai merenggut banyak korban jiwa.
"Kami lebih senang jika alat-alat di sini tak terpakai sampai bulukan. Kalau tidak terpakai, berarti kan tidak ada kecelakaan besar," tuturnya.
Tugas Dyah juga tak kalah berat dalam mengolah data FDR. Seperti halnya dengan data CVR, data FDR juga akan dimasukkan ke software komputer khusus. "Nanti akan keluar angka-angka dan grafik mengenai kondisi pesawat," terang Dyah.
Dari data FDR, Dyah bisa mengetahui perilaku pesawat sebelum jatuh. Seperti CVR, data FDR yang paling penting biasanya terdapat pada menit-menit akhir sebelum pesawat mengalami kecelakaan. Setelah itu, data FDR diolah menjadi bentuk animasi 3D (tiga dimensi).
Animasi tersebut nanti disambungkan ke layar televisi agar bisa dilihat dalam bentuk yang lebih besar. Pada tahap akhir, rekaman CVR bisa disinkronisasi dengan gambar data FDR.
"Dengan begitu, kami bisa melihat bagaimana gambaran pesawat sebelum jatuh dan apa saja pembicaraan di pesawat," papar alumnus Teknik Penerbangan ITB itu.
Di tengah pembicaraan, Ketua KNKT Tatang Kurniadi tiba-tiba muncul. Dia mengatakan bahwa tiga anggota timnya itu adalah orang-orang pilihan. Tatang yakin bahwa tiga anak buahnya tersebut bisa menyelesaikan misteri di balik black box SSJ 100.
"Mereka adalah orang-orang hebat. Saya yakin kasus SSJ 100 itu bisa selesai cepat. Apalagi, peralatan kita termasuk canggih," ucap dia. (*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ke Belanda, Kunjungi Floriade 2012, Pameran Bunga Terbesar di Dunia
Redaktur : Tim Redaksi