Memaknai Jihad yang Benar Selama Ramadan

Kamis, 15 Juni 2017 – 18:05 WIB
Mengisi Ramadan dengan mengaji. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Selama bulan Ramadan ini, kondisi sosial masyarakat di Indonesia relatif adem. Situasi ini tidak lepas dari sikap elite politik di Indonesia yang bisa menahan diri.

Alhasil, tidak terjadi percikan-percikan intoleransi yang sebelumnya tercipta nyaris tiap.

BACA JUGA: Universitas Indonesia Duduki Peringkat 277 Dunia

Karena itu, kondisi ini harus dipertahankan setelah Ramadan berakhir.

Bahkan, kalau bisa ditingkatkan, terutama dalam menghadapi ancaman radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama.

BACA JUGA: Jaksel Hujan Deras, Adik Wakapolres Depok Tewas Tertimpa Pohon

Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, untuk mewujudkan itu, elite politik harus bisa meningkatkan komitmennya menjunjung nilai-nilai Pancasila serta persatuan dan kesatuan Indonesia.

"Hanya itu yang bisa menjaga keberagaman suku dan agama di Indonesia. Masyarakat kita tergolong masyarakat yang patrimonial itu yang tergantung pada patrolnya. Semakin banyak tokoh masyarakat yang mengirim pesan perdamaian akan berdampak pada masyarakat di bawah," ungkap Hamdi di Jakarta, Kamis (15/6).

BACA JUGA: IRC Tire Indonesia Dukung Tim Mahasiswa di Shell Eco Marathon 2017

Dia memaparkan, saat ini Timur Tengah dilanda perang saudara yang dipicu etnis dan agama, penyesatan dari paham-paham transnasional yang tidak mendasar seperti ingin membuat negara khilafah islamiyah.

Itu jelas menjadi ancaman bagi Indonesia yang selama ini sangat menjunjung tinggi perbedaan dan toleransi antarumat beragama.

"Negara Indonesia sudah jadi dan kita hidup rukun selama 70 tahunan lebih. Kekuatan kita Pancasila dan persatuan dan kesatuan. Ini harus menjadi kesadaran bersama. Apabila ada yang mengganggu, kita harus saling mengingatkan, dan orang yang mengganggu itu harus kita bawa ke jalur hukum karena mereka telah merusak ketentraman hidup bersama," terang Hamdi.

Dia memuji potret kebinnekaan di Indonesia yang terjadi di bulan Ramadan ini. Saat umat Islam berpuasa, penganut agama lain ikut memberi dukungan.

Misalnya, menyiapkan takjil, ikut menjaga masjid demi kekhusyukan umat Islam saat beribadah.

Hasilnya, 'hiruk pikuk' yang sebelumnya terjadi seakan 'tersiram' air es dan berubah menjadi kesejukan yang indah.

Menurutnya, potensi konflik berbasis etnis dan agama di Indonesia akan selalu ada. Memang, Indonesia memiliki sejarah tentang kerukunan umat beragama yang luas.

Namun, Indonesia juga mempunyai sejarah tentang konflik di beberapa tempat, seperti Poso, Ambon, dan Kalimantan.

"Pendewasaan berpolitik sangat perlu. Elite politik jangan memobilisasi isu-isu etnik dan agama untuk kepentingan mereka. Kita punya pancasila sebagai perekat umat beragama dan etnik di Indonesia. Itu saja kita pegang dan perkuat. Insyaallah NKRI tetap kuat," tegasnya.

Kendati demikian, lanjut Hamdi, ancaman terorisme tetap harus diwaspadai. Pasalnya, para pelaku terorisme selama ini sering menjadikan ideologi dan pemahaman agama yang salah sebagai ‘senjata’ melakukan aksinya, terutama pemahaman makna jihad.

“Seperti bulan Ramadan ini, mereka selalu menjadikan sebagai ajang untuk berjihad dengan melakukan teror yang menimbulkan keresahan. Itu jelas salah. Wong Ramadan itu adalah bulan penuh berkah sehingga kalau mau berjihad, ya harus berbuat kebaikan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT,” tegas Hamdi. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... UI Sediakan 3.382 Bangku untuk Mahasiswa Baru Jalur SBMPTN


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler