Membaca Arah Isu Munaslub Partai Golkar

Oleh Yorrys Raweyai - Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Munas Ancol 2015-2016/Ketua Korbid Polhukam DPP Partai Golkar 2016-2017

Rabu, 12 Juli 2023 – 12:06 WIB
Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Munas Ancol 2015-2016/Ketua Korbid Polhukam DPP Partai Golkar 2016-2017 Yorrys Raweyai. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Kurang lebih setengah tahun ke depan, kontestasi Pemilu 2024 akan diselenggarakan secara serentak.

Sejumlah partai politik telah mengadakan berbagai aksi dan manuver demi meraih suara maksimal untuk memastikan tempat terbaik di parlemen.

BACA JUGA: Airlangga Tegaskan Tidak Ada Rencana Munaslub Golkar

Paling tidak, mereka mampu memenuhi ambang batas 4 persen dari jumlah perolehan suara nasional.

Selebihnya, partai-partai yang saat ini memenuhi kuota kursi di parlemen berusaha untuk menaikkan perolehan suara demi menunjukkan bahwa roda dan mesin kepartaian selama ini dijalankan dengan baik.

BACA JUGA: Direkomendasikan Jadi Calon Bupati Bogor, Jaro Ade Siap Menangkan Golkar di Pemilu 2024

Tidak terkecuali Partai Golkar. Sebagai kontestan tertua saat ini, partai berlambang pohon beringin tersebut tidak hanya menargetkan 20 persen suara nasional atau 115 kursi dari 575 kursi di parlemen, tetapi juga dituntut untuk menyudahi tren penurunan perolehan kursi sejak 2014 hingga 2019 yang lalu.

Sebagaimana diketahui bersama, penurunan perolehan suara nasional Partai Golkar telah berimbas pada perolehan kursi yang semakin berkurang, justru saat jumlah kursi di parlemen bertambah dari 560 menjadi 575 kursi sejak 2019 lalu.

BACA JUGA: Yorrys Bilang Perlu Pendekatan Persuasif Penanganan Konflik di Papua

Pada saat yang bersamaan, ragam survei pun menunjukkan perolehan kursi Partai Golkar 8 (delapan) bulan menjelang Pemilu 2024 sebesar 7,7 persen.

Merujuk pada survei perolehan suara partai tersebut 8 (delapan) bulan menjelang Pemilu 2019 lalu, saat itu, Partai Golkar diprediksi memperoleh 11,3 persen. Hasil prediksi survei pun tidak jauh berbeda dengan rekapitulasi KPU, Partai Golkar memperoleh suara 12,31 persen.

Mungkinkah dalam suasana yang sama, hasil rekapitulasi KPU 2024 akan menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan survei di atas?

Konsolidasi Semu?

?Sejak terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar pada Munaslub Partai Golkar 2017 dan Munas Partai Golkar 2019, Airlangga Hartarto telah menakhodai partai tersebut selama 2 (dua) periode.

Sejak tahun 2019, tampak berbagai perkembangan dan kemajuan signifikan yang dicapai.

Meski tidak sepenuhnya mampu menyudahi tren penurunan perolehan suara pada 2019, namun disadari bahwa persoalan internal kepartaian tidak sepenuhnya layak disematkan kepadanya.

?Kegagalan Partai Golkar dalam mengusung calon presiden akibat ketidakcukupan suara di parlemen, serta ketidakmampuan figur internal partai tersebut untuk dilirik sebagai calon wakil presiden begitu berbekas pada momen Pilpres 2014.

Sebagai figur pucuk pimpinan baru, Airlangga berusaha semaksimal mungkin untuk menahbiskan dirinya.

Sebagaimana halnya para pendahulunya, Airlangga didapuk sebagai sebagai Calon Presiden dari partai beringin dalam Munas 2019 yang menjadikannya Ketua Umum.

?Namun, berbagai hasil survei menunjukkan elektabilitas Airlangga senbagai calon presiden hanya berkisar 0,5 persen pada Juni 2023. Hal itu bahkan jauh terpaut angka 11,67 persen hasil survei elektabilitas Aburizal Bakrie pada Desember 2013 menjelang Pilpres pada Bulan Juli 2014 lalu.

?Mungkin hal ini terlalu jauh mengambil contoh untuk disimpulkan. Tapi pada kenyataannya, Aburizal Bakrie pun tidak menjadi “dagangan” yang layak jual kala itu.

Apalagi berkaca pada realitas Airlangga saat ini. Padahal cukup diketahui oleh publik politik, Airlangga telah melakukan aksi dan manuver politik yang melibatkan lintas partai sejak Mei 2022, saat Partai Golkar melakukan koalisi partisan dengan Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.

Koalisi tersebut sempat menggaungkan nama Airlangga yang sejatinya mampu mengereknya di kancah kontestasi dan elektabilitas.

?Entah mekanisme sistemik apa yang sedang berlangsung di pusaran internal kepartaian beringin saat ini.

Di tengah konsolidasi yang berkali-kali digelar, dengan berbagai pertemuan tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota, hingga nasional, pun belum menghasilkan elektabilitas partai dan figur calon pemimpin nasional yang digadang-gadang sebelumnya.

Bahkan jika ditelisik lebih dalam, tidak banyak riak-riak pertentangan di partai besutan rezim Orde Baru ini sepanjang masa kepemimpinan Airlangga.

Gaung resonansi suara tentang Airlangga sebagai calon presiden dan keyakinan elektabilitas partai akan memenuhi target pada 2024 yang akan datang senantiasa menggema dalam satu tarikan suara dan napas.

Mungkin juga kesatuan nada dan irama yang terdengar sayup sepi saat ini adalah buah dari keberhasilan rezim Airlangga membungkam suara-suara “lain” di luar irama mainstream.

Atau, boleh jadi, figur-figur kritis di internal Partai Golkar sedang emoh untuk unjuk gigi dan kehilangan daya greget akibat mekanisme kepartaian mengharuskan mereka menggantungkan “posisi” dan “kans” masa depan pada rezim partai yang saat ini berkuasa.

Jika benar suasana itu yang sedang berlangsung, maka dapat disimpulkan, konsolidasi kepartaian yang dihelat selama ini tidak lebih sebagai konsolidasi semu dipenuhi citra yang hampa substansi.

Kebangkitan Partai Golkar dari tren penurunan suara hanya retorika yang meriuhkan suasana, dan akan kembali menuai hasil kegagaan yang sama di masa yang akan datang.

Isu Munaslub

Dalam kondisi tersebut, banyak pihak mengingatkan kembali tentang fenomena kegagalan Aburizal Bakrie pada momentum 2014 yang silam.

Kala itu, hiruk pikuk internal Partai Golkar berada dalam kecamuk yang menyita perhatian dan polemik di mata publik.

Partai tersebut terbelah dan melahirkan huru-hara, hingga berujung pada dualisme kepemimpinan antara Kubu Munas Bali dan Munas Ancol pada 2016.

Publik dipertontonkan pada 2 (dua) kenyataan. Di satu sisi, Partai Golkar sedang mempertunjukkan sebentuk fenomena internal kepartaian yang tidak selamanya mapan dilanda persoalan.

Perbedaan pendapat menjadi dinamika yang lumrah dan terkadang menggerus situasi hingga menggedor kedigdyaan rezim.

Di sisi lain, kesejatian Partai Golkar yang makin dewasa dalam mengelola opini dan gagasan yang beraneka ragam. Karena, sebagai partai modern, Golkar harus menjadi contoh dan teladan tentang bagaimana mengelola perbedaan.

Atas dasar itu, isu tentang Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di internal Partai Golkar kiranya merupakan isu yang lazim dan lumrah.

Sebab berbagai realita yang nampak di mata publik senantiasa mampu memantik suasana kebatinan partai tersebut ke level kegusaran yang sulit terjelaskan.

Memang konstitusi Partai Golkar secara jelas menyebutkan bahwa Munaslub diselenggarakan sebab partai dalam keadaan terancam atau menghadapi hal ihwal kegentingan yang memaksa, atau DPP tidak melaksanakan amanat Munas sehingga organisasi tidak mampu menjalankan fungsinya.

Munaslub itu sendiri membutuhkan legitimasi 2/3 DPD Provinsi sebagai bukti bahwa situasi tersebut dirasakan hingga pada tingkatan terbawah.

Namun, dalam kondisi suara-suara yang enggan untuk terdengar, maka bisa dipastikan syarat konstitusional tersebut hanya “garang” di atas kertas, tapi lumpuh dalam forum formal.

Munaslub tentu bukan norma “haram” dalam partai se-modern Golkar. Norma itu sejatinya menjadi “warning” bagi penguasa pucuk pimpinan untuk mengingatkan secara terus-menerus bahwa siapapun pemimpinnya, kedaulatan partai ada di tangan anggotanya.

Kepemimpinan organisasi tidak boleh menyisakan cek kosong yang sulit untuk ditagih setiap waktu.

Namun, terlepas dari isu Munaslub, publik memang sedang mengintai khasiat jitu dari berbagai aksi dan manuver Airlangga sepanjang kepemimpinannya.

Namun, 7 (tujuh) bulan menjelang kontetasi Pemilu kiranya cukup untuk memberi waktu kepada Airlangga untuk menunjukkan taji sesungguhnya. Selebihnya, entah kemana nahkoda partai ini akan berlabuh.

Sementara itu, wara-wiri Bakal Calon Presiden saat ini semakin mengerucut pada nama-nama yang sudah begitu jelas dalam ingatan publik.

Ironisnya, tidak satupun nama tersebut memberi efek ekor jas (coattail effect) bagi prediksi peningkatan perolehan suara pada 2024 yang akan datang. Lalu, apa yang sedang dinanti oleh Partai Golkar?

Saat ini, publik justru menanti sejauh mana kebebasan bersuara dan berpendapat dalam alam demokrasi Partai Golkar kembali menggelegar. Kebebasan itulah yang justru menunjukkan esensi demokrasi di partai tersebut.

Sebab, waktu yang begitu mendesak tidak lagi mampu menitip harapan pada strategi kepemimpinan Airlangga untuk meningkatkan elektabilitas partai, yang justru sedang berlindung di balik konsolidasi semu yang menghasilkan suara senyap dan sayup hingga tidak terdengar.

Selain tidak “haram”, Munaslub juga memungkinkan untuk melahirkan solusi-solusi strategis jangka pendek yang boleh jadi sulit lahir dalam situasi kepemimpinan Airlangga.

Mengedepankan solusi bagi masa depan Partai Golkar jauh lebih bermanfaat ketimbang berkubang dalam siklus kegagalan masa lalu.

Oleh karena itu, jika ada pihak yang menyatakan bahwa Partai Golkar saat ini sedang "baik-baik saja", maka mungkin pernyataan tersebut muncul dari mereka yang senang dengan kegagalan-kegagalan yang terus berulang.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler